c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

16 Januari 2025

09:01 WIB

Kejahatan Siber Deepfake Akan Makin Marak Di Asia Pasifik Pada 2025

Tahun 2025 kawasan Asia Pasifik akan menghadapi badai ancaman siber berbasis AI, yang terbesar adalah pemanfaatan AI untuk membuat deepfake sebagai serangan siber.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Kejahatan Siber <em>Deepfake&nbsp;</em>Akan Makin Marak Di Asia Pasifik Pada 2025</p>
<p>Kejahatan Siber <em>Deepfake&nbsp;</em>Akan Makin Marak Di Asia Pasifik Pada 2025</p>

Seseorang melakukan panggilan telepon sebagai ilustrasi penipuan daring atau scaming. Shutterstock/re leon8211

JAKARTA - Perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang semakin pesat, menghadirkan dampak positif dalam sejumlah bidang. Namun disaat yang sama, semakin canggihnya AI juga membawa ancaman kian besar terhadap keamanan siber, baik perorangan ataupun organisasi atau perusahaan.

Hal ini terjadi karena para aktor jahat atau penjahat siber juga memanfaatkan kecangihan teknologi AI dalam menjalankan aksinya. Semakin parah, karena banyak pemimpin perusahaan ternyata belum cukup sadar dengan ancaman tersebut.

Menurut laporan terbaru PwC, lebih dari 40% petinggi perusahaan mengatakan bahwa mereka tidak memahami risiko siber yang ditimbulkan oleh teknologi baru seperti Generative AI. Padahal pada tahun 2025, AI diprediksi akan menjadi pusat dari strategi keamanan siber, seiring dengan pemanfaatan AI oleh organisasi dalam memitigasi risiko secara proaktif.

President, Asia Pacific and Japan at Palo Alto Networks, Simon Green mengungkapkan bahwa pada tahun 2025, kawasan Asia Pasifik akan menghadapi badai ancaman siber berbasis AI, baik dari skala, kecanggihan, hingga dampak.

Karena itu, tahun 2025 ini menurutnya, merupakan masa di mana strategi keamanan yang tidak terpadu telah berakhir. Kini organisasi perlu beralih ke platform yang terintegrasi dan didukung oleh teknologi AI yang transparan dan dapat diandalkan untuk tetap menjadi yang terdepan.

Satu yang menurut Green dan Palo Alto akan menjadi ancaman terbesar, yakni pemanfaatan AI untuk membuat deepfake sebagai serangan siber. Deepfake memang telah digunakan untuk tujuan jahat di wilayah Asia Pasifik. Namun di tahun ini diyakini akan semakin mencapai popularitasnya.

Video atau deepfake diprediksi akan semakin banyak digunakan untuk menyebarkan misinformasi politik, menargetkan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Hal ini seperti yang baru-baru saja dialami oleh seorang karyawan di sebuah perusahaan teknik di Hong Kong, yang tertipu untuk mengirimkan jutaan dolar kepada seorang penipu yang menggunakan deepfake untuk menirukan CFO dan tim eksekutif dalam sebuah konferensi video.

Aktor jahat yang semakin cerdas, akan memperhatikan dan menggunakan teknologi AI generatif yang terus berkembang untuk meluncurkan serangan deepfake yang kredibel. Penggunaan audio deepfake juga akan semakin meluas dalam serangan ini, karena teknologi yang ada sudah memungkinkan kloning suara yang sangat meyakinkan.

"Kita akan semakin sering melihat penggunaan deepfake sebagai satu serangan atau sebagai bagian dari serangan yang lebih besar pada tahun 2025," terang Palo Alto.

Menurut Green, ketika serangan kuantum bermunculan dan serangan deepfake semakin berkembang menjadi metode penipuan, mau tak mau di 2025 ini perusahaan harus terus berinovasi atau terancam tertinggal oleh aktor jahat.

Bisa dikatakan langkah tersebut adalah taruhan yang tidak bisa dianggap sepele. Itu sebabnya kepercayaan menjadi ‘mata uang’ penting di era baru keamanan siber ini.

"Tidak hanya risiko terkena serangan, tetapi pihak yang gagal beradaptasi juga berisiko mengalami reputasi yang jatuh dan ketahanan yang tidak dapat diperbaiki," ungkap Green.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar