c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

18 Juni 2025

12:19 WIB

Kemenkum Tegaskan Izin dan Royalti Lagu Satu Pintu Lewat LMK

Undang-undang mengamanatkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai lembaga satu pintu untuk izin dan pendistribusian royalti lagu.

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p>Kemenkum Tegaskan Izin dan Royalti Lagu Satu Pintu Lewat LMK</p>
<p>Kemenkum Tegaskan Izin dan Royalti Lagu Satu Pintu Lewat LMK</p>

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu. Dok: DJKI.

JAKARTA - Perkara royalti telah memecah-belah musisi-musisi di tanah air. Mulai dari polemik Once dengan Ahmad Dhani, Agnez Mo dengan pencipta lagu Ari Bias, hingga yang tebaru Vidi Aldiano dengan pencipta lagu "Nuansa Bening", yaitu Keenan Nasution dan Rudi Pekerti.

Saat ini polemik lagu "Nuansa Bening" terus bergulir dan menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, Vidi Aldiano dituduh membawakan lagu tersebut tanpa izin dalam penampilan-penampilannya selama ini. Maka, pihak Keenan Nasution pun menggugat lewat pengadilan, menuntut ganti rugi sebesar Rp24,5 miliar atas dugaan pelanggaran hak cipta.

Merespon gugatan, Vidi pun menunjuk kuasa hukum untuk membela dirinya di persidangan. Hingga saat ini, pihak Vidi pun memiliki pembelaannya sendiri, menyebut gugatan yang diarahkan kepada mereka tak berdasar.

Maka ramai pertanyaan publik, siapa sebenarnya yang salah dan bagaimana pula Undang-Undang Hak Cipta mengatur soal izin dan royalti lagu?

Dalam konteks polemik royalti ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum pun memberikan penegasan. 

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu mengatakan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan kalau setiap penggunaan lagu untuk tujuan komersial memerlukan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Namun, ada aturan lanjutan yang mempertimbangkan aspek teknis perizinan, bahwa untuk mempermudah dalam perizinan, Undang-undang mengamanatkan untuk membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai perantara satu pintu. Lewat lembaga itulah sejatinya izin dan royalti lagu diberikan atau didistribusikan.

"Kewajiban pembayaran royalti ini telah diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti. Pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang menggunakan lagu atau musik dalam layanan publik bersifat komersial wajib mengajukan lisensi melalui LMKN. Ini berlaku untuk berbagai bentuk pemanfaatan lagu, mulai dari yang diputar di restoran, kafe, pub, diskotek, hingga konser musik," ungkap Razilu dalam keterangan pers, dikutip Rabu (18/6).

Razilu melanjutkan, regulasi tata kelola royalti lagu dalam konteks Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku saat ini memberikan kewenangan bagi LMKN untuk menjadi perantara antara pencipta dan yang menyanyikan karya ciptaan. Izin penggunaan dianggap telah diberikan oleh pencipta ketika ia bergabung ke dalam salah satu Lembaga Manajemen kolektif yang ada di Indonesia, sehingga tak lagi mengharuskan penyanyi untuk meminta izin secara langsung.

Pengguna lagu dianggap tidak melanggar hak cipta selagi membayar royalti kepada LMKN. Pengguna dalam hal ini juga tak merujuk penyanyi, tetapi pengelola tempat kegiatan yang mendapatkan keuntungan komersial atas penggunaan lagu tersebut.

Misal, ketika restoran memutar lagu tertentu untuk mendukung layanannya, maka restoran itu yang harus membayar. Jika dalam kasus pertunjukan musik, pengguna lagu yang dimaksud adalah penyelenggara konser alias promotor, bukannya penyanyi.

Razilu menjelaskan, setelah pembayaran dilakukan melalui LMKN, pengguna tidak lagi memerlukan izin langsung dari pencipta/pemegang hak cipta untuk keperluan performing right, karena secara hukum hak tersebut telah dipenuhi. Hal ini memberikan kejelasan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha.

"Jika terjadi sengketa dalam proses pembayaran royalti, penyelesaian dapat ditempuh melalui mediasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta. Prosedur ini disediakan agar semua pihak dapat menyelesaikan perbedaan secara adil dan tanpa konflik berkepanjangan,” lanjutnya," ujarnya.

Masalahnya, belakangan ini muncul perbedaan di kalangan musisi dan pencipta lagu dalam menginterpretasikan Undang-Undang. Terutama dalam mendefinisikan siapa sesungguhnya pengguna lagu yang dimaksudkan dalam Undang-Undang?

Di satu sisi, ada pihak yang menilai pengguna lagu, khususnya dalam pertunjukan langsung, itu adalah si penyanyi. Sementara di pihak berlawanan, menganggap pengguna lagu merujuk ke pihak penyelenggara atau pihak yang menggelar suatu pertunjukan musik.

Dengan kata lain, jika merujuk interpretasi DJKI, maka gugatan pencipta "Nuansa Bening" terhadap Vidi Aldiano sejatinya tak tepat. Seharusnya, yang digugat adalah pihak penyelenggara panggung atau promotor yang mengundang sang penyanyi untuk tampil.

Namun faktanya ada beragam interpretasi atas Undang-Undang Hak Cipta. Pihak Keenan Nasution pun punya argumentasi tersendiri yang dianggap menguatkan dugaan pelanggaran hak cipta oleh Vidi.

Razilu tak menampik adanya kesalahpahaman yang luas terkait aturan hak cipta. Tak hanya pada wilayah performing rights atau pertunjukan musik, namun juga dalam wilayah penggunaan materi lagu atau musik secara digital untuk keperluan usaha. Misalnya penggunaan di kafe, restoran hingga layanan transportasi.

Menurut Razilu, penting bagi semua pihak untuk memahami aturan hak cipta secara tepat. Eukasi mengenai hak cipta dan kepatuhan terhadap mekanisme penggunaan lagu untuk keperluan komersial adalah langkah mendasar dalam membangun ekosistem musik nasional yang sehat dan berkeadilan.

"Ini bukan hanya soal membayar royalti, tapi soal memahami bahwa setiap karya cipta memiliki hak ekonomi yang harus dihargai. Pelaku usaha perlu tahu bahwa menggunakan lagu di tempat usaha tanpa izin atau tanpa pembayaran royalti adalah pelanggaran,” tegas Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Razilu pada 17 Juni 2025 di Kantor DJKI, Jakarta Selatan.

Baca juga: Sistem Performing Rights Dunia: Apa Bedanya?

Berdasarkan pasal 23 ayat (5) dan pasal 87 UU Hak Cipta, pelaku usaha atau pengguna Layanan Publik bersifat Komersial cukup membayar royalti satu kali secara terpusat, yang kemudian akan didistribusikan kepada para pencipta dan pemilik hak terkait (penyanyi, musisi, produser fonogram) melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Tarif royalti pun sudah ditetapkan secara jelas dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Untuk kategori pertunjukan musik, tarifnya yaitu sebesar 2% dari hasil kotor penjualan tiket dan tambahan 1% untuk tiket gratis, atau 2% dari biaya produksi untuk konser tanpa tiket.

Tanggung jawab pembayaran ada di tangan penyelenggara acara atau pemilik tempat usaha, bukan pada penyanyi atau musisi--kecuali jika mereka juga berperan sebagai penyelenggara.

"Kita ingin masyarakat dan pelaku usaha tidak hanya taat aturan, tapi juga benar-benar mengerti kenapa aturan itu dibuat. Perlindungan hak cipta adalah bentuk dukungan nyata terhadap kemajuan musik Indonesia," tutup Razilu.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar