19 Mei 2022
19:58 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Indonesia memiliki banyak sekali pelaku film yang berprestasi, dengan karya-karyanya diakui secara nasional bahkan internasional.
Di antara mereka, sebagiannya adalah pelaku-pelaku film militan yang tumbuh dari kampus, atau komunitas-komunitas perfilman di berbagai daerah.
Hal itu menunjukkan betapa pentingnya peran komunitas, jejaring, atau kerja-kerja bersama yang independen dalam bidang perfilman, bagi keberlanjutan industri film Indonesia. Tanpa peran komunitas, entah bagaimana industri film akan sukses dan terus bergeliat.
Hal ini ditegaskan Ketua Komite Festival Film Indonesia (FFI), Reza Rahadian, dalam sesi Temu Wicara FFI, “Masa Depan Film Indonesia Setelah Pandemi”, Rabu (18/5) lalu. Menurutnya, komunitas adalah bagian penting dari ekosistem perfilman.
Pasalnya, dari komunitaslah, lahir banyak gagasan, kritik hingga pegiat-pegiat film yang akan memberi daya gerak bagi industri film.
Karena kesadaran itu pula, Reza menyebut Komite FFI pun berupaya untuk selalu merangkul komunitas dalam setiap programnya, terutama dalam gelaran tahunan FFI.
"Komunitas film ini juga merupakan salah satu pilar yang sangat penting dari ekosistem perfilman yang ada. Bahwa mereka adalah film enthusiasts, yang betul-betul selalu menanti apa sih film yang baru yang tayang, dan membahas, kadang-kadang itu menjadi diskusi yang menarik antar komunitas,” ungkap Reza.
Reza juga menyebut soal lahirnya para sutradara berkualitas dari komunitas, yang kemudian tumbuh menjadi sutradara yang sukses di industri perfilman.
Salah satu sosok itu yaitu Jeihan Angga, sutradara sederet film populer seperti “Mekah I’m Coming”, “Just Mom”, hingga “Garis Waktu”.
Jeihan bergerak dari komunitas perfilman di Yogyakarta, masuk ke industri dengan modal pengalaman, jejaring dan wawasan filmnya yang terbentuk lewat komunitas.
Jeihan sendiri menyorot peran komunitas sebagai pembentuk ekosistem yang segar dan progresif bagi skena tersebut.
Banyak komunitas film yang aktif dengan berbagai program menarik, seperti pemutaran film, atau produksi bersama, sehingga hal itu menjadi pemicu tumbuhnya pembicaraan intensif tentang film, hingga berbagai kerja produksi yang independen.
“Jadi teman-teman komunitas sama-sama saling ngumpul, terus kemudian kita bikin semacam kesepakatan-kesepakatan bikin pola produksi seperti apa, misalnya. Terus kemudian memancing yang lain untuk membuat film, bahwa itu nggak sekadar kita cari investor, terus buat film, keliling, lalu bubar, enggak begitu. Jadi ada alternatif baru yang gak berhenti di memutarkan film-nya saja,” tutur Jeihan.
“Ide-ide yang muncul dari teman-teman komunitas ini penting banget bagi industri perfilman,” imbuhnya.
Lebih luas, sutradara kawakan Garin Nugroho memandang komunitas sebagai salah satu pembentuk ekosistem yang potensial. Ia mencontohkan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang bermula dari gelombang kegiatan komunitas.
JAFF, kata Garin, dimulai dengan berkumpulnya puluhan komunitas di Jogja pada tahun 2006 silam. Dari situ, para pentolan komunitas saling berjejaring, membangun sistem informasi, mengadakan program-program pendidikan, hingga kemudian menjelma ajang festival yang bergengsi.
Perjalanan JAFF itu menunjukkan bagaimana komunitas menjadi ruang potensial bagi banyak pelaku film, khususnya pelaku muda untuk mencapai industri film, bahkan kini menjadi salah satu rujukan penting bagi industri film.
“Memang komunitas menjadi ruang, untuk menumbuhkan, untuk diskusi, membaca hal-hal baru dan membaca tenaga kerja baru, ataupun membaca cara-cara berpikir baru, itu menjadi penting,” tandasnya.