07 Juni 2021
15:10 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Yanurisa Ananta
JAKARTA – Tahukah Anda Industri fesyen menyumbang polusi terbesar di dunia? Industri ini menyumbang 10% emisi karbon dioksida di dunia. Jauh lebih besar dibanding sumbangan emisi karbon dioksida industri aviasi yang sebesar 2%.
Selain itu, industri fesyen menyerap sangat banyak air tanah dalam proses produksi pakaian. Satu kaus katun saja menghabiskan 2700 liter air. Jumlah itu setara dengan konsumsi air satu orang selama tiga tahun.
Perkiraan itu dihitung mulai dari proses penanaman pohon kapas, hingga menjadi bahan kain yang siap diolah menjadi pakaian.
Maka itu, mulai banyak kalangan yang menyuarakan perlunya meninggalkan gaya hidup fast fashion yang berdampak buruk bagi lingkungan. Sebagai gantinya, muncul alternatif lain, yaitu sustainable fashion atau fasyen berkelanjutan. Apa itu?
Desainer pegiat lingkungan hidup, Kleting Titis Wigati, menjelaskan, sustainable fashion adalah perilaku seseorang yang mengoptimalkan pakaian dan membatasi penggunaan pakaian berdasarkan tren semata. Dari sisi pelaku industri, sustainable fashion berarti memaksimalkan benefit tapi juga tetap mengedepankan kebaikan bagi lingkungan serta pengurangan limbah.
“(Membutuhkan) 150 juta kayu setiap tahun untuk fesyen. Sungai Citarum adalah salah-satu sungai paling terpolusi di dunia, karena di sekitarnya banyak sekali pabrik, tekstil, garmen yang membuang saluran ke sungai,” kata Titis dalam webinar bertajuk “Gaya Hidup Kekinian untuk Lingkungan Hidup yang Lestari” yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), beberapa waktu lalu.
Sebagai langkah alternatif, sustainable fashion mendorong agar pabrik-pabrik menggunakan bahan-bahan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, menggunakan katun organik yang tidak menggunakan pupuk berbahaya, serta tidak menyerap sumber daya alam secara berlebih.

Bagi para penjual pakaian skala UMKM, bisa turut andil dengan memilih menggunakan bahan-bahan sisa atau buangan pabrik untuk membuat pakaian. Dengan begitu, semakin sedikit permintaan bahan yang harus diproduksi pabrik-pabrik setiap harinya.
“Kita bisa menggunakan bahan buangan pabrik, kan pabrik biasanya punya margin 10% dalam setiap produksinya. Jadi 10% dilebihkan bahannya. Juga bisa menerapkan inovasi dengan menggunakan pewarna alami yang tidak merusak tanah dan air,” tuturnya.
Sementara, bagi desainer atau konsumen akhir bisa memanfaatkan setiap bahan pakaian secara optimal. Konsumen perlu memastikan setiap pakaian yang dibeli diproduksi dengan tidak merusak lingkungan.
“Kita juga harus tahu di mana material pakaian ini didapatkan, kadang juga dari pabrik garmen tidak mengutamakan kehidupan sosial,” katanya.
Menurut Titis, sustainable fashion adalah cara alternatif untuk tetap tampil gaya. Namun, secara etik tidak bertentangan dengan asas kebaikan bagi lingkungan, baik sosial maupun alam.