27 Agustus 2025
12:54 WIB
Kelekak, Praktik Arif Pemanfaatan Hutan Masyarakat Bangka Belitung
Kelekak mengusung prinsip utama keberlanjutan, dengan aturan sederhana siapa yang menebang pohon wajib menanam kembali. Penanaman dan pengelolaan pohon itu berjalan lintas generasi.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Andesta Herli Wijaya
Lahan kebun di Sidemen, Bali sebagai ilustrasi agroforestri atau konsep pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis tanaman. Envato/Igor_ Tichonow.
JAKARTA - Jauh sebelum berkembanganya pengetahuan modern tentang upaya menjaga keberlanjutan alam, masyarakat adat atau lokal yang ada di Indonesia sudah memiliki pengetahuannya masing-masing bagaimana sebaiknya memanfaatkan, mengelola dan menjaga apa yang di alam agar tetap lestari.
Dalam lingkup hutan misalnya, banyak masyarakat lokal yang sudah memiliki tradisi pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal mereka masing-masing. Contohnya seperti yang dijalankan oleh masyarakat Bangka Belitung lewat sistem pengelolaan hutan, kelekak.
Peneliti Pusat Peneliti Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Retno Kartini Savitaningrum Imansah menjelaskan bahwa kelekak merupakan bentuk agroforestri tradisional yang memadukan hutan, kebun, dan pertanian.
Agroforestri sendiri memiliki arti sebuah praktik pengelolaan lahan yang mengintegrasikan pohon dan semak secara sengaja ke dalam sistem pertanian dan peternakan untuk menciptakan sistem pemanfaatan lahan yang lebih beragam, produktif, dan berkelanjutan secara lingkungan. Menggabungkan prinsip pertanian dan kehutanan untuk meningkatkan manfaat ekologis dan ekonomi.
"Lahan kelekak biasanya berukuran 1–2 hektar, merupakan tanah warisan keluarga, dan ditanami berbagai pohon buah serta kayu," kata Retno dalam webinar Merawat Lingkungan melalui Spirit Keagamaan, beberapa waktu lalu.
Pengelolaan kelekak mengusung prinsip utama keberlanjutan. Lewat aturan sederhana, siapa yang menebang pohon wajib menanam kembali. Penanaman dan pengelolaan pohon itu berjalan lintas generasi. Sementara jika diwariskan hingga tidak jelas lagi pewarisnya, maka kelekak berubah menjadi milik desa dan dikelola secara komunal. Sehingga menciptakan kohesi sosial sekaligus menjaga keberlanjutan ekologi.
Aturan dalam pengelolaan kelekak juga tak lepas dari nilai-nilai agama. Di mana mayoritas masyarakat Melayu Bangka Belitung yang beragama Islam, memandang pengelolaan hutan sebagai bagian dari amanah khalifah di bumi. Yaitu menjaga alam, tidak merusak, dan berbagi hasil panen.
Menariknya ada juga praktik budaya yang tetap dijalankan, seperti ritual taber gunung memperlihatkan dialektika antara adat dan agama, di mana dukun kampung dan tokoh agama terlibat bersama. Nilai religius ini memperkuat ikatan sosial dan memberi dasar moral bagi pelestarian lingkungan.
Dengan nilai-nilai yang dianut dan aturan yang diterapkan tersebut, kelekak memiliki banyak manfaat. Tak hanya bisa menjaga keberlangsungan ekosistem lingkungan, lahan ini juga bisa menghadirkan manfaat ekonomi, karena dalam prakteknya, pohon-pohon yang ditanam di kalekak mencakup buah-buahan seperti durian, manggis, atau cempedak yang bisa dikonsumsi hingga dijual ketika panen.
Selain itu, kelekak juga sering kali menghasilkan produk bernilai tinggi, seperti madu lebah klanceng (Trigona) dan jamur pelawan yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram. Hasil-hasil ini tidak hanya mendukung ketahanan pangan, tetapi juga menjadi sumber pendapatan masyarakat.
Baca juga: Pelestarian Mangrove Lewat Ekowisata Di Bali
Bahkan kelekak kini bisa berkembang menjadi destinasi ekowisata. Misalnya di Hutan Pelawan, pengunjung tidak hanya menikmati panorama hutan, tetapi juga merasakan kuliner tradisional seperti jamur pelawan dan praktik makan bedulang.
Di beberapa tempat, generasi muda Bangka Belitung juga aktif melalui kelompok sadar wisata (pokdarwis) menjadikan kelekak sebagai ruang edukasi lingkungan sekaligus sumber ekonomi alternatif.
Sayang, dengan sederet manfaatnya itu, kelekak kini justru kian terancam keberadaannya. Retno mengatakan ada beberapa tantangan utama dalam pelestarian kelekak. Antara lain alih fungsi lahan untuk tambang timah dan perkebunan, deforestasi yang masif, berkurangnya peran generasi muda, konflik antara kepentingan ekonomi dan konservasi, serta kebijakan pemerintah yang tidak konsisten.
Baca juga: NTT Group Dan ClimateForce Buat Hutan Hujan Cerdas Pertama Di Dunia
Meski demikian, ia juga menilai masih terdapat peluang besar untuk melestarikan keberadaan kalekak. Misalnya melalui penguatan ekowisata, program Satu Desa Satu Tujuan Wisata (Susena), pemberian insentif bagi konservasi, peningkatan kesadaran masyarakat, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan Non-Governmental Organization (NGO).
Upaya menjaga keberadaan kalekak ini dinilai Retno menjadi sebuah hal yang penting. Sebab tradisi kelekak merupakan warisan ekologis, sosial, dan religius yang tidak hanya menjaga keseimbangan alam, tetapi juga mendukung kesejahteraan masyarakat. Dengan perspektif ekoteologi dan ekonomi hijau, kelekak membuktikan bahwa konservasi dan kesejahteraan dapat berjalan beriringan.
"Penguatan tradisi ini menjadi salah satu jalan untuk menjawab tantangan kerusakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di Bangka Belitung," kata Retno.