21 Mei 2025
20:27 WIB
Kisah Perburuan Ijazah Tablo, Raper Jenius Lulusan Stanford
Daniel Armand Lee alias Tablo berhasil membuktikan kepada publik kalau dia benar-benar lulus tingkat sarjana dan juga magister di Stanford University hanya dalam waktu 3,5 tahun.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rikando Somba
Daniel Armand Lee atau Tablo. Instagram/blobyblo
JAKARTA - Tak ada yang menyangka, wawancara sederhana di televisi justru menjadi awal dari mimpi buruk yang tak terbayangkan. Ihwalnya adalah cerita Daniel Armand Lee yang lebih dikenal dunia sebagai Tablo dari grup hip-hop Epik High, tampil di layar kaca dan dengan percaya diri memaparkan kisah 'ajaib' tentang pendidikannya.
Dalam serangkaian wawancara di televisi tahun 2010, Tablo membagikan kisah yang nyaris terdengar seperti dongeng. Dengan percaya diri, dia mengaku berhasil menaklukkan Stanford University hanya dalam waktu 3,5 tahun.
Bukan hanya meraih gelar sarjana, tapi juga menyelesaikan program magister dalam kurun waktu yang sama, ini merupakan sebuah pencapaian luar biasa yang sulit dipercaya. Tablo juga menuturkan bahwa selama masa kuliahnya, ia sempat menulis buku berjudul Pieces of You dan prestasinya bahkan diakui langsung oleh Tobias Wolff, penulis kenamaan sekaligus profesor sastra yang sangat dihormati di Amerika.
Namun, musim panas 2010 menjadi titik balik yang tragis dalam hidup sang rapper. Bukannya menuai pujian, pengakuannya di televisi justru menimbulkan kecurigaan. Orang-orang mulai mempertanyakan, mungkinkah seseorang meraih sebanyak itu dalam waktu sesingkat itu?
Dari keraguan-keraguan kecil itu, lahirlah sebuah gerakan online yang akan mengubah segalanya yakni TaJinYo, singkatan dari 'Kami Meminta Kebenaran dari Tablo". Forum itu tumbuh cepat, dipenuhi ribuan pengguna yang menolak percaya. Mereka menuduh Tablo berbohong soal pendidikannya, menyebut kisahnya terlalu sempurna untuk jadi nyata.
Nama panggungnya pun dipelesetkan menjadi "God-blo" yang bermakna sebuah sindiran, bahwa hanya Tuhan yang sanggup menyelesaikan dua gelar bergengsi dalam waktu yang begitu singkat. Dengan akun anonim, seperti Whatbecomes dan Spongebobo, para penuduh menyerangnya tanpa henti.
Mereka bukan hanya meragukan ijazahnya, tapi juga meruntuhkan karakter dan reputasinya, seolah keberhasilan Tablo adalah penghinaan terhadap logika dan kewajaran. Sosok Tablo dinilai banyak orang, tak mungkin punya kisah pendidikan nan menakjubkan.
Bagi sebagian warga Korea, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan TaJinYo terasa masuk akal. Biasanya, gelar sarjana ditempuh dalam empat tahun, gelar master dua tahun lagi, dan sering kali disertai tesis. Tapi Tablo? Ia mengaku menyelesaikannya semua dalam 3,5 tahun tanpa tesis. Sesuatu yang bagi banyak orang terdengar mustahil.
Diam Tak Selamanya Emas
Sementara badai kecurigaan semakin menggila di media sosial, Tablo yang saat itu masih berusia 30 tahun memilih diam. Baginya, semua ini terasa absurd.
Ia seorang rapper, bukan politisi atau akademisi. Apa pentingnya membuktikan gelar?
Sayangnya, justru di situlah letak persoalannya. Para penentangnya bersikeras berkata dengan lantang justru karena dia panutan, dia harus jujur.
Media gosip selebritas pun mulai meliput kisah ini. Dalam waktu singkat, TaJinYo membengkak hingga hampir 200.000 anggota, menurut artikel yang dipublikasikan Stanford Magazine tahun 2011.
Mereka menyebar seperti detektif dadakan, menggali masa lalu Tablo, mengirim email ke Stanford, bahkan memburu Tobias Wolff dan Thomas Black, Kepala Pencatatan Akademik Stanford, hanya untuk mempertanyakan keabsahan ijazah Tablo.
Di era digital kala itu, Tablo merasa seperti tengah menjadi hewan buruan yang dikejar banyak orang untuk disantap.
Kondisi yang dialami Tablo berkaitan dengan situasi di Korea saat itu yang sedang dilanda paranoia masal. Sejak 2007, skandal ijazah palsu menyebar ke berbagai sektor mulai dari museum seni hingga politik. Masyarakat sedang sensitif, siap mencurigai siapa pun yang tampak terlalu sempurna.
Seorang kepala kurator museum seni, Shin Jeong-ah, terbukti memalsukan gelar PhD dari Yale University. Skandal ini bukan hanya memukul dunia seni, tetapi merembet ke politik dan membuka borok sistem verifikasi gelar akademik di negara itu.
Laman resmi Yale News mengonfirmasi bahwa mereka tak pernah memiliki catatan akademis atas nama Shin Jeong-ah. Berita itu menyebar cepat, memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap siapa pun yang mengaku lulusan luar negeri dengan prestasi mencolok.
Jaksa penuntut umum di Korea Selatan pun langsung menyelidiki lebih dari seratus kasus dugaan pemalsuan ijazah lainnya. Inilah yang membuat banyak penonton, netizen, dan bahkan media mulai menggali lebih dalam keabsahan gelar Tablo.
Bagi sebagian orang, menyelesaikan gelar sarjana dan magister hanya dalam waktu tiga setengah tahun terdengar mustahil. Apalagi jika itu berasal dari universitas seprestisius Stanford. Kecurigaan pun tumbuh liar, seolah logika akademik publik tak mampu menerima bahwa ada seseorang yang benar-benar bisa secepat dan secemerlang itu.
Di tengah badai itulah, Tablo berdiri sendirian, menghadapi jutaan mata yang menuntut jawaban, bukan dari rasa ingin tahu, melainkan dari keyakinan bahwa dia bersalah, sebelum ada bukti apa pun yang menyatakan demikian.
Ketika Bukti Bukan Lagi Kebenaran
Tak lama berselang, datang pula sebuah pernyataan resmi yang kembali menuai perhatian. Thomas Black, Kepala Bagian Pendaftaran Stanford University, mengeluarkan klarifikasi yang tak bisa dibantah. Tablo juga merilis transkrip akademiknya kepada surat kabar JoongAng Daily di Seoul sebagai bukti pendukung, pada tahun 2011.
Pernyataan resmi Thomas Black selaku Kepala Bagian Pendaftaran Stanford University menegaskan bahwa Daniel Seon Woong Lee alias Tablo memang mendaftar di Stanford pada kuarter Musim Gugur tahun ajaran 1998–1999, dan lulus dengan gelar BA dalam Bahasa Inggris serta MA dalam Bahasa Inggris pada tahun 2002.
"Segala dugaan, spekulasi, atau insinuasi sebaliknya adalah tidak benar. Daniel Seon Woong Lee adalah alumni Stanford University yang sah dan baik," terang Thomas Black
Bagi dunia yang waras, pernyataan itu mestinya menjadi garis akhir. Debu harusnya turun dan nama Tablo kembali bersinar. Namun, sayangnya, dunia tempat Tablo berpijak bukan dunia yang waras.
Pernyataan resmi itu bukannya memadamkan api. Angin ke kobaran konspirasi yang lebih gila, sebaliknya kian mengemuka. Anggota TaJinYo yang sudah tenggelam dalam keyakinan mereka, memilih satu jalan yakni menyangkal kenyataan.
Dengan logika yang nyaris seperti cerita detektif delusional, mereka menuduh Tablo telah mencuri identitas seorang bernama Dan Lee mengambil nama, gelar, dan masa depan seseorang untuk mendongkrak ketenaran dan kekayaannya.
Namun, serangan ini tidak berhenti pada Tablo saja. Seperti badai yang membabi buta, amarah publik anonim mulai menyapu seluruh keluarganya. Mereka menggali arsip-arsip tua, termasuk mengungkit sebuah artikel tahun 1995 yang menyebut Ibu Tablo memenangkan medali emas di kompetisi tata rambut internasional tahun 1968.
Sayangnya, mereka yang menggali itu mengunggahnya kembali ke internet dengan narasi yang salah, mengatakan bahwa ibu Lee alias Tablo sebenarnya tidak menang. Hal inilah yang menyiratkan bahwa keluarga Lee dikaitkan sudah berbohong tentang pencapaian mereka selama puluhan tahun.
Artikel itu dijadikan bukti bahwa keluarga Tablo telah berbohong selama puluhan tahun. Ancaman pun berdatangan. Suatu malam, saat makan bersama keluarga, ibu Tablo mengangkat telepon genggamnya. Suara di ujung sana dingin dan kejam: "Kau pelacur!"
Tidak cukup sampai situ, sang kakak, David Lee, juga jadi sasaran. Hanya karena ia pernah terdaftar di program magister Columbia yang tak ia selesaikan, massa menuduhnya memalsukan pendidikan. Sebuah halaman web usang yang menyebut ia 'lulus' dijadikan bukti untuk menyeret sang kakak keluar dari pekerjaannya di saluran penyiaran publik.
Nomor telepon dan alamat rumah Tablo tersebar liar. Dia jadi korban doxing. Ancaman demi ancaman pun menghujani. Saat itu X yang masih bagian dari Twitter pun berubah jadi medan perburuan digital.
Klimaks kebingungan itu tiba ketika para konspirator menemukan seorang pria bernama Daniel Lee di Facebook, lulusan Stanford 2002, kini bekerja sebagai insinyur mesin di Wisconsin. Menurut mereka, Tablo adalah pemalsu licik yang mencuri identitas pria ini untuk menipu seluruh Korea.
Para konspirator atau pembenci Tablo, mengirimkan email ke Stanford University untuk menanyakan ihwal Daniel Lee yang dimaksud.
Maka Thomas Black pun kembali mengkonfirmasi bahwa memang ada dua Daniel Lee yang lulus dari Stanford pada tahun 2002. Yang satu, seorang insinyur mesin, lainnya adalah Daniel Seon Woong Lee atau Tablo, ia lulusan Bahasa Inggris, peraih gelar sarjana dan magister, dan kini raper kenamaan Korea.
Tapi orang-orang sudah kadung yakin dengan kebenarannya, bahwa Tablo adalah pembohong. Bagi para penyerang Tablo, masih tidak ada bukti yang cukup kuat. Tidak ada surat resmi yang bisa menghentikan kebencian. Tidak ada transkrip yang mampu membungkam prasangka.

22 Rekan di Stanford Mulai Bergerak
Musim panas itu nama Tablo menjadi headline di mana-mana. Sean Lim menatap layar televisi dengan perasaan campur aduk. Ia adalah seorang penyiar berita pagi di Arirang, stasiun televisi berbahasa Inggris di Korea dan juga adalah saksi hidup dari siapa Tablo sebenarnya.
Lim mengenal Daniel Lee sejak masa-masa awal di Stanford. Mereka tinggal di asrama yang sama, Okada House. Ia masih ingat betul bagaimana Daniel tampil bersama grup hip-hop pertamanya, 4n Objectz. Ia tahu, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa Lee benar-benar lulusan Stanford.
Tapi sayangnya, pengetahuannya itu tidak cukup untuk menghentikan badai. Ia mengakui bahwa yang menjadi permasalahan dirinya akan menghadapi jutaan orang di internet.
Berharap bisa memperkuat suara kebenaran, Lim menghubungi Kevin Woo dari Stanford Club of Korea dan meminta asosiasi alumni itu mengeluarkan pernyataan resmi dalam bahasa Korea.
Namun harapan itu pupus. Ketua asosiasi, Joon Chung, menolak. Ia takut. Beberapa alumni bahkan memperingatkan agar tidak mencampuri urusan ini. Mereka tidak mengenal Tablo secara pribadi karena ia memang jarang datang ke pertemuan alumni dan takut jika mendukung orang yang ternyata bukan siapa-siapa, nama baik mereka ikut hancur. Sebagai gantinya, Chung hanya mengirim email internal, membiarkan keputusan diserahkan pada masing-masing anggota.
Ketakutan itu memang nyata. Massa anonim di internet tak hanya memburu Tablo, tapi juga siapa pun yang mencoba membelanya. Lim sendiri mengaku sempat ragu untuk ikut bicara. Ia sadar, satu langkah keliru bisa menghancurkan kariernya di dunia penyiaran.
Namun, semuanya berubah ketika ia akhirnya bertemu Tablo di sebuah kafe terpencil pada bulan Juli. Lee terlihat seperti bayangan dirinya sendiri. Ia tampak lelah, pucat, dan hancur. Tablo sendiri berkata nyaris tak bisa tidur, hidup dalam tekanan, dan perlahan kehilangan harapan.
Saat itulah Lim tahu bahwa diam bukan lagi pilihan. Ia mulai menghubungi teman-teman lama dari Stanford. Stanford Magazine menyebut, 22 alumni berkumpul dan membuat halaman Facebook khusus untuk mendukung Lee.
Mereka menulis kenangan-kenangan lucu, tulus, dan penuh kebanggaan tentang masa-masa bersama Tablo, tentang semangatnya, tentang musiknya, bahkan tentang insiden konyol saat mabuk di asrama. Namun, bahkan kesaksian tulus itu pun tak bisa meruntuhkan dinding kebencian.
Meski media Korea mulai memberitakan dukungan dari teman-teman Stanford, anggota TaJinYo tetap menolak percaya. Mereka kerap memberikan ancaman kepada orang-orang pendukung Tablo.
Ancaman yang dikirim melalui email penuh hinaan, tuduhan, dan kebencian. Bahkan, kebenaran yang paling sederhana pun, di tangan massa yang buta, bisa dianggap konspirasi.
Kebenaran Terungkap
Di Seoul, Sean Lim menerima panggilan tak terduga dari kantor kejaksaan. Ia diminta datang membawa ijazah Stanford-nya untuk membuktikan bahwa kertas itu asli.
Setibanya di kantor kejaksaan, seorang penyidik mengangkat ijazah itu ke arah cahaya, mengamati teksturnya, seolah mencari bekas tipuan. Bahkan, penyidik hanya menatap datar dan ijazah tersebut akan dikirim ke forensik.
Sementara itu, jauh sebelum kamera berbalik membelanya, produser veteran Ki Yeon Sung sudah memantau drama ini dari jauh. Ia produser acara investigasi PD Note, acara serius yang biasanya membongkar kejahatan besar, bukan urusan selebritas.
Awalnya, ia mengabaikan ratusan email yang memintanya menyelidiki Tablo. Namun semuanya berubah ketika para pembela Tablo ikut diserang. Jurnalis yang berani menulis kebenaran dibanjiri caci maki, ancaman, bahkan tuntutan mundur.
Media mulai diam bukan karena tak tahu, tapi karena takut. Meski begitu, Sung tetap skeptis. Ia paham mengapa banyak orang curiga. Stanford bukan kampus sembarangan.
Satu orang mendapat dua gelar dari Stanford hanya dalam tiga setengah tahun itu seperti mitos hidup. Dari situlah ia menantang Tablo untuk mengambil transkripnya sendiri ke Stanford sambil diikuti kamera.
Tak pikir panjang, Tablo pun menyanggupinya. Perjalanan kembali ke Stanford adalah kali pertama sejak ia lulus dan banyak sekali perubahan yang apabila ia ditanya kemungkinan akan menjadi bumerang baginya.
Namun, kekhawatiran itu pupus ketika Tablo benar-benar melangkahkan kakinya ke kampusnya dulu.
Ia masuk ke Departemen Bahasa Inggris dan disambut pelukan dari Judy Candell, manajer layanan mahasiswa. Di kantor registrasi, Thomas Black yang sejak awal membela Lee pun menunggu.
Tablo mengeluarkan ijazah, transkrip, dan paspor. Black mencetak salinan resmi dari sistem kampus, lalu membandingkan baris demi baris. Rekaman itu ditayangkan dalam dokumenter dua bagian di MBC.
Saat itulah, kebenaran menang di hadapan jutaan penonton. Sepulangnya dari Stanford, dengan penuh rasa kesal Tablo menggugat 20 penyerangnya. Salah satu provokator utama, pengguna forum bernama Whatbecomes, ternyata adalah Eung Kim, pria 57 tahun, warga Korea-Amerika yang tinggal di Chicago.
Kisah Tablo menarik perhatian luas, bahkan sampai ke meja presiden. Pemimpin Korea kala itu, Lee Myung-bak, sampai angkat bicara. Dalam rapat kabinet, ia menyebut kasus ini sebagai "perburuan penyihir modern yang tak boleh terulang".
Dari luar, ini tampak seperti akhir yang membungkam segalanya. Namun, bagi Tablo, luka itu masih basah. Ia enggan muncul di depan umum, takut naik panggung, bahkan takut bicara.
Saat diminta memberi pidato di Stanford oleh Asosiasi Mahasiswa Asia-Amerika, ia nyaris menolak. Itu adalah penampilan publik pertamanya sejak skandal. Sepanjang pidato, ia gemetar, berkeringat, bahkan harus berhenti beberapa kali untuk bernapas.
"Aku rusak," katanya jujur. "Dan aku tak tahu apakah aku akan pernah bisa sembuh," ucap Tablo yang dilansir dari laman Standfordmag.org.
Saat Tablo melangkah turun dari panggung, yang menantinya bukan cibiran atau tatapan sinis, melainkan antrean panjang mahasiswa, alumni, bahkan penggemar yang ingin menyalaminya, berfoto bersama, atau sekadar mengucapkan terima kasih.
Di antara keraguan dan luka belum sepenuhnya sembuh, Tablo berdiri di sana, dikelilingi senyum-senyum tulus. Ia mulai tersenyum kembali, pelan-pelan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa sesuatu telah lama hilang mulai kembali: harapan.
Tablo kini terus menjalankan kariernya di Industri musik dengan tenang, penuh optimisme. Asal tahu saja, raper Korea Selatan ini sejatinya lahir di Indonesia, tepatnya di Jakarta 22 Juli 1980.