c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

24 Februari 2024

15:42 WIB

Kisah Para Penyintas TBC, Berjuang Sembuh Dan Berbagi Harapan

Masih ada stigma negatif dan mitos tentang penyakit tuberkulosis atau TBC di masyarakat. Padahal tbc bisa sembuh dengan menjalankan pengobatan secara konsisten.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Kisah Para Penyintas TBC, Berjuang Sembuh Dan Berbagi Harapan
Kisah Para Penyintas TBC, Berjuang Sembuh Dan Berbagi Harapan
Ellandya, penyintas TBC berbagai pengalamannya seputar pengobatan TBC lewat konten YouTube. Dok: YouTube/ Ellandya Sirait.

JAKARTA - Tuberkulosis atau TBC merupakan salah satu penyakit menular paling membunuh. Angka kematian dari penyakit yang disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis ini di atas 1 juta setiap tahunnya di seluruh dunia.

TBC sejatinya dapat diobati berkat kemajuan pengobatan saat ini. Namun, masih ada banyak stigma berikut mitos di masyarakat terkait TBC, hingga anggapan bahwa penyakit tersebut sama dengan habisnya harapan hidup.

Masalahnya, memang pengobatan TBC tidak mudah. Butuh waktu panjang dan harus dijalani secara konsisten, jika tidak ingin TBC menyerang tubuh lebih masif lagi. Pasien TBC rata-rata menghabiskan paling tidak enam bulan untuk menjalani pengobatan TBC hingga tuntas dan sembuh.

Salah satu penyintas asal Bogor, Nida (28 tahun), mengatakan bahwa penyembuhan TBC adalah proses yang berat karena berbagai hal. Di samping kondisi tubuh yang melemah karena infeksi, pengobatan TBC juga mendatangkan efek samping yang signifikan bagi tubuh penderita.

“Efek obat lumayan kuat, dan di saya benar-benar mengganggu aktivitas. Lemas, sesak, ngeras kayak mudah capek,” ungkap Nida tentang pengalamannya menjalani pengobatan TBC sekitar tahun 2021 lalu.

Nida saat ini telah sepenuhnya sembuh dari TBC paru. Namun pengalaman itu membekas baginya, karena cukup berat untuk dijalani. Nida bahkan harus berhenti bekerja karena tubuhnya tak mampu untuk melakukan pekerjaan ketika dalam masa pengobatan TBC.

Hal yang terjadi pada Nida adalah ‘pil pahit’ lainnya pada banyak kasus penderita TBC di Indonesia.  Masalahnya, penyakit ini tak hanya menyangkut soal-soal medis semata, namun juga persoalan sosial dan ekonomi. Banyak penderita TBC menjadi terpuruk bahkan depresi karena penyakitnya menjauhkannya dari kehidupan sosial, atau merenggut sumber penghidupannya.

Karena itu, pada banyak kasus, kunci kesembuhan TBC justru sangat bergantung pada kesehatan pikiran dan mental penderitanya. Semakin banyak dukungan yang didapatkan,maka semakin besar pula harapan untuk sembuh. Itu dialami Nida, yang mengaku mendapat dukungan dari keluarganya.

Baca juga: 'Pil Pahit’ Pengentasan Tuberkulosis

Hal itu diamini Ellandya (37 tahun), penyintas TBC lainnya asal Samarinda, Kalimantan Timur. Ellan terkena TBC ekstra paru, yaitu TB payudara pada tahun 2020 silam, dan sembuh setelah menjalani pengobatan selama 9 bulan.

Ellan semula sempat stress ketika tahu ia mengidap TBC. Pasalnya, ada banyak mitos beredar tentang TBC, yang menimbulkan kesan bahwa penyakit tersebut seolah-olah adalah kematian. Namun, setelah menjalani pengobatan, dan mengulik informasi seputar TBC, Ellan akhirnya bisa lebih mantap untuk sembuh.

Meski tak mengalami masalah pada pekerjaan sebagaimana dialami Nida, Ellan mengaku cukup kesulitan dalam menghadapi efek samping obat TBC yang cukup keras. Ia mengalami mual, kehilangan nafsu makan hingga gangguan pada lambung. Hal itu ia alami selama masa pengobatan.

Namun karena telah mendapat informasi yang cukup tentang TBC dan pengobatannya, Ellan mampu menjalani masa pengobatan panjang tersebut hingga akhirnya sembuh.

“Saya selama terapi saya selalu konsul sama tiga dokter paru.Dari situ saya belajar, yang membuat saya tahu tentang TBC, dan saya juga tahu tentang efek samping obatnya,” cerita Ellan kepada Validnews, baru-baru ini.

Berbagai Informasi, Berbagi Harapan

Ellan mengatakan, dukungan komunitas menjadi faktor penting bagi penderita TBC. Terutama keluarga, sahabat serta orang-orang terdekat. Karena seringkali pasien TBC merasa sangat kesepian dan perlahan kehilangan harapan sembuh karena kurang mendapat dukungan, juga kurang mendapat edukasi tentang penyakitnya.

Dari situ, berdasar pengalamannya sendiri, Ellan memutuskan untuk jadi pendukung bagi penderita TBC lainnya. Lewat seri konten YouTube pribadinya, Ellan rajin untuk berbagi pengetahuan, juga pengalamannya menjalani pengobatan TBC. Konten-kontennya itu, menurut Ellan, berarti bagi pasien TBC yang membutuhkan dukungan informasi.

“Saya dulu nggak ada yang beri informasi secara mudah dimengerti, yang modelnya sharing begitu nggak ada. Jadi kan waktu saya sakit, info kayak kurang, butuh yang info bisa dengan cara penyampaian enak, agar kita nggak merasa sendiri,” kata Ellan.

Nggak ada misalnya yang sharing tentang efek samping obat. Nah di situ lewat konten di YouTube, itu saya berbagi. Biasanya di situ teman-teman banyak yang bertanya, dan saya jawab sebisa saya, berdasarkan pengalaman sendiri,” sambungnya lagi.

Ellan sendiri di lingkungannya dianggap sebagai ‘duta’ TBC karena konten-konten YouTube-nya dianggap membantu bagi banyak orang.

Seperti itu pula pemikiran Nida asal Bogor. Lewat medium yang sama yaitu video YouTube, Nida juga membagikan pengalamannya menjalani pengobatan TBC hingga sembuh. Menurut Nida, dengan adanya konten-konten informatif, apalagi cerita langsung dari penyintas, itu akan menjadi dukungan bagi orang-orang yang saat ini sedang berjuang untuk sembuh dari TBC.

“Saya bikin video sebenarnya untuk mendukung sesama penderita. Kadang ada info macam-macam tentang TBC, yang buat kita sendiri kalau nggak tahu, itu seperti menyeramkan banget, begitu lo,” ucap Nida.

Makanya butuh teman yang bisa memberi informasi, dan juga nyemangatin, sharing pengalaman, dan yang terpenting meyakinkan bahwa TBC itu bisa sembuh, kok,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar