04 Maret 2022
17:47 WIB
JAKARTA – Sudah sekian lama tren Korean Pop alias K-pop melanda Indonesia. Bukannya memudar seiring dengan waktu, K-Pop dengan segala jenisnya (musik, film, kuliner dan fashion) justru bertransformasi menjadi sebuah megatrend dengan pasar yang makin meluas.
Bisa dibilang, hampir semua yang berbau Korea, jadi perhatian banyak orang khususnya generasi muda. Mengapa bisa begitu? Dan sejak kapan tren ini sejatinya bermula?
Nah, pencinta K-Pop bisa mengetahui sejarah dan cikal bakal dari Korean Wave (Hallyu) ini, lewat film dokumenter KBS "Suatu Debut, Musisi Pengubah Era". Perilisan film dokumenter ini, diinisiasi oleh Korean Culture and Information Service (KOCIS) beserta Korean Cultural Center (KCC) Indonesia, Korea Creative Content Agency (KOCCA) Indonesia Business Center, dan Korea Tourism Organization (KTO) Jakarta.
"Musik pop Korea adalah cikal bakal K-Pop. Sebagai upaya untuk memperkenalkan sejarah perkembangannya kepada masyarakat Indonesia, Korean Cultural Center Indonesia ingin menunjukkan bahwa kesuksesan K-Pop—konten pokok dari Hallyu saat ini—bukanlah suatu kebetulan belaka," kata KCC dalam keterangan resmi, Jumat (4/3).
KCC menyatakan, K-Pop merupakan wujud perkembangan pesat dari kekuatan budaya dan seni populer Korea yang telah terkumpul selama hampir 100 tahun. Di film dokumenter berjumlah empat episode ini, terkumpul dokumentasi musik berisi wawancara dengan artis utama Korea mengenai momen penting dalam 100 tahun sejarah musik pop Korea.
Film ini ditayangkan di Jakarta (25-27 Maret), Bandung (4-5 Maret), Yogyakarta (12 Maret), Surabaya (19 Maret) dan Medan (2 April). Acara ini diadakan dalam format penayangan film keliling yang bertempat di bioskop CGV, di kota-kota besar Indonesia.
Dikutip dari siaran resmi, Jumat, episode pertama dari film ini berisi soal "Kelahiran Musik Pop". Kemudian dilanjutkan dengan "Lagu, Sayap dari Kebebasan", "Pas Sesuai Selera" dan "Kelahiran Generasi Baru".
Masing-masing episodenya telah mendapatkan pujian sebagai film dokumenter berkualitas tinggi yang memperkenalkan sejarah perkembangan musik pop Korea, dari awal mulanya hingga kini populer di seluruh dunia.
Latar Belakang
Film dokumenter tersebut memuat kisah latar belakang tiap era, juga pembinaan dan gambaran jelas penyanyi serta pihak-pihak yang terlibat dalam musik pop Korea. Penayangan film ini gratis dan penonton hanya perlu mendaftar dan mendapat konfirmasi menonton empat episode film dokumenter sepanjang empat jam.
Indonesia sebagai negara dengan penggemar Hallyu terbanyak tentunya memiliki banyak penggemar K-Pop terkini, maupun penggemar musik pop Korea tahun 80-90an. Acara penayangan film dokumenter kali ini, menarik banyak perhatian dan diharapkan dapat memperluas cakupan pemahaman masyarakat Indonesia, terhadap musik pop Korea serta meningkatkan keberlangsungan Hallyu.
Presiden Korsel Moon Jae In sendiri menuturkan, Hallyu punya kekuatan tersendiri yang bisa dijadikan instrumen untuk mengkampanyekan sesuatu. Moon mengakui kekuatan BTS bersama Adorable Representative MC for Youth (ARMY) yang berjumlah puluhan juta di berbagai negara, dapat dimanfaatkan untuk kampanye Social Development Goals (SDGs).
"Generasi Corona bukan 'generasi yang hilang' tapi 'generasi penyambutan', itu lebih tepat istilahnya. Karena bukannya takut akan perubahan, generasi ini mengatakan 'selamat datang' dan terus maju," kata Kim Seok Jin atau Jin, personel BTS dalam bahasa Korea saat sidang Majelis Umum PBB.
BTS mengajak dunia, khususnya generasi muda memikirkan kondisi dunia saat ini. Terutama dampak pandemi covid-19 yang menyebabkan lebih dari 5 juta jiwa meninggal sehingga muncul ancaman generasi hilang.
"Jika kita percaya pada kemungkinan dan harapan bahkan ketika hal yang tak terduga terjadi, kita tidak akan kehilangan arah, tapi menemukan (arah) yang baru," kata RM atau Kim Nam Joon, Penyanyi Rap dan Penulis Lagu
Setelah mereka berpidato, dalam sidang tersebut ditayangkan video lagu BTS berjudul "Permission to Dance". Video tersebut menampilkan RM dan kawan-kawannya menyanyi sambil menari, menyusuri Assembly Hall dan kompleks gedung PBB hingga halaman luar. Dengan pemandangan ke arah East River, mereka para pendengar dan penonton untuk berjingkrak mengikuti irama cepat lagu "Permission to Dance".
Pengakuan pasar internasional terhadap BTS membuktikan dampak Hallyu (Korean wave) yang masih berlangsung saat ini.
Group idol korea BTS. Ist/dok Perjalanan Hallyu
Perjalanan Hallyu sendiri, menurut dosen International Studies di Korea University Andrew Eungi Kim bukanlah kesuksesan yang diraih dalam semalam. Menurutnya, Hallyu dimulai setidaknya sudah sejak tiga dekade lalu di periode pemerintahan Presiden Kim Dae Jung (1998-2003).
“Presiden Kim mendapat laporan, nilai penjualan film Jurasic Park sama seperti penjualan ekspor mobil Hyundai pada tahun yang sama. Lalu Presiden Kim berpikir, kami (Korea) harus melakukan sesuatu mengenai popular culture ini karena bisa menghasilkan uang yang setara dengan ekspor mobil," kata Kim dalam diskusi bertajuk "Hallyu and Its Impacts on Korea's Cultural Diplomacy" beberapw altu lalu.
Andrew Eungi Kim menyampaikan hal tersebut dalam program "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta.
"Jadi itulah momen saat pemerintahan Korea berganti fokus dari manufaktur ke bidang lain," tambah Kim.
Hallyu sendiri menurut Kim, merujuk pada penyebaran popularitas budaya Korea ke berbagai penjuru dunia mulai awal abad ke-21. Awalnya dimulai dari popularitas drama Korea di negara-negara Asia lalu ke belahan dunia lain dan bahkan menjadi fenomena global saat ini.
"Korea Selatan saat ini menjadi salah satu pengekspor budaya utama setelah Amerika Serikat, Inggris dan Jepang," ungkap Kim.
Pakar Hubungan Internasional Universitas Harvard Joseph Nye mengatakan, Hallyu adalah sebagai gelombang popularitas atas segala hal terkait Korea, mulai dari feshion, film, musik hingga makanan.
"Beberapa makanan mendunia karena lezat atau ada banyak kaum diaspora di negara tertentu, tapi ada juga makanan menjadi populer di negara lain karena budaya negara asal makanan tersebut, tampak keren di mata masyarakat negara lain. Contohnya makanan Jepang populer di AS karena budaya Jepang tampak fancy, masyarakat AS suka budaya film soal samurai, ninja dan lainnya, itulah yang terjadi dengan makanan Korea saat ini," beber Kim.
Tiga Babak
Kim lalu membagi perjalanan Hallyu ke tiga babak. Pertama Hallyu 1.0, periode 1995 - pertengahan 2000-an, Hallyu 2.0 dengan periode pertengahan 2000-an - akhir 2010 dan Hallyu 3.0 saat ini hingga selanjutnya.
Asal tahu saja, Korea Selatan menjadi negara pengekspor drama (sinetron) kelima terbesar di dunia bersama-sama Amerika Serikat, Inggris, Spanyol dan Argentina.
Fokus Hallyu 1.0 menurut Kim lebih pada drama Korea (K-drama) seperti Winter Sonata (2002), Jewel in the Palace/Daejanggeum (2003-2004), My Sassy Girl (2001) yang tersebar di China, Taiwan, Jepang.
Selanjutnya Hallyu 2.0 menunjukkan popularitas dari grup K-pop seperti H.O.T, Rain, Super Junior, Big Bang, Wonder Girls, 2PM, TVXQ, Psy, EXO, Black Pink, SuperM hingga BTS. Lagu-lagu dan penampilan grup K-Pop tersebut menyebar ke negara-negara lain di Asia hingga Amerika Utara dan Eropa.
Kim menyebut, berdasarkan data Statista (2018), Produk Domestik Bruto Korea Selatan adalah sebesar US$1.619 miliar. Dari jumlah tersebut, Samsung menyumbang US$211,94 miliar (13,1%), Hyundai sebesar US$85,26 miliar (5,3%), LG Electronics sebesar US$54,31 miliar (3,4%), KIA senilai US$47,36 miliar (2,9%), Korean Air senilai US$11,65 miliar (0,7%) dan BTS US$4,56 miliar (0,3%).
"Jumlah uang yang dihasilkan BTS pada 2018 tersebut bahkan lebih besar dibanding total PDB 40 negara termiskin di dunia termasuk Somalia, Burundi, Liberia, Bhutan dan Sudan Selatan. Bayangkan besarnya pendapatan BTS tersebut," ungkap Kim.
Kim juga menyebut BTS sebagai "The Beatles in 21st century" atau artis penampil terbesar saat ini.
Sedangkan Hallyu 3.0 adalah terkait gaya hidup Korea (K-lifestyle) seperti game online, kosmetik, makanan, fesyen, animasi. Gim daring seperti Battlegrounds serta Kosmetik seperti Lineage, IOPE, Amorepacific, Nature Republic yang menyebar ke berbagai dunia melalui media sosial dan Youtube.
Salah satu adegan di drama Korea Sweet Home. dok.Netflix
Dampak Hallyu
Kim pun menyebutkan sejumlah dampak lanjutan dari Hallyu. Pertama, meningkatnya ekspor konten budaya Korea. Total nilai konten budaya Korea yang diekspor pada 2017 mencapai US$6,7 miliar atau meningkat lima kali lipat dibanding 2005.
Bentuk konten yang diekspor adalah games (US$3,77 miliar), karakter (US$0,64 miliar), pengetahuan (US$0,63 miliar), musik (US$0,5 miliar), broadcasting (US$0,42 miliar), film (US$43 juta) dan produk lainnya. Dampak lain adalah peningkatan turis internasional ke Korea Selatan yang pada 2016 ada 17,2 juta turis asing atau meningkat 3 kali lipat dibanding tahun 2000.
Selanjutnya Korea Selatan pun mendapat citra yang positif karena popularitas Hallyu. Setidaknya, hal ini tampak dari meningkatnya minat untuk belajar bahasa dan budaya Korea, serta permintaan untuk pembukaan mata kuliah Korea di universitas luar negeri.
Kim juga menyebut dengan adanya Hallyu, banyak orang Asia akhirnya menemukan bintang pop internasional yang tampak terkoneksi sebagai "sesama" Asia, dibanding artis dari Amerika atau orang Barat.
"TV dan film produk AS juga mulai menjadikan aktor Asia sebagai spotlight karena ada keyakinan cool to be an Asian dari yang tadinya orang Asia tidak dianggap," ungkap Kim.
Namun, Kim mengingatkan, meski Hallyu tampak powerfull tapi tidak berarti langsung memberikan dampak positif bagi soft power Korea Selatan.
Kim, mengutip Nye, mengatakan, konsep soft power adalah konsep yang masih kabur, sehingga sulit untuk diukur mana negara yang memiliki lebih banyak atau lebih sedikit soft power. Menurut Nye, soft power sendiri adalah kemampuan untuk mendapatkan sesuatu melalui daya tarik dan bukan melalui paksaan atau bayaran.
"Hallyu atau Korean wave paling bisa dipahami sebagai cara yang diambil oleh pemerintah Korea, untuk mengambil ceruk penting dalam berbagai kebijakan dalam relasi Korea dengan negara lain," ungkap Kim.
Kim sendiri menegaskan bukan berarti Hallyu yang merupakan produk budaya Korea, tidak penting dalam diplomasi Korea dengan negara-negara lain.
Menurut Kim, diplomasi budaya melalui Hallyu tetap penting sejauh untuk mendorong pemahaman bersama mengenai budaya negara yang satu dengan negara lain. Namun bila fokus diplomasi budaya untuk menjadikan satu budaya lebih menarik dibanding yang lain sehingga negara yang satu mau mengikuti kemauan negara lainnya, hal tersebut belum dapat dipastikan efektivitasnya.
Alasannya, meski Hallyu sangat populer di China, namun pemerintah China tetap menerapkan larangan bagi agen perjalanan untuk menjual paket wisata ke Korea Selatan (pada 2017).
"Artinya bila terkait dengan kepentingan nasional, popularitas budaya bukan menjadi pertimbangan karena kepentingan nasional menjadi prioritas," ungkap Kim.
Mendirikan Agensi
Untuk menyokong Hallyu, pemerintah Korea Selatan memang mendirikan agensi untuk mendorong ekspor budaya Korea pada 2000, yaitu Center for Promotion of Cultural Industry. Lalu, mentranfromasinya jadi Korea Creative Content Agency (KOCCA) pada 2009 untuk mencari pasar bagi budaya Korea.
"Pemerintah Korea tidak pernah memberikan subsidi finansial ke satu artis tertentu. Pemerintah lebih membantu untuk menemukan outlet tepat untuk ekspor budaya Korea. Sangat besar perbedaan antara memberikan insentif pendanaan ke artis Korea dan mempromosikan konten budaya Korea ke pembeli potensial," ungkap Kim.
Menurut Kim, pemerintah Korea lebih fokus mempromosikan konten budaya Korea sebagai produk potensial untuk diekspor.
"Pemerintah Korea sendiri tidak pernah memproyeksikan Hallyu akan jadi seberapa besar, bahkan pemerintah Korea juga terkejut dengan besarnya dampak BTS. Kebesaran BTS bukan karena kerja pemerintah atau agensi tapi karena reaksi fansnya," ungkap Kim.
Kim menyebut fans BTS yang disebut Army adalah faktor yang sangat penting. Fans K-pop menurut Kim tidak ada tandingannya dengan fans dari genre musik lain, karena mereka sangat menurut kepada idolanya.
"Bila ada lagu baru yang dikeluarkan grup K-pop idola mereka, maka para fans berupaya untuk menonton video di Youtube atau memutar di platform musik online sesering mungkin sehingga viewer bertambah dan perhatian media juga tertuju pada lagu tersebut. Jadi memang kelakuan fans bisa dianggap tidak normal dibandingkan misalnya dengan fans kelompok rock di AS," jelas Kim.
Lantas apa pelajaran yang didapat dari perjalanan Hallyu tersebut?
Kim menyebut sejumlah negara menyamakan ‘budaya dengan ‘kreativitas’, maksudnya untuk menekankan pentingnya kreativitas di dalam budaya.
"Bila Indonesia seperti Korea Selatan pada 20 tahun lalu, semua anggaran, semua sumber daya untuk menjaga budaya tradisional, karena memang pemerintah biasanya cenderung hanya melihat ke dalam yaitu untuk melindungi tradisi budaya. Padahal budaya tidak hanya soal melindungi tapi soal menciptakan," ungkap Kim.
Kim mencontohkan blue jeans dan coke yang terkenal dari Amerika Serika, disukai dunia, meski keduanya bukan asli budaya AS.
"Mereka baru diciptakan di AS, itulah kekuatan creation (menciptakan) dalam budaya, bukan preservation (memelihara). Maka pemerintah pun perlu lebih banyak memfokuskan anggaran untuk usaha-usaha kreatif di bidang budaya," tegas Kim.
So, bagaimana, Indonesia?