c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

25 September 2024

09:41 WIB

Masalah Komersialisasi TIM Dan Janji Para Calon Pemimpin Jakarta

Jakpro sebagai pemegang hak tata kelola TIM yang baru dianggap membuat fasilitas kesenian bersejarah tersebut menjadi terlalu komersial dan kian sulit diakses oleh seniman.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

<p>Masalah Komersialisasi TIM Dan Janji Para Calon Pemimpin Jakarta</p>
<p>Masalah Komersialisasi TIM Dan Janji Para Calon Pemimpin Jakarta</p>

Sesi Dialog Publik Seni bersama Cagub dan Cawagub Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (23/9). Validnews/Andesta

JAKARTA - Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pasca revitalisasi selalu menjadi sumber kegelisahan bagi banyak seniman. Pasalnya, kehadiran perusahaan milik daerah, Jakpro sebagai pemegang hak tata kelola TIM yang baru dianggap membuat fasilitas kesenian bersejarah tersebut menjadi terlalu komersial dan kian sulit diakses oleh seniman.

Masalahnya, Jakpro memasang tarif sewa ruang yang tinggi untuk kegiatan berkesenian di TIM. Sebuah grup teater kenamaan yang baru-baru ini menggelar pentas di TIM, kabarnya harus membayar Rp250 juta untuk menggunakan gedung dalam empat sesi pertunjukan.

Nuansa bisnis yang mencolok membuat TIM semakin ditinggalkan para pelaku seni. Padahal, kawasan ini dulunya dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai wadah yang hadir sepenuhnya untuk seniman dan publik pecinta seni. Seniman bisa tampil atau menggunakan fasilitas di TIM untuk unjuk karya, tanpa harus dibebankan dengan biaya sewa yang selangit.

Keresahan akan tata kelola TIM ini beberapa kali mencuat dalam bentuk suara-suara keras oleh seniman, termasuk dari Dewan Kesenian Jakarta yang notabene adalah pihak yang diberikan wewenang mengelola kegiatan kesenian di TIM.

Terbaru, para seniman menyuarakan kegerahan itu kepada para calon pemimpin Jakarta, kepada tiga pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur Jakarta, dalam sesi dialog di TIM pada Senin (23/9).

Pematung senior Dolorosa Sinaga mengatakan, TIM saat ini sudah melenceng jauh dari cita-cita awal pembangunannya. Pusat kesenian ini dianggap telah dikelola secara tidak berkeadilan, karena tak ramah terhadap para seniman.

Dolorosa yang duduk sebagai salah satu panelis dalam sesi dialog bersama paslon nomor urut 1, Ridwan Kamil-Suswono. Dia meminta gagasan paslon tersebut terikait penyelesaian sengkarut tata kelola TIM yang kini telah menjadi kegelisahan bersama para seniman.

“Persoalan TIM ini yang dipandang sebagai sumber untuk bisa mengembalikan modal revitalisasi, ini gak mungkin. Dan tidak ada yang bisa menyewa ruangan sebesar Rp200 juta sehari. Saya ingin permasalahan TIM ini bisa untuk melihat permasalahan kesenian secara lebih luas di Jakarta,” ungkap Dolorasa yang merupakan alumni pertama Institut Kesenian Jakarta, bagian tak terpisahkan dari TIM.

Dolorosa menyorot peran penting ekosistem kesenian di TIM di masa lalu yang telah melahirkan para pelaku seni garda depan hari ini. Termasuk IKJ yang menjadi muasal para sineas ternama, hingga TIM yang melahirkan nama-nama seniman yang diakui kiprahnya secara luas.

Menurutnya, itu bisa terjadi karena TIM dulunya dikelola dengan berkeadilan serta berorientasi pada pemajuan seni, bukannya bisnis. Karena itu, Dolorosa pun meminta agar TIM segera bisa dikembalikan marwahnya sebagai rumah milik seniman, ruang yang dihidupkan dan menghidupkan para seniman.

Sorotan senada juga disampaikan seniman kawakan  Butet Kartaredjasa, dalam sesi dialog bersama paslon lainnya, Pramono Anung-Rano Karno. Butet mengingatkan para calon pemimpin Jakarta tentang posisi negara dalam pemajuan kesenian dan kebudayaan, yaitu sebagai fasilitator.

Negara, kata Butet, harus hadir mengambil tanggung jawab membiayai pembangunan pun operasional fasilitas kesenian semacam TIM, bukannya dibebankan kepada seniman lewat skema sewa.

“Kembali menjadikan TIM sebagai suatu ekosistem yang baik untuk urusan seni, seperti zaman Bang Ali.Artinya, yang membiayai itu APBD. DKI itu kaya raya, kok masih bernafsu berdagang di pusat kesenian,” ketus Butet.

Butet melanjutkan, TIM harus dipandang sebagai ruang untuk investasi manusia, sehingga tak layak dijadikan sebagai ruang komersial untuk mengembalikan modal investasi pembangunannya. Dengan visi yang berorientasi pada manusia, maka menurut Butet  TIM harus ‘dikembalikan’ kepada para seniman, dalam artian hadir sebagai ruang yang sepenuhnya dimanfaatkan untuk kesenian.

Janji Penyelesaian 3 Calon Pemimpin Jakarta
Keresahan seniman, yang diwakili oleh Dolorosa Sinaga dan Butet  Kartaredjasa ditanggapi dengan simpatik oleh ketiga Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Jakarta.

Ridwan Kamil menjanjikan perhatiannya, akan menjadikan isu tata kelola tim dalam deret prioritas penyelesaiannya di tahun pertama, jika kelak terpilih sebagai Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ)--penyebutan Jakarta setelah lepas dari status Ibukota Negara.

“Saya mau jujur, permasalahannya saya baru dengar hari ini. Yang akan saya lakukan adalah mengaudit, apa problemnya, apakah nantinya oleh diskresi Gubernur tanpa melanggar aturan maka rasa keadilan bisa dihadirkan, harusnya bisa, menurut logika saya,” ucap RK.

Keberpihakan yang lebih konkret datang dari paslon Pramono Anung dan Rano Karno. Kandidat ini menjanjikan pengelolaan TIM yang lebih baik di masa mendatang, termasuk membuka peluang menempatkan pengelolaan TIM di tangan seniman langsung, bukannya perusahaan yang berhaluan bisnis.

Rano Karno, bahkan menyatakan keprihatinannya akan kondisi TIM saat ini yang menurutnya merosot. Sebagai pelaku seni, aktor yang pernah tumbuh dari ekosistem kesenian di TIM di masa lalu, Rano menilai TIM saat ini tak lagi punya ‘taji’ sebagai pusat kesenian yang harusnya ikonik bagi kota  Jakarta.

“Tugas negara, tugas pemerintah hadir di dalam sebuah kegiatan. Tapi kalau saya jadi wakilnya Mas Pram (Pramono Anung-red), tempat ini akan jauh lebih sejahtera. Tempat ini tentu harus dikelola, pertanyaan kita apakah seniman bisa kelola ini? Kalau bisa, kenapa tidak. Tinggal dibuktikan bagaimana konsep Anda,” tutur ‘Bang Doel’.

Paslon lainnya, Dharma Pongrekun dan Kun Wardana juga menyatakan komitmen sama besarnya untuk menyelesaikan masalah tata kelola TIM. Kun Wardana yang hadir dalam sesi Dialog publik Seni sekaligus mewakili pasangannya, menyebutkan gagasan spesifik, yaitu hendak mengembalikan pengelolaan TIM kepada Dinas Kebudayaan.

Menurut Kun Wardana, TIM tidak akan bisa dikelola secara benar jika bukan oleh pihak-pihak yang memang memiliki pemahaman terhadap seni dan budaya.

“TIM ini saat ini dikelola Jakpro, ya. Jakpro ini otomatis lebih melihat dari sisi bisnis, tidak dari sisi budaya. Melihat aspirasi yang ada, kami menginginkan bahwa ini dikembalikan lagi ke Dinas Kebudayaan karena mereka yang mengerti nilai-nilai seni budaya itu,” kata Kun Wardana.

“Seni budaya adalah nilai, sama seperti pendidikan, agama dan lain-lain. Ini harus kita dorong, kita berikan dukungan dan subsidi agar nilai-nilai itu tetap ada, tidak tergerus budaya asing,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar