17 April 2025
13:13 WIB
Jejak Sukarno Di Makam Imam Bukhari
Kisah lawatan Sukarno ke Uni Soviet pada 1956 tercatat dengan baik dalam berbagai arsip sejarah, termasuk kunjungan ke Samarkand, Uzbekistan.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
Pertunjukan teater “Imam Al-Bukhari dan Sukarno" di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (15/4). Dok. Validnews/ Andesta
JAKARTA – Pertunjukan teater “Imam Al-Bukhari dan Sukarno" digelar baru-baru ini di Gedung Kesenian Jakarta. Helatan seni ini perayaan bersama Indonesia dan Uzbekistan untuk menandai persahabatan dan juga relasi sejarah dan budaya kedua negara.
Sukarno merepresentasikan Indonesia, Imam Bukhari mewakili Uzbekistan. Tapi tak hanya representasi, pertunjukan ini pun menggambarkan persentuhan kedua tokoh berbeda masa tersebut dalam aspek spiritual.
Diceritakan, pada tahun 1956, Presiden Sukarno menerima surat dari Presiden Uni Soviet, Nikita Khrushchev, berisi undangan berkunjung ke negara tersebut. Itu adalah surat kesekian dari pemimpin Uni Soviet kepada pemimpin Indonesia, yang menandai persahabatan kedua negara.
Sukarno sejatinya telah berkali-kali urung memenuhi undangan Uni Soviet yang kala itu tengah berperang pengaruh dengan Amerika Serikat. Dia ingin menjaga citra Indonesia sebagai negara nonblok, sehingga kedekatan dengan salah satu pihak akan tampak sebagai inkonsistensi.
Sukarno sempat mengajukan syarat kepada Presiden Nikita Khrushchev, bahwa dia akan berkunjung ke Uni Soviet hanya jika negara itu sudah menemukan makam Imam Bukhari, sekaligus kemudian merawatnya dengan baik. Dan surat yang datang pada 1956 itu adalah jawabannya: makam Imam Bukhari sudah ditemukan, berada di Samarkand, Uzbekistan.
Maka berangkatlah Sukarno ke Uni Soviet bersama beberapa pejabat pemerintahan Indonesia, di antaranya termasuk Sukiman dan Johannes Leimina. Rombongan Presiden Indonesia tiba di Uni Soviet pada 4 September 1956, lalu melawat ke berbagai wilayah persemakmuran, termasuk di antaranya berziarah di makam Imam Bukhari yang terletak di Samarkand, Uzbekistan.
Di makam Imam Bukhari, Sukarno bertafakur, khusyuk bersila di depan makam ahli hadis besar tersebut. Sebuah dialog imajiner dimunculkan, antara Sukarno dan Imam Bukhari. Banyak petuah yang tampaknya menyesap dengan kuat ke hati Sukarno, yakni tentang keyakinan hati untuk memimpin dalam kebenaran, sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Pertunjukan ini juga diperkaya monolog yang menampilkan pemain asal Uzbekistan, yang menuturkan cerita seputar ingatan masyarakat di sana tentang Bung Karno. Cerita dari monolog itu menggambarkan bagaimana masyarakat Uzbekistan memiliki memori yang kuat tentang Sukarno, atas jasanya dalam membuka dan mengawali tradisi ziarah ke makam Imam Bukhari di masa modern.
Cerita Yang Terus Dituturkan
Kisah lawatan Sukarno ke Uni Soviet pada 1956 tercatat dengan baik dalam berbagai arsip sejarah, termasuk kunjungan ke Samarkand, Uzbekistan. Namun halnya surat-menyurat Sukarno dengan Nikita Khrushchev perihal permintaan penemuan dan pemugaran makam Imam Bukhari, masih menjadi suatu cerita ‘konon’ yang masih menjadi perdebatan.
Cerita tentang peran Sukarno dalam penemuan kembali dan pemugaran makam Imam Bukhari, salah satu ahli hadis yang paling penting di dunia Islam, terus muncul tanpa catatan kronik yang memadai. Jika hal ini betul terjadi; Sukarno berperan besar dalam penemuan dan pemugaran makam Imam Bukhari, berarti Bung Karno memberikan sumbangan besar bagi dunia Islam.
Masalahnya, tak jelas hingga kini siapa sumber pertama yang menyebarkan cerita tersebut. Bahkan, Sukarno pun tak menceritakan kisah penting itu di dalam autobiografinya yang dituturkan Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014). Hanya beberapa publikasi dengan sumber sekunder menceritakan bagaimana ingatan masyarakat di Samarkand tentang Sukarno, yang menandai jejak Sukarno di makam bersejarah tersebut.
Sejalan dengan narasi dalam monolog di pertunjukan teater “Imam Al-Bukhari dan Sukarno", Rijal Mumazziq Z. dalam jurnal Falasifa Volume 10 Nomor 1 - Maret 2019 mencatat, masyarakat di Uzbekistan, khususnya Bukhara dan Samarkand, selalu mengingat penampilan Bung Karno dengan mengenakan peci hitam.
“Keberhasilan Bung Karno melobi pemimpin Uni Soviet adalah upaya yang terus diabadikan di dalam ingatan kolektif penduduk kota Bukhara yang selama puluhan periode dicengkram rezim komunis. ‘Ahmed Zu Kar Nu’, demikian lidah masyarakat Uzbekistan melafalkan nama Sukarno dengan penuh hormat,” tulis Rijal Mumazziq dalam publikasi berjudul “Jejak Ulama Uzbekistan di Nusantara”.
Terlepas keabsahan sejarah terkait peran Sukarno dalam membuka makam Imam Bukhari bagi dunia, Pertunjukan “Imam Al-Bukhari dan Sukarno" menjadi momentum untuk kembali menyigi relasi sejarah dan budaya kedua negara, termasuk persahabatan kedua negara. Pertunjukan ini, karena membicarakan Sukarno, turut disaksikan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri.
Megawati dalam kesempatan memberikan sambutan usai pertunjukan, Selasa (15/4) malam menuturkan kisah tentang Sukarno dan Imam Bukhari. Menurut dia, Sukarno memang memiliki ketertarikan besar terhadap Imam Bukhari dan karya-karyanya.
Ketertarikan itu tampak misalnya ketika dibuang ke Ende, Bung Karno pun meminta dikirimkan buku-buku karya Imam Bukhari.
“Bung Karno, ketika dibuang ke Ende, menurut cerita kepada saya dan saudara-saudara saya, sangat mendalami agama Islam. Dan terutama beliau sangat kagum kepada seorang yang bernama Imam Bukhari,” kata Megawati.
Megawati melanjutkan, Sukarno telah meletakkan dasar persahabatan yang kuat bagi rakyat Indonesia dengan Uzbekistan. Berkat upayanya meminta perhatian pemerintah Uni Soviet kala itu terhadap makam Imam Bukhari, maka makam itu kini telah terbuka dan menjadi destinasi wisata ziarah bagi umat muslim di seluruh dunia.
Awalnya, menurut cerita yang diterima Megawati, permintaan Bung Karno banyak yang menentangnya. Karena Pemerintah Komunis Uni Soviet, sedang menekan ekspresi keagamaan pada masa itu. Bahkan lokasi makam Imam Bukhari kala itu nyaris telah terlupakan.
Tapi Bung Karno bersikeras, dengan suara tegas dan hati yang penuh keyakinan mengatakan kepada pemerintah Uni Soviet, dia akan berziarah ke makam Imam Bukhari, bagaimanapun caranya.
“Permintaan yang kedengarannya sederhana itu, di tengah ketegangan geopolitik kala itu, adalah bentuk keyakinan spiritual dan kewibawaan politik seorang Presiden Republik Indonesia pertama,” tutur Mega.
Permintaan ziarah Bung Karno ke makam Imam Bukhari, direspon pemerintah Soviet dengan melakukan berbagai perbaikan atas kondisi makam. Malam yang semula tidak terawat, hampir terlupakan, dipugar dan dibuka kembali untuk kunjungan ziarah. Di kemudian, makam ini menjadi destinasi wisata religi bagi masyarakat Uzbekistan dan bagi umat Islam di dunia, berkat perjalanan ziarah Sukarno.
“Dan dari langkah kecil itu, lahir lah langkah-langkah yang lebih besar. Lahirlah perubahan besar. Pemerintah Uni Soviet mulai membuka kembali pintu terhadap warisan Islam di Asia Tengah. Imam Bukhari pun kembali hadir dalam kesadaran umat. Bukan hanya tokoh agama, tetapi sebagai simbol pengetahuan, moralitas dan kebesaran peradaban Islam,” tambah Mega.
Imam Bukhari adalah ahli hadis yang termasyhur di antara para perawi hadis bersama Imam Muslim, Tirmidzi hingga Abu Dawud. Dalam dunia keilmuan Islam, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dianggap memiliki derajat yang tinggi dan hampir semua ulama dunia pun merujuk padanya.
Imam Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan pada 13 Syawal 194 atau 31 Juli 810 Masehi, dan meninggal dunia pada 1 Syawal 256 Hijriah atau 1 September 870 Masehi.
Cerita tentang ziarah Bung Karno ke makam Imam Bukhari, sekaligus perannya dalam mendorong ditemukannya dan dipugarnya makam itu di masa silam, agaknya telah menjadi kebenaran sejarah yang diakui luas, baik di Indonesia maupun Uzbekistan.
Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI, turut menyampaikan bahwa pihaknya berharap agar benar-benar ada jejak Sukarno yang bisa dilihat dan dibaca di area makam. Mungkin bentuknya catatan memori, plakat atau keterangan lainnya yang menjelaskan peran Sukarno dalam penemuan dan pemugaran makam orang suci tersebut.
“Di situ kita harapkan juga ada suatu memori atau dalam bentuk plakat atau dalam bentuk keterangan tentang bagaimana makam Imam Bukhari ketika itu dibuka oleh Bung Karno, diusahakan oleh beliau, disampaikan kepada penguasa dari Uni Soviet, Nikita Khrushchev,” ucap Fadli dalam sambutannya, melanjutkan Megawati.