28 Oktober 2025
14:26 WIB
Massossor Manurung, Ritual Pembersihan Pusaka Sekaligus Refleksi Sosial
Pusaka Manurung telah menjadi simbol kekuatan, kepemimpinan, dan keadilan di Tanah Mamuju sejak tahun 1500 Masehi.
Editor: Andesta Herli Wijaya
Pemangku adat bersama Maradika (Raja) Mamuju Andi Bau Akram Dai saat saat prosesi Massossor Manurung sebagai tradisi pencucian pusaka Kerajaan Mamuju (ANTARA/HO/Diskominfo Sulbar)
JAKARTA - Masyarakat di Sulawesi Barat memiliki beragam tradisi yang terus bertahan hingga saat ini. Salah satunya yaitu upacara adat Massossor Manurung atau pencucian pusaka sakral peninggalan Kerajaan Mamuju di Provinsi Sulawesi Barat.
Massossor Manurung adalah ritual pencucian keris yang dilakukan oleh Kerajaan Mamuju, setiap dua tahun sekali di Kabupaten Mamuju. Tapi tak hanya itu, upacara ini juga menjadi momentum penting untuk merawat nilai-nilai budaya, spiritual, dan persatuan masyarakat di tengah arus modernisasi.
Secara etimologi, kata Massossor memiliki arti 'penyucian' atau 'pembersihan,' dan Manurung berarti 'benda kerajaan'.
Maradika (Raja) Mamuju Bau Akram Dai dari Lemaga Adat Kerajaan Mamuju mengatakan, ritual Massossor Manurung telah diwariskan turun-temurun sejak tahun 1.500 Masehi. Ia menyebut, ritual ini berasal dari masa pemerintahan Raja Lasalaga, sosok yang diyakini memiliki kembaran bernama "Maradika Tammakana-kana" atau raja yang tak bisa berbicara, yang kemudian disebut pusaka Manurung.
Pusaka Manurung telah menjadi simbol kekuatan, kepemimpinan, dan keadilan di Tanah Mamuju sejak tahun 1500 Masehi.
"Sehingga pada saat sekarang ini, anak cucunya dan lembaga adat sering melaksanakan Sossor Manurung, satu kali dalam dua tahun pada tahun ganjil," tutur Bau Akram Dai dilansir dari Antara, Selasa (28/10).
Bau Akram Dai yang juga dikenal sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulbar menjelaskan bahwa filosofi lokal yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Mamuju hingga kini, yaitu ‘Sema manginung uai randanna to Mamuju, maka ia to Mamuju’. Filosofi itu mengandung makna, siapa pun yang minum air di Tanah Mamuju adalah bagian dari Mamuju dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kedamaian serta membangun daerah ini.
"Kami dari Lembaga Adat Kerajaan Mamuju siap bergandengan tangan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menjaga nilai budaya dan kearifan lokal," kata Bau Akram Dai, yang juga sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulbar.
Prosesi Massossor Manurung diawali kirab budaya dengan mengarak pusaka yang akan dicuci di kawasan Rumah Adat Mamuju. Ketika tiba di lokasi, langsung disambut tarian penghormatan, seolah menyambut roh leluhur yang diyakini turut hadir pada prosesi sakral tersebut.
Pada puncak ritual adat Massossor Manurung, benda pusaka dicuci dengan air kembang dan wewangian khusus, diiringi doa-doa dalam bahasa Mamuju. Proses ini dipimpin langsung Maradika Mamuju Andi Bau Akram Dai, didampingi para pemangku adat.
Tradisi Masossor Manurung sendiri dipercaya memiliki tuah yang dapat memberikan berkat pada masyarakat.
Mulanya, tradisi tersebut dilakukan saat masyarakat Mamuju mengalami masa sulit yaitu kekeringan. Hal tersebut mendorong raja untuk memerintahkan Galaggar Pitu agar memandikan dan mensucikan keris pusaka kerajaan.
Setelah melakukan pembersihan, air hasil mencuci keris tersebut disebar ke kebun, sawah, dan laut. Penyebaran air tersebut akhirnya meredakan kekeringan.
Pelstarian Dan Refleksi Sosial
Gubernur Sulbar Suhardi Duka lenyebutkan, tradisi Massossor Manurung tidak hanya sebatas pelestarian budaya dan tradisi Kerajaan Mamuju, tetapi juga dapat memperkuat identitas dan landasan moral.
Di balik pembersihan pusakaavau upacara ini juga dimaknai sebagai pembersihan diri, refleksi spiritual, dan evaluasi terhadap perjalanan kehidupan sosial serta pemerintahan.
Gubernur Sulbar Suhardi Duka saat menghadiri prosesi Massossor Manurung mengatakan, tradisi pencucian pusaka itu tidak hanya menjadi simbol pelestarian benda pusaka, tetapi juga bentuk introspeksi dan pembersihan moral bagi seluruh lapisan masyarakat.
"Prosesi ini bukan hanya sebatas ritual pembersihan benda pusaka, tapi juga pembersihan diri dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, pemerintahan, maupun sosial di setiap masa. Karena itu, kegiatan seperti ini penting untuk kita terus merawatnya," katanya.
Baca juga: Melestarikan Tradisi Asal Di Tanah Rantau Lewat Bajepin Yok! 2025
Lebih Jauh, kata Suhardi, prosesi Massossor Manurung juga membuka peluang wisata budaya di daerah mereka. Ia meyaknini kalau pesona budaya bisa menjadi kekuatan pariwisata di daerahnya, seperti halnya Bali.
Budaya di era modern seperti sekarang menurut Suhardi Duka, tidak hanya disakralkan, tapi juga bisa dipasarkan.
"Contohnya Bali, orang datang ke sana bukan hanya untuk menikmati alamnya, tapi juga budayanya. Maka tradisi Massossor Manurung ini bisa kita kembangkan menjadi atraksi wisata budaya yang menarik wisatawan lokal dan mancanegara," jelasnya.
Menurutnya, keunikan budaya Mamuju yang berangkat dari kepercayaan bahwa Manurung bukanlah benda biasa melainkan dilahirkan, memiliki nilai mistik dan simbolik yang tinggi sehingga dapat menarik perhatian dunia luar.
"Kalau orang asing mendengar bahwa keris ini dilahirkan, pasti mereka penasaran dan ingin tahu bagaimana keyakinan itu terbentuk. Ini daya tarik budaya yang luar biasa jika dikemas dengan baik," tutur Suhardi.