c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

KULTURA

26 Juni 2021

10:31 WIB

Mbah Karjo Dan Wayang Puspa Sarira Khas Malang

Mbah Karjo selalu menyediakan waktu 11 menit di atas panggung untuk menampilkan proses pembuatan Wayang Puspa Sarira sebelum pertunjukan.

Penulis: Chatelia Noer Cholby

Editor: Yanurisa Ananta

Mbah Karjo Dan Wayang Puspa Sarira Khas Malang
Mbah Karjo Dan Wayang Puspa Sarira Khas Malang
Mbah Djo, pengembang Wayang Puspa Sarira. Sumberfoto: Instagram.com/wayangsuketpuspasarira

JAKARTA – Kesenian memang sudah sangat melekat pada jiwa Mbah Karjo, seorang pencetus Wayang Puspa Sarira di Kota Malang, Jawa Timur. Memilih tidak melanjutkan pendidikan jenjang SMA, Mbah Karjo pun menekuni media kartu wayang sejak tahun 1991.

Ketertarikan Mbah Karjo terhadap dongeng membuatnya mencari tahu lebih lanjut tentang media ‘wayang’. Apalagi dirinya memiliki keharusan mendongeng untuk anaknya hingga dia terus menekuni kesenian tersebut.

“Beberapa teman-teman di lingkungan sekitar saat itu, sempat mengatakan bahwa untuk memperkuat dongeng dibutuhkan sebuah media. Alhasil, saya pun memilih boneka sebagai media dongeng,” tuturnya saat berbincang dengan Validnews, Jumat (25/6).

Mbah Karjo sempat mencoba membuat wayang dari berbagai bahan, seperti tas kresek, plastik, serabut kelapa, kain perca, pita plastik, bambu, hingga terakhir bunga kering. Tahun 2012, Mbah Karjo mantap memilih batang bunga kering untuk membuat wayang Puspa Sarira.

“Setelah menggunakan berbagai bahan, akhirnya material wayang ini pun sudah paten hingga sekarang. Bahan ini didapat dari daerah Wajak, Kabupaten Malang Selatan,” ujarnya.

Nama Puspa Sarira ini diambil dari bahasa Jawa Kromo, artinya boneka yang terbuat dari bunga kering. Kedua tangan Mbah Karjo pun tampak lincah merakit wayang dari batang bunga kering yang ada di hadapannya.

Di sela-sela proses membuat boneka itu, Mbah Karjo bercerita, ada makna di balik jumlah bahan yang digunakan pada wayang Puspa Sarira. Diketahui sejak tahun 2012 wayang Puspa Sarira hadir dengan bahan yang terus berkembang.

“Mulai dari berbatang tiga, empat, lima, enam, hingga sekarang tujuh. Bahan ini akan terus mengalami perkembangan, seperti kehidupan manusia dalam kosmologi Jawa mulai dari lahir hingga menutup mata,” ungkapnya.

Setiap kali tampil, Mbah Karjo pun jarang membawa wayang yang sudah jadi. Pria bernama asli Syamsul Subakri ini memang sengaja memperlihatkan cara pembuatannya kepada para penonton. Selama 11 menit kedua tangannya pun merakit batang tersebut, sembari bercerita makna-makna kehidupan.

“Layarku ini adalah gambaran dari semesta. Bonekaku ini menggambarkan kehidupan manusia. Manusia dapat melihat karena tiga sinar, yaitu matahari, rembulan, dan bintang,” tuturnya.

Lewat wayang berbahan batang bunga kering dan cahaya lampu, Mbah Karjo selalu menyampaikan cerita tentang kehidupan manusia dari dahulu hingga masa kini. Tak jarang, dia membagikan wayang yang dibuatnya itu kepada para penontonnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER