06 Juli 2023
21:00 WIB
Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Arief Tirtana
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Terlahir dari orang tua berlatar belakang ekonomi kelas bawah, Nurida Rahmanilah sejak kecil harus berjuang ekstra keras agar bisa sekadar mengenyam bangku pendidikan. Sejak sekolah dasar (SD) saja, dirinya sudah harus berkali-kali pindah sekolah.
Penyebabnya tak lain karena harus ikut kedua orang tuanya yang mengadu nasib. Salah satunya adalah saat ayah dan ibu sepakat mengikuti program transmigrasi ke daerah yang kini menjadi Provinsi Kalimantan Utara.
Nurida memang sempat bisa masuk kelas satu SD saat orang tuanya pindah ke Kalimantan di tahun 1998 itu. Namun kemudian, karena kedua orang tuanya memutuskan untuk kembali berpindah ke wilayah Kalimantan lainnya. Penyebabnya adalah ekonomi keluarga tak kunjung membaik.
Nurida pun akhirnya harus putus sekolah. Dia harus mengulang kembali setahun kemudian.
Tak hanya soal ekonomi, jarak sekolah yang jauh dari rumah di pedalaman Kalimantan pun menjadi kendala tersendiri untuknya yang masih sangat kecil. Berangkat dari rumah pukul empat dini hari untuk bisa sampai ke sekolah sekitar jam tujuh pagi, sudah menjadi santapan saban hari sebagai anak kelas 1 SD.
"Awalnya orang tua transmigrasi ke Kalimantan Utara tahun 1998, di sana saya sempat sekolah kelas satu SD. Kemudian kami (pindah) ke Banjarmasin. Saat itu akhirnya saya putus sekolah sekitar satu tahun, baru kemudian masuk lagi tahun 2000, itu kelas satu lagi. Dari situ kami sempat pindah lagi, sehingga total di Kalimantan saya sempat tiga kali pindah sekolah," cerita Nurida kepada Validnews, Selasa (4/7).
Meski tidak mudah, pengalaman Nurida bersekolah di Kalimantan ternyata masih jauh lebih baik jika dibandingkan saat dia dan keluarga akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta pada tahun 2004.
Dengan harapan tinggi untuk bisa mengubah ekonomi keluarga yang tak banyak berubah dari program transmigrasi pemerintah, keputusan kedua orang tuanya tersebut ternyata harus dibayar mahal.
Tak punya dokumen yang cukup serta tak adanya biaya untuk melakukan mutasi sekolah dari daerah ke Ibu kota, membuat Nurida sekali lagi harus merelakan bangku SD-nya.
"Ibu saat itu sempat bilang bahwa ia sudah tidak sanggup untuk membiayai sekolah," kata Nurida.
Beruntungnya, di salah satu kampung pemulung di Jakarta Timur tempat Nurida dan keluarga tinggal ada sekolah non-formal yang didirikan gratis. Sekolah untuk para anak dari keluarga tak mampu itu Bernama ‘Sekolah Kami’. Di situlah kemudian Nurida yang masih sangat termotivasi untuk menimba ilmu mencoba melanjutkan sekolah pada 2005.
Dengan kemampuan yang terhitung cukup, terlebih usianya juga sesuai, Nurida yang awalnya masuk di kelas tiga pada 2005, langsung naik ke kelas enam hanya dalam waktu satu tahun. Hingga kemudian dia lulus kesetaraan paket A pada 2006 di ‘Sekolah Kami’.
Nurida sempat kembali mengenyam pendidikan formal di bangku SMP, namun masalah ekonomi lagi-lagi membuatnya terus terlunta-lunta hanya untuk bisa sekolah.
Masalah Sosial Ekonomi
Nurida tak sendiri. Apa yang dialami Nurida juga banyak dialami anak lain di tanah air. Praktisi pendidikan yang juga merupakan anggota Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Indonesia, Tari Sandjojo M.Psi, mengatakan bahwa secara umum kasus anak putus sekolah di Indonesia mirip seperti yang dialami Nurida, selalu ujung pangkalnya berkaitan dengan urusan sosial ekonomi keluarga yang kurang baik.
Tari menjelaskan, pada dasarnya keluarga dengan sosial ekonomi rendah punya tujuan pendidikan yang berbeda-beda. Di mana ada orang tua yang meski secara ekonomi sulit, masih bisa berjuang untuk setidaknya menyekolahkan anaknya, demi bisa mengenyam pendidikan dan memperbaiki nasib agar tak seperti mereka.
Namun di kondisi keluarga dengan ekonomi yang jauh lebih buruk, mereka kadang sama sekali tak tertarik dengan pilihan itu.
Jangankan untuk menyekolahkan anak, sekedar untuk menyambung hidup sehari-hari pun terasa sulit. Oleh karena itu, rata-rata sekolah anak justru dianggap beban tambahan buat mereka.
Sebab sekolah bagaimanapun tidak ada yang benar-benar gratis. Orang tua masih harus membeli seragam, buku, apa lagi saat ini yang sampai harus menggunakan gawai untuk melakukan proses belajar mengajar.
"Akhirnya pilihannya yang penting anak bisa baca tulis, jadi bisa kerja bantu-batu (orang tua), " kata Tari saat berbincang dengan Validnews, Selasa (4/7).
Pengamat pendidikan Doni Koesoema pun menguatkan gagasan Tari. Sepengalamannya sempat berada di Kementerian Pendidikan membawanya pada hipotesis, memang 75% masalah anak putus sekolah disebabkan minimnya biaya.
Sisanya baru lain-lain. Ada yang harus mengikuti orang tua yang berpindah-pindah. Ada juga disebabkan adat seperti di sejumlah daerah yang melarang anak-anak bersekolah, hingga masalah infrastruktur.
Doni yakin jumlah sekolah negeri sudah cukup. Namun, perbandingan daya tampungnya akan terus berkurang dari jenjang ke jenjang (dari SD ke SMP dan kemudian ke SMA). Terlebih belum ada upaya pemerintah melibatkan sekolah swasta untuk mengakomodasi anak-anak tersebut.
"Sebenarnya sekolah negeri sudah cukup banyak, tetapi sekolah swasta kurang atau belum bisa dilibatkan oleh pemerintah. Pemerintah belum punya rencana untuk melibatkan sekolah swasta untuk PPD (Penerimaan Peserta Didik Baru)," kata Doni.
Motivasi Orang Tua
Dengan usia anak sekolah yang tentu belum bisa mengambil keputusan besar sendiri, keputusan orang tua menjadi absolut dalam kasus anak putus sekolah. Di luar memang keterbatasan ekonomi yang harus memaksa mereka tak lagi menyekolahkan anaknya, sudut pandang orang tua terhadap pentingnya pendidikan untuk masa depan anak juga menjadi faktor yang sangat menentukan.
Nurida merasakan betul hal tersebut. Karena meski orang tuanya tak bisa membiayai sekolah, sang ibu khususnya, terus memotivasi betapa pentingnya pendidikan untuk memperbaiki masa depannya kelak.
Motivasi itu diakui Nurida sangat berarti saat dirinya menghadapi situasi sulit harus putus sekolah. Termasuk ketika menjalani sekolah formal di bangku SMP.
Meski bisa bersekolah secara gratis, ada beban lain, yakni ketidakmampuan membeli seragam dan sepatu hitam sesuai kewajiban.
Namun, karena keteguhannya untuk mau terus menuntut ilmu, Nurida mampu bertahan hingga benar-benar lulus SMP. Ini pula yang dialami saat meneguhkan diri untuk bisa lulus jenjang SMA lewat jalur paket C.
"Saya harus benar-benar memanfaatkan dan saya juga ingin ada perubahan dalam hidup saya. Yang bisa mengubah kita hanya pendidikan. Pada saat itu mindset saya hanya pendidikan yang bisa membedakan nasib saya dan orang tua," kata Nurida.
Nurida yang kini bersama teman-temannya membuat tempat "Saung Baca Garpu" di kawasan pemukiman pemulung di Pondok Kelapa Jakarta Timur, juga mengalami betul bahwa tidak semua orang tua memiliki keinginan agar anaknya bisa terus sekolah.
Dalam satu kesempatan, ia bahkan pernah diancam oleh salah satu orang tua siswa. Orang tua yang anaknya sehari-hari bekerja sebagai pengamen itu, melarang anaknya belajar.
Dia menarik sang anak saat berada di Saung Baca Garpu. Sambil mengancam akan melaporkan Nurida ke polisi jika mencoba menahan sang anak tetap belajar.
"Orang tuannya bilang, ini anak-anak gua, enggak perlu sekolah, dia enggak perlu belajar. Yang penting itu cuma nyari duit," ujar wanita kelahiran tahun 1993 itu.
Di luar itu, Nurida bahkan menemui banyak orang tua yang secara ekonomi sebenarnya cukup, namun enggan mengeluarkan uang untuk membiayai anaknya bersekolah.
Misalnya, ada orang tua yang bisa membeli motor secara tunai, namun tidak mau menyekolahkan anaknya di sekolah formal. Bahkan untuk keperluan belajar di Saung Baca Garpu saja masih meminta alat-alat tulis gratis.
Tanpa adanya motivasi dari orang tua, akhirnya banyak anak-anak yang mencoba mencari role model di luar. Misalnya dari artis idola mereka. Sehingga jika artis yang mereka idolakan concern terhadap pendidikan, maka sang anak jadi lebih tertarik untuk belajar.
Sebaliknya, jika yang diidolakan justru acuh terhadap pendidikan, atau malah juga putus sekolah. Mereka akan cenderung berpikir sekolah menjadi tidak penting.

Tanggung Jawab Pemerintah
Koordinator nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji juga sangat setuju mengenai peran penting orang tua untuk bersekolah. Tetapi Ubaid juga menekankan realitas yang sering terjadi.
Jika sekolah itu diyakini orang tua tidak memberikan harapan yang cukup menjanjikan, adalah kurang tepat untuk menyalahkan mereka, bila tidak mendorong anaknya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Karena dengan biaya sekolah yang mahal, sering kali memang harapan yang ada tidak begitu menjanjikan. Misalnya saja para siswa yang bersekolah di SMK (sekolah menengah kejuruan) dengan harapan setelah lulus bisa langsung bekerja, justru menjadi penyumbang jumlah pengangguran di Indonesia.
"Tidak ada jaminan pula. Sudah bayar mahal-mahal (sendiri), tidak ditanggung negara, sudah pontang-panting, nanti output-nya cuma menambahkan jumlah pengangguran," kata Ubaid yang dihubungi Validnews, Senin (3/7).
Yang semestinya juga ada, adalah pernyataan pemerintah yang bisa memastikan bahwa orang tua tidak perlu berpikir mengenai banyak hal untuk bisa menyekolahkan anaknya. Sebab tugas dan kewajiban seorang anak, tidak lain adalah belajar, menuntut ilmu di sekolah.
Selain kewajiban untuk menyediakan sekolah, pendidikan yang diberikan juga harus berkualitas. Sesuai standar dan tidak ada perbedaan dengan anak-anak dari keluarga mampu atau menengah ke atas.
Orang tua dari kalangan bawah biasanya hanya berpikir memasukkan anaknya ke sekolah yang murah, tanpa peduli kualitasnya. Dan di situ, alih-alih sang anak menjadi lebih baik, mereka justru bisa saja mengalami hal buruk, seperti perundungan (bully) yang tidak ditangani dengan baik. Atau sebaliknya, sang anak tidak menjadi seseorang dengan karakter yang diharapkan.
Akhirnya, alih-alih jadi pencetak manusia berkualitas, sekolah justru secara tidak sengaja jadi penyemaian karakter buruk.
Dia mengkritik, pemerintah seakan lupa siapa yang harus bertanggung jawab terhadap jaminan layanan pendidikan. Padahal dalam dalam Undang-undang 45 Pasal 31, semua warga negara punya hak untuk mendapatkan layanan pendidikan, dan pemerintah wajib hukumnya membiayai.
"Itu kan karena pemerintah tidak menyediakan sekolah, lalu swasta bikin sekolah, kualitasnya buruk," tukas Ubaid.
Terkait jumlah sekolah Ubaid justru menilai bahwa jumlah sekolah negeri di Indonesia saat ini sebenarnya masih sangat jauh dari kata cukup. Dirinya dengan yakin juga menilai bahwa kurangnya jumlah sekolah negeri itu yang menjadi penyebab utama tingginya angka putus sekolah di Tanah Air.
Mestinya jumlah atau daya tampung sekolah SD sama seperti SMP dan SMA. Misalnya ada 100 anak sekolah SD, kalau mau mereka tidak putus sekolah, seharusnya disiapkan sekolah SMP yang bisa menampung 100 anak tersebut, begitu juga di SMA.
"Kenapa sekolah SMP lebih sedikit daripada jumlah sekolah SD? SMA Lebih sedikit lagi daripada SMP. Pertanyaannya adalah ke mana anak-anak itu? Pasti enggak sekolah," kata Ubaid.
Di sisi lain, dia berujar bahwa pendidikan itu sejatinya bisa sangat fleksibel. Tidak harus menunggu keberadaan gedung sekolah, melainkan bisa di mana saja.
Seperti di desa bisa memanfaatkan balai desa, kantor kelurahan, bahkan rumah ibadah yaitu masjid, musala, juga gereja.
Jika nanti pemerintah mau melibatkan swasta, mau bekerja sama dengan swasta, itu hal lain. Tetapi yang pasti pemerintah harus bisa menjamin dan memastikan bahwa seluruh warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan dengan layak.