c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

21 Mei 2024

14:46 WIB

Martabak Kaka, Kuliner Bukittinggi Legendaris Yang Lebih Tua Dari Jam Gadang

Dirintis oleh keluarga imigran India, dulunya warung Martabak Kaka jadi tempat para pejuang mendiskusikan kemerdekaan di Bukittinggi.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Rendi Widodo

<p>Martabak Kaka, Kuliner Bukittinggi Legendaris Yang Lebih Tua Dari Jam Gadang</p>
<p>Martabak Kaka, Kuliner Bukittinggi Legendaris Yang Lebih Tua Dari Jam Gadang</p>

Martabak Kaka di Bukittinggi yang sudah ada sejak 1923. Gmaps/Anthony Ng

JAKARTA - Jika berkunjung ke Bukittinggi, objek wisata yang pasti tak boleh dilewatkan adalah Jam Gadang yang memiliki kaitan erat dengan monumen ikonik  Big Ben di London. Tak banyak yang tahu jika di samping itu, ada titik wisata kuliner tak kalah legendaris yang tak boleh dilewatkan, yakni Martabak Kaka.

Jangan bayangkan resto atau kedai makan besar dengan bangunan modern dan memiliki banyak tempat duduk di dalamnya. Tempat Martabak Kaka lebih tepat di sebut sebagai warung kopi karena bangunannya terlewat sederhana, di dalamnya pun hanya tersedia beberapa meja dan kursi bagi pengunjung yang ingin menikmati martabak langsung di tempat.

Meski sederhana, kuliner yang sudah mencapai usia 1 abad ini nyatanya memiliki sejarah istimewa khususnya di masa-masa perjuangan kemerdekaan.

Tipe martabak yang dijual di tempat ini adalah martabak mesir atau martabak telur yang hanya tersedia dengan dua pilihan, yakni telur ayam atau telur bebek. Yang menjadi ciri khas adalah penggunaan bumbu kari spesial sebagai resep turun-temurun yang dibuat oleh pemilik generasi pertama.

Diketahui, jika saat ini warung martabak tersebut dikelola oleh keturunan generasi ke-3. Pemilik aslinya, merupakan seseorang keturunan India bernama Kakamusa yang bermigrasi ke Indonesia pada tahun 1889, saat berusia 16 tahun.

Sebelum menempati lokasi sekarang, awal mula pembangunan warung martabak ini bermula dari usaha kedai kopi pada tahun 1923 yang berlokasi di sebelah Masjid Raya Bukittinggi. Baru di tahun 1930, kedai yang juga menjual martabak tersebut pindah ke sudut Kampuang Cino, tepat di seberang Masjid Nurul Haq, dan berdiri dengan kokoh hingga saat ini.

Tempat Gerilya Pejuang Namun Dipercaya Belanda
Fakta menarik lainnya dari Martabak Kaka adalah dulunya tempat ini menjadi lokasi perkumpulan sekaligus persembunyian para pejuang, namun sama sekali tak pernah 'diganggu' olah pihak Belanda yang saat itu sedang menduduki tanah air.

Rupanya, sosok Kakamusa pada saat itu dianggap sebagai 'pro Belanda' dan para penjajah disebutkan segan terhadap sosok tersebut.

Di masa penjajahan juga disebutkan hanya kedai Martabak Kaka yang diperbolehkan buka, sedangkan kedai atau warung lainnya dipaksa tutup.

Alhasil, kedai Martabak Kaka dulunya sering dijadikan tempat berkumpul para pejuang kemerdekaan di Bukittinggi, namun saat orang Belanda datang untuk makan di tempat tersebut, para pejuang akan naik dan bersembunyi di lantai 2, dan sama sekali tidak dicurigai.

Padahal, saat itu di bagian belakang dapur disebutkan juga terdapat rak-rak senjata milik pejuang. Bahkan, tempat itu juga menjadi lokasi mendengar pidato Syafruddin Prawiranegara dari radio pemancar ketika Ibu Kota negara sempat pindah dari Yogyakarta ke Bukittinggi.

Kondisi berbeda mulai terjadi ketika Jepang datang. Tak pandang bulu, saat itu kedai Martabak Kaka juga sempat tak berdaya karena sama sekali tak diperbolehkan buka.

Meski menjadi titik kuliner legendaris yang juga memiliki riwayat sejarah penting, martabak yang dijual di tempat ini terbilang sangat terjangkau. Satu porsi martabak telur ayam dijual seharga Rp24.000, sementara pilihan telur bebek seharga Rp26.000. Selebihnya warung ini menyediakan pilihan minuman teh dan kopi.

Saat disajikan, satu porsi martabak akan dilengkapi dengan kuah cuko yang dicampur potongan bawang bombai dan cabai, sehingga memiliki cita rasa pedas.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar