14 Agustus 2025
18:14 WIB
Kekerasan Terhadap Anak Disabilitas Paling Banyak Verbal Dan Psikis
Survei terbaru Indonesia Joining Forces (IJF) menemukan bahwa kekerasan verbal serta kekerasan psikis atau emosional merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak dialami anak dengan disabilitas.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Andesta Herli Wijaya
Relawan sosial dari Yayasan Sahabat Difabel Aceh (YaSDA) membantu terapi anak disabilitas di Gampong Meunasah Papeun, Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Aceh, Senin (14/6/2021). ANTARAFOTO/Irwansyah Putra.
JAKARTA - Kekerasan terhadap anak dengan disabilitas masih menjadi masalah serius di Indonesia. Data terbaru yang dipaparkan dalam peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 mengungkap fakta mencemaskan, sebanyak 51,3% kekerasan terjadi di ruang publik.
Indonesia Joining Forces (IJF), konsorsium beranggotakan enam organisasi yang berfokus pada perlindungan anak, melalui survei kuantitatif dan studi kualitatif, menemukan bahwa kekerasan itu masih sangat nyata. Kekerasan verbal serta kekerasan psikis atau emosional merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak dialami anak dengan disabilitas.
Kekerasan terjadi mulai dari jalan, sekolah, hingga fasilitas umum. Tak hanya itu, 9 dari 10 orang dekat anak dengan disabilitas pernah menyaksikan langsung kekerasan tersebut.
Lebih memprihatinkan lagi, tiga dari sepuluh anak dengan disabilitas pernah mengalami ancaman bahaya atau kekerasan fisik secara langsung. Kasus seperti ini kerap luput dari perhatian karena sering terjadi di lingkungan terdekat, sehingga disebut banyak pihak sebagai fenomena gunung es.
Kondisi inilah yang mendorong Indonesia Joining Forces (IJF) untuk memberikan ruang bagi anak-anak dengan disabilitas agar suara mereka terdengar. Mereka menggelar sesi interaktif bagi anak disabilitas di Jakarta pada Rabu (13/8), yang berfokus pada edukasi dan advokasi hak-hak anak dengan disabilitas.
"Inklusif bagi kami bukan sekadar slogan. Kami ingin menghadirkan perspektif langsung dari anak-anak dengan disabilitas dan orang-orang yang dekat dengan mereka," ujar Angelina Theodora, Ketua Komite IJF periode 2024–2025 sekaligus Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, dalam keterangan yang diterima, Kamis (14/8).
IJF menggelar sesi diskusi sekaligus penyampaian rekomendasi terkait perlindungan anak. Dalam acara tersebut, peserta diajak berdialog dan mengikuti berbagai booth edukatif, serta permainan interaktif yang mengangkat isu hak anak, advokasi, serta pengenalan alat bantu belajar bagi anak dengan disabilitas netra.
Suasana dibuat hangat dan inklusif, sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan lebih mudah. Kegiatan ini bertujuan memperkuat pemahaman masyarakat mengenai berbagai bentuk kekerasan terhadap anak, sekaligus membekali mereka dengan keterampilan untuk merespons kasus secara cepat dan tepat.
Baca juga: Menakar Efektivitas Mengenalkan Emosi Pada Anak Lewat Musik
Angelina menegaskan bahwa setiap anak, termasuk penyandang disabilitas, berhak tumbuh optimal, menyampaikan pendapat, dan diperlakukan secara adil. Anak adalah sumber daya manusia yang potensial yang harus dijaga dan dilindungi dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya.
Suara dari anak sendiri turut menguatkan pesan ini. Zakiya, anak penyandang disabilitas dari Jakarta Timur, berharap pemerintah dan pemangku kepentingan lebih cepat merespons kasus kekerasan.
"Kami, anak penyandang disabilitas, tiga kali lebih rentan mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Kami juga berhak merasakan rasa aman," ungkapnya.