c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

KULTURA

17 Januari 2023

20:42 WIB

Medsos dan Panggung Perjuangan Konsumen

Maraknya perdagangan online membuat perselisihan antara pedagang dan pembeli juga makin kerap terdengar. Medsos pun belakangan jadi panggung untuk mencari dukungan dan instrumen penekan yang efektif

Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

Medsos dan Panggung Perjuangan Konsumen
Medsos dan Panggung Perjuangan Konsumen
Warga mengetik direct message di media sosial untuk komplain pesanan barang di Depok, Senin (16/1/20 23). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Perkembangan teknologi yang semakin maju, turut memudahkan kegiatan berbelanja masyarakat. Hanya dengan gerakan jari di ponsel pintar, barang yang diinginkan bisa sampai ke rumah. Cepat, praktis dan punya banyak pilihan.

Alasan-alasan inilah yang membuat tren belanja online terus membuncah, sejalan dengan makin tingginya kepemilikan ponsel pintar dan akses internet yang kian mudah.

Tetapi, meski terlihat positif, tak semua transaksi online berjalan lancar. Tak jarang, ketiadaan pertemuan fisik membuat munculnya masalah-masalah. Mulai dari kesalahpahaman, kesalahan kirim, barang yang tertukar, barang yang tak kunjung diterima, sampai penipuan yang merugikan konsumen.

Toni (25), menjadi salah satu warganet yang mengaku keranjingan berbelanja online. Toni biasa menggunakan platform e-commerce Shopee untuk membeli berbagai macam keperluannya.

Ada alasan dia memilih e-commerce ini. Harga barang yang ditawarkan umumnya lebih murah. Dia pun bisa leluasa memilih barang yang dibelinya dari rumah. Namun, pada suatu waktu, barang yang dipesannya tidak kunjung sampai di tempat tujuan.

"Saya kan suka ngecek posisi barang yang dikirim sudah di mana. Nah, barang yang saya beli itu kebetulan posisinya gak 'gerak' sampai beberapa hari. Saya akhirnya hubungi penjualnya untuk menanyakan perihal ini," cerita Toni pada Validnews, Jumat (13/1).

Beruntung, penjualnya cukup responsif. Meskipun permasalahannya ada pada jasa pengiriman, tetapi penjual barang tersebut bertanggung jawab ketika Toni mengajukan pengembalian dana. Proses refund pun cukup mulus walau memakan waktu hingga satu minggu. Namun setidaknya, dana telah kembali ke kantong Toni.

Pengalaman tidak mengenakkan yang lebih parah saat belanja online dirasakan oleh Heni (27). Ibu satu anak ini juga mengalami hal seperti Toni, barang tak sampai ke tangannya. Bedanya, Heni tidak berhasil mendapatkan dananya kembali. 

Heni bercerita, saat itu, dia membeli sebuah dispenser elektrik di salah satu toko online di platform e-commerce yang sama. Untuk 'mengejar' promo gratis ongkos kirim, Heni menambahkan beberapa barang sekaligus pada keranjang belanjanya. 

Ketika barang-barang dipesannya seharusnya tiba, dispenser elektrik yang menjadi banda utama justru tidak ada. Sebaliknya, malah perintilan barang-barang yang dia ‘terpaksa’ beli untuk mengejar gratis ongkos kirim yang sampai di rumah.

Heni pun protes pada pihak penjual dan platform, meminta kejelasan atas barang belanjaannya yang kurang. Pihak penjual pun menyatakan mau bertanggung jawab setelah Heni mengirimkan bukti video unboxing paket yang diterima.

Mereka mengatakan, akan mengirim barang pengganti dan dana pengembalian. Beberapa hari setelahnya, sebuah paket datang. Tetapi bukan dispenser elektrik yang diinginkan Heni, melainkan dua buah cetakan bakso. 

Dana pengembalian pun kembali, tetapi tidak full karena dipotong oleh 'biaya' dua cetakan bakso yang secara sepihak oleh penjual, dijadikan barang pengganti dispenser elektrik yang didambakan Heni.

Heni tidak bisa protes lagi, dia sudah malas meladeni penjual yang walaupun cukup responsif, namun tidak bertanggung jawab itu. Apalagi, kasus ini bukanlah kali pertama Heni mengalami pengalaman tidak mengenakkan dengan belanja online.

Sebelumnya, dia juga pernah membeli barang berupa mug di platform yang sama, dengan toko yang berbeda. Lagi-lagi, dia membeli perintilan kecil lainnya guna memenuhi jumlah tertentu, demi mendapatkan gratis ongkos kirim. 

Sayangnya, mug yang dipesan malah tidak ada dalam paket pengiriman. Heni segera mengajukan pengembalian dana, tanpa modal video unboxing yang menjadi standar prosedur. Namun, sepekan berlalu tidak ada kejelasan, laporannya ditolak.

Pihak platform dan penjual menolak karena dia tidak mempunyai video saat proses unboxing paket, untuk dijadikan bukti kalau barang yang diterimanya kurang.

"Ya sudah, mau gimana lagi. Mungkin salah saya juga karena gak nge-videoin waktu unboxing, tetapi kan saya konsumen, ya percaya-percaya aja ya sama penjual," tutur Heni pada Validnews, Senin (16/1).

Oh, iya, Heni punya alasan untuk tetap berbelanja online. Menurutnya, kesibukan mengurus sang buah hati, membuatnya lebih memilih berbelanja online, ketimbang harus pergi ke luar rumah. Jadi, risiko yang mungkin dihadapinya pun sudah diketahuinya.

Lemahnya Perlindungan
Toni dan Heni bukanlah satu-satunya yang mengalami pengalaman tidak mengenakkan saat berbelanja online. Ada banyak masyarakat lainnya yang merasakan pengalaman serupa. 

Laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2020 menunjukkan, pengaduan konsumen mencapai lebih dari 3.600 kasus, naik sekitar 97,2% dari tahun sebelumnya. Untuk pengaduan individual, mayoritas mengadukan soal belanja online.

Ditaksir, ramainya pengaduan tak terklepas dari masih lemahnya perlindungan buat konsumen di Indonesia. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan para pedagang nakal untuk menipu dan meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Ya, mudahnya membuka toko online dan menjajakan barang dan jasa di berbagai platform e-commerce, membuat para ‘predator’ leluasa untuk berkeliaran mencari mangsa.

Pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen Agus Pambagio mengatakan, saat ini belum ada peraturan yang benar-benar mengikat untuk melindungi konsumen yang melakukan belanja online.

Memang, terdapat Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tetapi isinya tidak spesifik pada belanja online.

Ada juga, sih, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No.6/POJK.07 Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Tetapi, isinya pun tidak terlalu mengatur soal transaksi online. Konsumen banyak yang memilih pasrah ketimbang mengurus ke sana-kesini tanpa kejelasan.

"Kalau konvensional kan transaksi di tempat, bisa minta uang kembali (kalau barang tidak sesuai). Kalau online, susah itu PR lagi. Ganti rugi barang dan uangnya, belum lagi mengurusnya lama dan bikin capek, sementara harga barangnya gak seberapa," tutur Agus pada Jumat (13/1).

Untuk itu, Agus mengatakan, ada baiknya masyarakat yang melakukan belanja online untuk tidak memiliki ekspektasi tinggi pada proses belanja online. Itu karena barang yang dibeli bisa jadi tidak sesuai dengan katalog yang dijual, baik dari segi kualitas, kuantitas, dan lainnya.

Untuk itu, demi menghindari perselisihan, dia menganjurkan agar masyarakat lebih mengutamakan membeli barang di toko konvensional yang telah terlindungi melalui undang-undang. Jadi jika barang tidak sesuai, transaksi bisa segera dibatalkan, langsung meminta pergantian barang atau pengembalian uang.

Sistem di toko konvensional pun tidak serumit toko online. Hanya bermodalkan kuitansi atau struk belanja, konsumen bisa terjamin jika haknya terlanggar. Beda halnya dengan toko online yang mesti ditambah dengan kesiapan mental untuk menerima barang tak sesuai harapan atau bahkan gagal menerima barang pesanan.

“Makanya kalau belanja online, sudah ada catatan di otak kalau barang yang datang tidak mungkin sesuai dengan yang ada di katalog, karena barang yang dijual belum tentu asli, belum tentu memiliki hak paten, dan lainnya. Alur mekanisme penggantian dan pengembaliannya juga rumit, karena perbankan memiliki aturan sendiri kalau belanja pakai kartu kredit, jadi siap-siap saja kecewa,” jelas Agus.

Panggung Drama
Idealnya, setiap pedagang online punya saluran pengaduan yang responsif terhadap keluhan konsumen. Akan tetapi, sejauh ini, bisa dibilang, hanya perusahaan-perusahaan besar yang peduli dengan citra perusahaan yang memiliki saluran seperti itu.

Sementara itu, toko-toko kecil atau pendagang individu yang buka lapak di platform e-commerce, banyak yang tak memiliki layanan yang menampung keluhan pembeli. 

Selain merasa belum perlu, layanan seperti ini memang butuh upaya tersendiri. Padahal, dengan biaya operasional yang bertambah, barang dan jasa yang dijajakan bisa kalah kompetitif dengan pesaing.

Oh, iya, dari sisi pedagang, tak sedikit juga pembeli nakal atau rewel yang jika dilayani akan menguras waktu dan biaya. Maklum, harus diakui juga, tak semua pembeli punya niat yang baik dalam melakukan transaksi di toko online. Dilema seperti inilah yang seolah tak berujung.

Pembeli ‘benar’ macam Toni dan Heni, bisa saja jadi terimbas dan ikut dicurigai punya niat yang tak baik oleh pedagang. Rumitnya masalah ini akhirnya banyak mencuat ke media sosial. Platform ini dianggap sebagai panggung yang ‘netral’ untuk mengungkapkan unek-unek, baik dari penjual maupun pembeli.

Tak heran, medsos pun kini seolah jadi panggung terbuka untuk mengadukan perselisihan antara pedagang dan pembeli. Maklum tak jarang, masalah yang diungkapkan pembeli yang haknya dilanggar acap kali viral dan jadi perbincangan khalayak ramai.

Jika sudah begini, toko penjual bisa saja dinilai buruk dan ‘ditandai’ oleh banyak orang. Sebaliknya, tak jarang pula pembeli yang pada gilirannya dihujat karena keluhannya yang terkesan mengada-ngada. Di medsos, penilaian memang diserahkan ke warganet yang seolah menjadi juri.

Namun jika dipikir-pikir, pada kondisi seperti ini, pihak yang paling rentan dirugikan adalah pedagang. Jika pembeli hanya punya risiko dihujat beramai-ramai, pedagang punya risiko tokonya sepi, bahkan usahanya runtuh sejalan dengan anjloknya kredibilitas dan kepercayaan publik. 

Bahkan, bukan tak mungkin tokonya ditutup pihak e-commerce, berurusan dengan aparat atau otoritas terkait.

Daya tawar pembeli yang lebih tinggi di medsos inilah yang kerap menjadi senjata buat pembeli ‘mengancam’ pihak penjual memenuhi hak-haknya. Inilah yang jadi penyebab, para pembeli lebih mengandalkan

Adalah Rizka (26), yang mengaku pernah mengadu di media sosial seputar pengalaman tidak mengenakkannya berbelanja di salah satu toko buku online. Tweet-nya memang tidak viral, tetapi setidaknya berhasil mendapatkan respons dari toko buku online yang memang sengaja di-mention-nya.

Toko buku online itu menawarkan solusi pengembalian dana atas buku yang tak kunjung diterimanya.  Solusi tersebut pun langsung diiyakan, meski prosesnya relatif lama. Rizka harus menunggu sekitar enam bulan untuk mendapatkan haknya tersebut.

"Akhirnya saya diminta mengisi data untuk lakukan refund seharga buku yang belum datang. Tetapi, prosesnya ternyata sangat lama, hampir enam bulan. Itu pun dana yang cair sempat salah nominalnya, jadi untuk mendapatkan dana full harus menunggu lagi sekitar satu minggu lagi," kata Rizka pada Validnews, Senin (16/1).

Kabid Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priambodo mengatakan, media sosial yang dijadikan tempat pengaduan konsumen sah-sah saja dilakukan. Asalkan, kata dia, pengaduan yang disampaikan berdasarkan fakta dan tidak menyerang pribadi ataupun mencemarkan nama baik perusahaan tersebut, supaya konsumen tidak digugat balik.

“Wajar saja (mengadu di media sosial). Namun, lebih elok pengaduan disampaikan terlebih dahulu kepada internal pelaku usaha,” kata Rio pada Kamis (12/1).

Jika konsumen merasa tidak puas dengan penyelesaian internal, solusinya, kata dia, ya mengadu di media sosial seperti yang Rizka lakukan. Menurutnya, mengadu online memang jauh lebih efektif dibandingkan harus mengadu ke pelaku usaha yang belum tentu ditanggapi.

Menurutnya, melalui aduan di media sosial, masyarakat lain yang mungkin ingin membeli barang di toko yang sama akan berpikir ulang. Pada akhirnya, toko-toko yang dilaporkan akan mendapatkan predikat kurang terpercaya, suatu kondisi yang sangat dihindari dalam proses jual beli, baik itu online ataupun offline.

Singkatnya, dengan cara-cara yang santun dan berbasis fakta, medsos memang terbukti efektif menjadi instrumen penekan dan memancing respons dari penjual yang melakukan kesalahan. Paling tidak, jika tak jua direspons, banyak orang yang merasa sedikit terobati dengan menumpahkan kekecewaannya di medsos.

Agus meyakini, situasi seperti ini akan terus berlangsung, selama tak ada aturan main yang jelas dan mapan soal belanja online dan perlindungan konsumen yang ada di dalamnya. Tapi, perlu diingat, asal ‘berkoar-koar’ di medsos juga punya risiko digugat balik, loh. Jadi tetap hitung-hitung dengan cermat, ya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar