c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

11 Juni 2025

20:12 WIB

Max Ammer Dan Citra Mendunia Raja Ampat

Rasa penasarannya membawa Max Ammer berpetualang sampai ke tanah Papua, menemukan keindahan luar biasa Raja Ampat. Bersama warga lokal, Max menggarapnya, mendunia

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Max Ammer Dan Citra Mendunia Raja Ampat</p>
<p id="isPasted">Max Ammer Dan Citra Mendunia Raja Ampat</p>

Max Ammer. papua-diving/dok

JAKARTA - Bayangkan tempat di mana langit biru 'mencium' lautan sebening kristal, ditambah gugusan pulau kecil berwarna hijau, menambah keindahan sebuah lukisan hidup. Itulah Raja Ampat, permata tersembunyi di ujung barat Papua, menjadi salah satu tempat terindah di Bumi.

Lanskap laut berwarna biru kehijauan yang tenang, dengan pulau-pulau karst menjulang seperti bebatuan raksasa yang menjaga keheningan. Dari atas Bukit Pianemo, Anda bisa menyaksikan panorama yang begitu menakjubkan. Semuanya bagaikan lukisan alam yang indah sempurna. 

Di perairannya, terbentang taman karang berwarna-warni, ikan-ikan eksotis, penyu, manta ray, hingga hiu Wobbegong atau walking shark hanya bisa ditemukan di wilayah ini.

Tak berlebihan jika banyak yang menyebutkan Raja Ampat sebagai 'surga dunia'. Dalam kurun waktu sekitar 20 tahun, kawasan ini berubah dari wilayah tak dikenal, menjadi salah satu destinasi wajib para penyelam. 

Coba saja ketik “Raja Ampat diving” di Google, Anda langsung dibanjiri pilihan fasilitas yang siap memanjakan waktu liburan, dari kapal liveaboard mewah berfasilitas spa hingga kapal sederhana yang setara dengan hostel terapung, cocok buat para backpacker

Tak hanya fasilitas di atas laut, deretan resor cantik hingga homestay ala nuansa tradisional, juga jadi pilihan buat para wisatawan. Gelombang pariwisata ke Raja Ampat telah membawa banyak perubahan positif. 

Dulu, pilihan menyelam di Raja Ampat sangat terbatas. Satu-satunya tempat tinggal di darat hanyalah sebuah perkemahan pantai di Pulau Kri. Lokasinya di ujung barat Selat Dampier, sekitar dua hingga tiga jam perjalanan dengan perahu kecil dari Sorong. 

Di balik perkemahan sederhana di Pulau Kri, terselip nama yang melegenda di kalangan penyelam dunia. Adalah Max Ammer yang merupakan seorang pionir, pembuka jalan bagi wisata menyelam di Raja Ampat.

Dari Peninggalan Perang ke Surga Bawah Laut                                                           Kisah Max Ammer ke Raja Ampat bermula dari obsesi masa muda terhadap mesin tua, sejarah Perang Dunia II, dan keingintahuan akan cerita-cerita yang nyaris terlupakan.

Lahir di Belanda pada tahun 1961, sejak kecil ia terbiasa hidup di lingkungan yang tidak biasa. Max menghabiskan 14 tahun pertamanya di Nigeria, di mana ayahnya bekerja di industri minyak dan gas. 

Di sana, Max tumbuh di sebuah vila ekspatriat dengan taman tropis luas yang dipenuhi binatang liar. Mungkin baginya tempat tinggal itu seperti mini-zoo alami. Pengalaman masa kecil itu menanamkan rasa cinta pada alam dan petualangan yang melekat hingga dewasa.

Setelah kembali ke Belanda di usia remaja, Max merasa negaranya terlalu kecil dan terlalu teratur. Ia mendambakan ruang bebas dan eksplorasi yang dulu ia rasakan di Afrika. Di tengah rasa jenuhnya, saat berusia 17 tahun dia menemukan kecintaan pada motor tua, khususnya Harley-Davidson WLA, motor legendaris dari era Perang Dunia II. 

Awalnya, ia membeli satu unit untuk dibongkar dan direstorasi sendiri, lalu berlanjut merestorasi motor milik orang lain. Dari situ, Max mulai membuka bengkel kecil dan toko suku cadang Harley-Davidson klasik.

Usahanya berkembang, sampai satu saat dia bertemu dengan seorang veteran Perang Dunia II ketika mencari lokasi untuk membukan bengkel baru. Veteran itu menceritakan pengalamannya selama perang di Pulau Morotai, ujung utara Halmahera, Indonesia. 

Max terhanyut akan tutur kisahnya, tentang bagaimana ia menyaksikan sendiri lebih dari seratus jip Willys yang masih baru milik tentara Amerika, dibuang begitu saja ke tengah hutan tropis. 

Alasan di balik itu cukup mengejutkan, di mana dalam kontraknya, militer AS dan produsen jip Willys-Overland Motors sepakat untuk tidak membawa kendaraan-kendaraan tersebut pulang ke Amerika setelah perang usai. Alhasil, jip-jip itu ditinggal begitu saja di tempat terpencil, jauh dari peradaban. 

Waktu berlalu, namun cerita itu terus menghantui Max. Maka, pada tahun 1989, di usia 28 tahun, ia memutuskan untuk berangkat ke Indonesia, mengejar cerita yang hanya bisa dibuktikan dengan mata kepala sendiri. Ia menjalankan ekspedisi sejarah, seraya menangkap peluang bisnis menjual suku cadang langka kepada para kolektor. 

Zaman itu belum ada Google Maps, tidak ada ponsel pintar, dan belum banyak informasi yang bisa didapat dengan mudah tentang Indonesia. Perjalanan ke Morotai adalah petualangan yang penuh ketidakpastian. 

Sesampainya di Indonesia, Max harus menaiki kapal feri antarpulau yang lambat dan sederhana. Ia berbicara dengan penduduk lokal yang bahasanya tidak ia kuasai, menyusuri hutan tropis yang bahkan belum tentu memiliki peta akurat.

Tapi, semua tantangan itu tidak menyurutkan langkahnya. Sampai ia berhasil menemukan beberapa jip yang masih utuh, atau setidaknya bisa diambil komponennya. Max kemudian menjual suku cadang langka itu kepada kolektor kendaraan militer antik di seluruh dunia. Keberhasilannya ini seakan menandai dimulainya babak baru dalam hidupnya.

Tapi petualangan Max belum selesai. Dalam eksplorasinya di wilayah timur Indonesia, ia terus bergerak ke selatan dan timur, hingga akhirnya tiba di Raja Ampat. Sebuah gugusan pulau di barat Papua yang kala  itu nyaris tidak dikenal siapa pun.

Yang ia temukan jauh melampaui ekspektasinya. Matanya terbelalak melihat langsung laut sebening kristal, terumbu karang yang belum tersentuh, ikan-ikan berwarna-warni, dan ketenangan yang belum pernah ia temukan di mana pun. Sebagai penyelam dan pencinta alam, Max menemukan 'surga'.

Alamnya masih 'perawan'. Jika ingin menyelam, orang harus berkemah di pantai, membawa peralatan sendiri, termasuk kompresor udara dan logistik makanan. Tapi itulah yang membuat tempat ini istimewa bagi Max. Liar, murni, dan belum tersentuh.

Lahirnya Eco Diving                                Max Ammer akhirnya memutuskan tinggal lama di Raja Ampat. Menyelam, mengeksplorasi bangkai kapal Perang Dunia II, sampai merasakan jatuh cinta pada kehidupan bawah laut yang tak tertandingi. 

Tapi, ada satu yang mulai mengusik nuraninya. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keindahan itu perlahan-lahan mulai rusak. Bom ikan meledak di kejauhan. Terumbu karang hancur. Ikan-ikan besar yang dulunya mudah dijumpai mulai menghilang. Di darat, pembalakan liar dan tambang mengotori sungai dan laut. Max sadar, jika dibiarkan, Raja Ampat akan hancur dalam diam. 

Suatu hari, di tepian Pulau Kri, Max duduk termenung. Di satu sisi, ia memikirkan nasib lingkungan yang kian terancam. Di sisi lain, ia melihat masyarakat lokal yang hidup dalam keterbatasan. 

Dalam mangunya, Max sadar jika tidak bertindak, pesona Raja Ampat bisa hilang selamanya. Tapi apa yang bisa ia lakukan seorang diri, sebagai pendatang?

Itulah saat pertama kali gagasan eco diving benar-benar lahir di benak Max. Namun idenya bukan tanpa hambatan.

Raja Ampat saat itu benar-benar terpencil. Tidak ada infrastruktur wisata, tidak ada listrik, tidak ada akses komunikasi. Bahkan untuk sampai ke lokasi pun perlu perjuangan panjang. Dari kota besar naik pesawat kecil, lalu berjam-jam menggunakan kapal. Mendirikan resort di tempat seperti ini terdengar nyaris mustahil, seolah ingin membangun hotel di tengah hutan perawan. Belum lagi soal kepercayaan dari masyarakat lokal. 

Max sadar, ia harus memulai dari hati. Maka langkah pertamanya adalah pergi ke Desa Yenbuba, bertemu para tetua adat dan meminta izin untuk membangun tenda-tenda sederhana di pantai Pulau Kri. Ia tidak menjanjikan kemewahan, tapi ia menjanjikan satu hal, yakni kerja sama yang jujur dan saling menguntungkan.

Tak lama setelah mendapat restu dari masyarakat, Max kembali ke Belanda dan ikut serta dalam sebuah dive show internasional. Di sana ia memamerkan rencana yang belum benar-benar ada, yakni eco resort di surga yang tersembunyi. 

Ia membangun stan pameran yang mencolok dipenuhi tanaman tropis dan artefak Papua, menciptakan rasa penasaran dan mimpi bagi siapa pun yang lewat. 

"Kalau ada tiga kelompok tamu yang tertarik datang, saya akan mulai bangun resortnya," ungkap Max dengan santai saat dipameran tersebut, dilansir dari laman Suunto.

Benaknya hanya akan ada beberapa yang berminat, tapi ternyata di luar dugaan. Dalam waktu singkat, langsung mendapat pemesanan untuk dua tahun ke depan.

Dengan modal itu dan pinjaman dari ayahnya sebesar US$100 ribu, ia kembali ke Raja Ampat, membangun eco camp pertama pada tahun 1993 bersama masyarakat lokal. Nyaris tanpa alat berat, hanya gotong royong dan semangat. 

Saat tamu pertamanya datang, ia dan para pekerja masih menyelesaikan bagian akhir resort sambil menyambut tamu dengan tangan penuh debu dan hati penuh harap.

Memberdayakan Masyarakat Lokal     Saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Papua, Max sadar bahwa masyarakat di sana hangat, dan menghormati alam. Namun di balik senyum dan keramahan itu, ia juga melihat kenyataan pahit di mana banyak dari mereka hidup dalam keterbatasan. 

Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak sangat minim, terutama di daerah terpencil seperti Raja Ampat. Saat memulai usaha diving dan pariwisata, Max tahu ia punya kesempatan untuk mengubah itu. 

"Kalau saya bisa menciptakan pekerjaan di sini, artinya saya juga bisa menciptakan harapan," begitu kira-kira pikirnya seperti dikutip dalam laman Xray Magazine.

Langkah pertama Max adalah merekrut warga lokal. Mereka yang sebelumnya bekerja sebagai penebang liar, nelayan yang menangkap hiu untuk siripnya, bahkan pemburu satwa langka, diajak bergabung. Mereka dilatih menjadi pemandu selam, teknisi, juru masak, tukang bangunan, dan perajin furnitur. 

Pelan-pelan, mereka bukan hanya punya pekerjaan, tapi juga rasa bangga atas peran mereka menjaga alam. Sebagian besar staf di resort-nya kini adalah orang Papua. 

Mereka bekerja di resort, membuat kapal untuk transportasi laut, dan bahkan membuat semua perabotan yang digunakan. Max juga mendirikan bengkel kecil untuk pelatihan keterampilan teknik mulai dari memperbaiki mesin hingga membuat perahu kayu. 

Dari yang tak pernah menyentuh obeng, kini masyarakat bisa merakit kapal selam kecil. Tak berhenti di darat dan laut, Max juga menatap langit. 

Ia mendirikan Frontier Aviation, sebuah program pelatihan sukarela untuk mengajarkan warga Papua merakit, merawat, hingga menerbangkan pesawat kecil. Suatu hari, dengan bangga Max bercerita bahwa salah satu muridnya, Noor Hilapok, telah resmi menjadi pilot lokal pertama dari program ini. 

Max percaya, perubahan jangka panjang hanya mungkin terjadi jika anak-anak Papua punya akses pendidikan. Melalui yayasan RARCC (Raja Ampat Research and Conservation Center), ia mendukung sebuah sekolah di desa terpencil Yarweser, di Pulau Batanta. 

Ia membantu membangun gedung baru, melatih guru, menyumbang buku dan alat belajar, serta menyediakan rumah layak bagi guru yang mengajar di sana.

Baginya, satu guru yang mengajar dengan sungguh-sungguh di tempat yang paling jauh, bisa mengubah seluruh generasi. Max tak pernah membayangkan bahwa resort selam yang ia bangun dengan penuh perjuangan di tepi hutan tropis Raja Ampat akan menjadi motor perubahan. 

"Kalau kita memberi kesempatan, mereka akan membuktikan bahwa mereka bisa," katanya suatu waktu. 

Dan benar saja, dari bawah laut hingga ke langit Papua, jejak pemberdayaan itu kini semakin nyata.

Membangun Tanpa Merusak                  Pada tahun 2004, tepat satu dekade setelah mendirikan Papua Diving, Max Ammer mengambil langkah besar. Semakin meneguhkan jejak ekowisatanya di Raja Ampat dengan membangun resor keduanya, Sorido Bay Resort, di Pulau Kri. 

Max sadar, semakin banyak wisatawan datang, semakin besar pula  dampak buruk terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan bijak. Karena itu, sejak awal, ia merancang Sorido Bay untuk membangun fasilitas kelas dunia tanpa merusak tempat yang membuatnya istimewa.

Di tempat terpencil seperti Pulau Kri, air bersih adalah tantangan besar. Tapi Max tidak ingin resort ini mengambil dari sumber air masyarakat atau menggali sumur yang bisa mengganggu keseimbangan lingkungan. 

Ia memilih cara yang sederhana namun cerdas, Max memanen air hujan. Atap-atap bangunan di Sorido Bay dirancang khusus untuk menangkap air hujan sebanyak mungkin. 

Air ini lalu disaring, disimpan, dan didistribusikan ke kamar-kamar tamu, dapur, dan fasilitas lain. Setiap tetes air yang digunakan di Sorido Bay adalah hasil simbiosis antara teknologi dan kearifan alam.

Masalah lain yang kerap menghantui kawasan wisata adalah limbah. Max sangat sadar bahwa septic tank bocor atau sampah plastik yang dibuang sembarangan bisa merusak laut yang selama ini menjadi pusat kehidupannya. Untuk itu, ia membangun taman resapan limbah, sebuah sistem biologis yang menggunakan tanaman air seperti eceng gondok dan papirus untuk menyerap dan memurnikan air limbah. 

Tidak ada limbah cair yang dibuang ke laut. Tidak ada pembakaran sampah sembarangan. Plastik, kaleng, bahkan sisa bangunan dikumpulkan, dipilah, dan dikirim kembali ke Sorong untuk didaur ulang. Semuanya dikembalikan ke alam.

Sejak awal, Max juga terganggu dengan banyaknya perahu wisata bermesin tempel dua-tak. Mesin ini memang murah dan ringan, tapi sangat mencemari laut dengan oli dan bensin. 

Ia tahu jika dibiarkan, kerusakan ekosistem akan sulit dikendalikan. Maka lahirlah ide membuat catamaran, kapal berlambung ganda dengan mesin inboard yang lebih hemat bahan bakar dan lebih ramah lingkungan. 

Istimewanya lagi, kapal-kapal ini dibuat sendiri oleh warga Papua. Max mendirikan bengkel kerja di dekat resort dan melatih pemuda-pemuda lokal yang sebelumnya tak pernah mengenal teknik konstruksi kapal. Dari bengkel itulah lahir kapal ramah laut, juga meja, kursi, tempat tidur, dan furnitur resort lainnya, semuanya hasil tangan warga yang bekerja dengan penuh kebanggaan. 

Sorido Bay juga bukan sekadar tempat menginap, melainkan tempat belajar dan tumbuh. Semua staf resort adalah warga lokal. Mereka yang dulunya nelayan atau buruh, kini menjadi pemandu selam, teknisi, juru masak, bahkan manajer. Max bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk menyelenggarakan pelatihan menyelam, kursus konservasi laut, hingga riset ilmiah yang melibatkan anak-anak muda Papua. 

Bagi Max, Sorido Bay adalah simbol dari cara pandang yang ingin ia wariskan bahwa kemajuan tak harus merusak. Bahwa membangun bisa dilakukan tanpa meninggalkan sampah, tanpa meracuni laut, dan tanpa menjadikan warga lokal hanya sebagai penonton. 

Di dek kayu Sorido Bay saat malam tiba, saat langit penuh bintang dan suara ombak terdengar seperti lagu kuno, Max sering duduk diam memandangi laut yang dulu hanya ia jelajahi seorang diri.  Kini, laut itu dijaga oleh banyak tangan. Tangan-tangan yang dulu mungkin tak punya pilihan, kini menjadi penjaga rumah mereka sendiri.

Apa yang dilakukan Max bukan pembangunan dalam arti konvensional, melainkan penanaman nilai bahwa tempat seindah ini hanya bisa bertahan jika dijaga bersama. Bahwa kekayaan alam akan lenyap jika tak disertai cinta dan tanggung jawab. 

Bahwa masyarakat lokal menjadi tokoh utama dalam menjaga warisan bumi mereka. Inilah yang membuat Raja Ampat, mendapatkan banyak penghargaan dari seluruh dunia

Inilah semangat yang menjadikan Raja Ampat dikenal dunia. Semata ini bukan hanya karena keindahannya, tetapi karena komitmen kolektif untuk melestarikannya. Pada tahun 2023, Raja Ampat pun dianugerahi status Global Geopark oleh The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), pengakuan dunia atas kekayaan geologi, keanekaragaman hayati, serta peran aktif masyarakat dalam merawatnya sebagai pusaka yang tak ternilai.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar