c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

15 November 2025

17:02 WIB

Membaca Posisi Sastra Dalam Perlawanan Rakyat Palestina

Dunia mengenal penulis Ghassan Kanafani yang dibunuh pada 1972 karena aktivisme dan tulisan-tulisannya, juga Mahmoud Darwish yang punya suara paling kuat dalam perjuangan Palestina melalui sastra.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p>Membaca Posisi Sastra Dalam Perlawanan Rakyat Palestina</p>
<p>Membaca Posisi Sastra Dalam Perlawanan Rakyat Palestina</p>

Sesi diskusi bertajuk "Palestina dalam Diri Kita Semua" (There’s A Palestine Inside All of Us) yang menjadi rangkaian Jakarta International Literary Festival di Jakarta, Kamis (13/11). Dok: JILF.

 

JAKARTA - Sastra selalu bisa menjadi alat perlawanan. Sejarah menunjukkan sastra pernah berhasil menjadi "mesin tempur" yang efektif dalam perlawanan rakyat. Contoh terbaiknya adalah sajak-sajak WS. Rendra dan si penyair hilang Wiji Thukul.

Itu pula yang terjadi di Palestina. Bagi bangsa ini, sastra selalu bisa menjadi alat perlawanan. Di tengah perjuangan rakyat Palestina menghadapi kekerasan dan penindasan dari Israel, kesusastraan memainkan peran yang tidak kalah penting dibanding bentuk perlawanan lainnya.

Melalui karya-karya sastra, suara rakyat Palestina menemukan ruang untuk menembus batas. Maka itu dunia mengenal Ghassan Kanafani, penyair yang dibunuh pada tahun 1972, atau Mahmoud Darwish yang dikenal punya suara paling kuat dalam perjuangan melalui sastra.

Mahmoud Darwish adalah salah satu nama terbesar, tokoh sastra Palestina yang tak terlupakan. Puisi-puisinya mampu membangun bentuk perlawanan, yang memelihara ingatan kolektif tentang tanah air, pengasingan, dan identitas Palestina.

Penulis yang telah berpulang pada 2008 itu menulis tentang kehilangan rumah, luka pendudukan, dan kerinduan pada tanah yang dirampas, namun tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya. Karya-karyanya, seperti "Identity Card hingga Unfortunately", "It Was Paradise", hingga puisi "The Last Train Has Stopped" adalah perlawanan sejati.

Salah satu bait puisi Mahmoud Darwis dikutip menjadi tema Jakarta International Literary Festival (JILF) 2025, berbunyi "homeland in our body". Ungkapan itu adalah pesan untuk menjaga memori, membangkitkan solidaritas, dan menegaskan keberadaan Palestina di panggung dunia.

JILF yang diinisiasi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tampaknya menjadi perpanjangan tangan dari lembaga kesenian yang konsisten menunjukkan dukungan terhadap rakyat Palestina itu. JILF mencoba menjadi medium untuk membangkitkan solidaritas pegiat sastra secara luas mengenai isu kemanusiaan, utamanya tentang Palestina.

Salah satu program dalam JILF yaitu diskusi penulis bertajuk "Ada Palestina dalam Diri Kita Semua" (There’s A Palestine Inside All of Us) yang digelar di Jakarta, Kamis (13/11) lalu. Diskusi ini menghadirkan jurnalis investigasi asal Australia yang menulis buku The Palestine Laboratory; Antony Loewenstein (AUS); akademisi Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Walid Jumblatt; serta penerjemah sastra Zulfa Nur Alimah.

Dalam kesempatannya, Zulfa Nur Alimah menjelaskan bahwa hingga saat ini pun sastra masih menjadi bentuk resistensi yang sama pentingnya dengan perlawanan bersenjata. Karena mampu memberi makna, menjaga semangat itu tetap menyala.

Dalam konteks perjuangan rakyat Palestina, Zulfah menjelaskan bahwa Israel saat ini pun terlihat memandang sastra Palestina sebagai ancaman nyata. Buktinya bisa dilihat dari adanya berbagai pembatasan diberlakukan, mulai dari pelarangan distribusi buku berbahasa Arab, penutupan penerbit, pembatasan akses perpustakaan, hingga limitasi penggunaan bahasa Arab.

Penulis Palestina, Adania Shibli pernah menceritakan bahwa karya sastra Palestina secara khusus tidak boleh diajarkan di sekolah, sementara karya Arab dari negara lain justru diizinkan.

"Pelarangan itu berangkat dari ketakutan bahwa sastra Palestina menyimpan simbol dan pesan yang bisa membangunkan kesadaran generasi muda akan kenyataan sebenarnya. Sastra Palestina diperlakukan seolah-olah bacaan terlarang," kata Zulfah.

Ia juga mengingat kembali peristiwa 1972, ketika Israel membunuh Ghassan Kanafani. Saat itu, Perdana Menteri Israel Golda Meir menyebut Kanafani "setara seribu prajurit". Menurut Zulfah, ketakutan Israel bukan hanya karena peran Kanafani sebagai aktivis dan juru bicara PFLP (Popular Front untuk Pembebasan Palestina),tetapi juga karena esai dan fiksi yang menyampaikan realitas kehidupan rakyat Palestina kepada dunia.

Baca juga: JILF 2025 Menyuarakan Kemanusiaan Melampaui Bangsa

Sastra Membentuk Persepsi Global

Berkat kemunculan karya sastra hingga buku hasil penelitian sejumlah ilmuwan dari berbagai negara juga, pandangan global mengenai isu Palestina kini mulai bergeser. Walid Jumblatt dalam pandangannya melihat telah terjadi perubahan besar dalam pandangan masyarakat dunia terhadap Palestina. Ia mengatakan bahwa hari ini, semakin banyak orang yang mengambil posisi jelas mendukung Palestina, termasuk generasi muda.

"Untuk pertama kalinya, kita melihat mobilisasi kelompok yang sebelumnya apolitis, terutama anak muda di Singapura, lintas ras dan agama. Palestina membuat mereka tergerak secara politik," ungkap Walid.

Walid Jumblatt berharap perubahan ini mampu membawa semangat baru, mengganti paradigma "kecuali Palestina" menjadi “karena Palestina”. Paradigma "kecuali Palestina" menurut Walid menunjuk kecenderungan banyak orang selama ini dalam merespon soal Palestina.

Baca juga: JILF X JakTent Soroti Relevansi Sastra Di Antara Isu Krisis Lingkungan

Selama ini, katanya, banyak akademisi yang menentang ketidakadilan tapi diam ketika itu adalah ketidakadilan atas rakyat Palestina. Kelompok liberal menolak pendudukan tanah kecuali itu di Palestina, sementara feminis siap membela perempuan di mana pun kecuali perempuan Palestina.

Selain panel diskusi sastra dan perjuangan Palestina, gelaran JILF 2025 yang dijadwalkan berlangsung sepanjang 13-16 November 2025 di Taman Ismail Marzuki juga diramaikan sederet program lainnya. Isu-isu yang dijadikan fokus gelaran tahun ini termasuk soal masyarakat adat, isu Papua, hingga perempuan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar