11 September 2024
21:00 WIB
Imane Khelif, Ring Tinju, Dan Cibiran Transgender
Bukan hanya berjuang mengalahkan lawan-lawannya di atas ring tinju, Imane Khelif juga harus berjuang dari serangan isu transgender yang kerap kali dilayangkan kepadanya
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Satrio Wicaksono
Imane Khelif petinju asal Aljazair yang telah mencatatkan nama dalam dunia tinju internasional. Shutterstock/ProPhoto1234/Edited
JAKARTA - Imane Khelif tak butuh waktu lama untuk mengakhiri pertarungan tinjunya di atas ring. Meski bukan knockout, beberapa bogem keras dan telak membuat sang lawan Angela Carini mengangkat tangannya. Petinju Italia itu menyerah.
Angela memilih mundur ke pojok ring dan enggan melanjutkan pertandingan. Dia merasa pukulan Khelif sangat kuat. Dia takut hidungnya patah. Alhasil, wasit memutuskan Khelif sebagai pemenang dari pertandingan yang hanya berjalan 46 detik itu.
Setelahnya, Angela berlutut di tengah ring sambil menangis. Dia merasa pertandingan itu sangat tidak adil, karena merasa Khelif adalah seorang transgender. Tolakan Angela terhadap uluran tangan Khelif, bisa jadi gambaran betapa emosinya dia akan pertarungan itu. Namun Khelif tak ambil pusing akan hal itu, dia turun ring dengan perasaan bangga.
Sayang, video pertandingan itu viral di media sosial dan menjadi pergunjingan di dunia maya. Netizen mencibir dan mempertanyakan apa jenis kelamin Khelif.
Akun-akun besar seperti J.K. Rowling, Donald Trump hingga Elon Musk pun ikut andil memperluas rumor Khelif sebagai seorang transgender dan memiliki keuntungan tersendiri dengan bertanding sebagai petinju di kategori wanita. Dari sana, banyak orang pun mulai merujuknya sebagai seorang pria dan merundung gadis 25 tahun itu secara daring.
"Saya akan menjauhkan pria dari olahraga wanita!" tulis mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan penuh capslock di akun media sosialnya, saat berkomentar mengenai Khelif.
Padahal, Khelif adalah seorang wanita sejak lahir. Negara asalnya, Aljazair, bahkan menentang keras LGBTQ+. Mereka yang menjalin hubungan sesama jenis atau mengubah jenis kelaminnya akan dipersekusi di negara tersebut.
Jadi, mustahil rasanya untuk mengubah jenis kelamin di dokumen resmi pemerintahan Aljazair. Apalagi sampai bisa melangkah ke Olimpiade dengan dukungan negara.
Si Gadis Tomboi ke Kancah Dunia
Imane Khelif terlahir sebagai perempuan di Ain Sidi Ali, Provinsi Laghouat di Aljazair. Ketika baru berusia dua tahun, keluarganya pindah ke Biban Mesbah, sebuah pedesaan di Provinsi Tiaret.
Sejak kecil, dia memang sudah senang berolahraga. Sebelum menambatkan hati pada olahraga tinju, dia lebih senang bermain sepak bola. Sayangnya, bisa bermain sepak bola di Aljazair masih sangat sulit untuk perempuan.
Di wilayahnya, sepak bola dirasa sebagai olahraganya para lelaki, sehingga tidak cocok dimainkan anak-anak perempuan.
Namun dia tidak peduli dan tetap turun ke lapangan. Bakatnya itu bahkan membuat anak laki-laki di sana merasa terancam. Bahkan, tak jarang, ada yang mengajaknya berkelahi.
Kebiasaan berkelahi itulah yang kemudian menginspirasinya untuk terjun ke dunia tinju, alih-alih meneruskan hobinya bermain sepak bola. Kemampuannya mengelak dari pukulan-pukulan musuh dan membalasnya, membuatnya percaya diri untuk menjajal dunia baru, tinju.
Untuk menjajal hobi baru, tentu ada tantangan baru yang harus dihadapinya. Misalnya saja, dia harus pergi ke desa tetangga yang jaraknya 10 kilometer untuk berlatih tinju. Mau tak mau, dia harus mencari uang untuk bisa membayar tiket bis ke desa sebelah.
Apalagi, Khilef juga tidak bisa meminta uang kepada sang ayah. Selain bekerja di Gurun Sahara, ayahnya tidak setuju putrinya itu belajar tinju. Dia pun memutar otak, mencari cara untuk bisa mendapatkan uang untuk ongkos belajar tinju.
Semangatnya menjadi petinju, menepis semua rasa malu. Dia mau melakukan hal yang mungkin tak lazim buat anak perempuan di sana, mengumpulkan besi-besi tua untuk diloakkan, supaya bisa mendapatkan uang.
Singkat cerita, perjuangan wanita kelahiran 2 Mei 1999 itu membuahkan hasil. Tahun 2012, dia meraih kemenangan di Kejuaraan Tinju Nasional Aljazair. Momen ini menjadi batu lompatan penting untuk kariernya di dunia tinju.
Berlanjut pada 2016, dia meraih prestasi dari debut internasional, kala meraih medali perunggu di Kejuaraan Tinju Dunia Wanita di Astana, Kazakhstan
Sampai pada 2018, dia berpartisipasi dalam AIBA Women's World Boxing Championship. Kala itu, Khelif hanya mampu bertengger di peringkat ke-17 kategori lightweight, setelah gugur di ronde pertama melawan Karina Ibragimova, Petinju Kazakhstan.
Tahun berikutnya, dia kembali mengikuti kompetisi serupa, namun hanya mampu bertahan di peringkat ke-33. Walau turun peringkat, dia tak menjadi pesimistis atas dunia yang digelutinya tersebut. Dia tetap konsisten berlatih untuk menggapai mimpi yang terlanjur dia rajut.
Di Istanbul Bosphorus International Boxing Tournament di Turki, Khelif berhasil meraih medali emas, setelah mengalahkan petinju Russia Anastasia Beliakova. Kemenangannya inilah yang mengantarkannya terjun ke Olimpiade Tokyo 2020.
Meskipun langkahnya membawa pulang medali terhenti, saat dikalahkan oleh petinju Irlandia Kellie Harrington di perempat final, dia berhasil menorehkan sejarah sebagai petinju wanita pertama yang mewakili Aljazair di Olimpiade.
Korban Diskriminasi
Tercatat sebagai atlet profesional dengan sejumlah prestasi, nyatanya tak membuat jalannya semulus yang diharapkan. Pada 2023, kala berpartisipasi di ajang kejuaraan tinju dunia wanita IBA Women's World Boxing Championship, Khelif harus mengubur mimpinya dalam-dalam. Peluang medali emas setelah mengalahkan petinju Cina, Yang Liu, kandas.
Dia didiskualifikasi oleh International Boxing Association (IBA) karena tidak memenuhi kriteria yang ditentukan dalam kompetisi wanita. IBA menyatakan, ada hal yang menguntungkan Khelif saat berhadapan dengan lawan.
Banyak orang berspekulasi, kriteria yang dimaksud adalah perihal kadar testosteron Khelif yang lebih tinggi dibandingkan wanita kebanyakan dan memiliki kromosom XY. Namun, pihak IBA tidak menjalankan tes yang berkaitan dengan testosteron dan menolak menyebut secara jelas, kriteria seperti apa yang dimaksud, dengan dalih rahasia.
Bukan hanya Khelif yang menjadi korban ‘diskriminasi’ dari peraturan IBA ini. Petinju China Taipei, Lin Yu-Ting juga didiskualifikasi atas alasan serupa, padahal seharusnya ia memperoleh medali perunggu dalam pertarungan tersebut.
Atas kejadian itu, Khelif sendiri menjalani serangkaian tes medis untuk membuktikan dirinya adalah seorang perempuan agar bisa kembali bertanding. Namun IBA tetap keukeuh dengan keputusannya, dan mengatakan, jika dia tetap bertarung di kategori wanita, maka pertarungan tersebut akan membahayakan bagi lawannya nanti.
Atas apa yang dialami khelif, terbersit dalam benaknya memperjuangkan inklusivitas dalam dunia olahraga. Dia berharap, hasil tes kromosom tidak dijadikan sebagai batu sandungan, untuk berpartisipasi pada kompetisi tinju dunia. Apalagi, secara gender, dia adalah wanita tulen.
Di beberapa kesempatan, dalam lingkup yang kecil maupun forum olahraga global, Khelif berharap agar situasi yang terjadi itu menjadi diskusi yang lebih luas. Harapannya satu, mendorong peraturan olahraga yang lebih inklusif.
Dia menyerukan agar peraturan pertandingan olahraga dunia tidak sekadar bergantung pada tes kromosom atau hormone semata, tapi juga mempertimbangkan identitas gender.
Baginya, nasi sudah menjadi bubur. Sandungan pada 2023, itu tidak boleh menghentikan laju prestasi yang telah diraih selama ini. Maka dari itu, tantangan ini dihadapi dengan komitmen untuk terus berlatih, layaknya atlet lainnya.
Emas Olimpiade
Benar saja, harapannya terkabul. International Olympic Committee (IOC) memiliki pandangan berbeda. Mereka merasa diskualifikasinya dua atlet itu tidak masuk akal. Khelif pun bisa berkompetisi di Olimpiade Paris, setelah memenuhi segala persyaratan dan regulasi medis yang dibutuhkan oleh ajang bergengsi tersebut.
Presiden IOC, Thomas Bach bahkan dengan mantap mengatakan kalau Khelif terlahir sebagai wanita, terdaftar sebagai wanita, menjalani hidupnya sebagai wanita, bertinju seperti wanita, dan bahkan memiliki paspor perempuan. Tidak ada alasan untuk menghalangi langkahnya ke Olimpiade.
Akibat hal ini pula, IBA tidak diikutsertakan dalam cabang olahraga tinju Olimpiade Paris 2024. Sebagai gantinya, IOC Paris 2024 Boxing Unit dibentuk untuk menangani tinju di Olimpiade.
Sampai akhirnya, dia bertanding dan berhadapan dengan Angela Carini yang kembali mendapatkan banyak rumor, spekulasi liar, hingga hujatan secara daring yang mempertanyakan jenis kelaminnya kembali.
Ayah Khelif pun sampai ikut ambil bicara atas cibiran dan tudingan yang dilontarkan kepada anaknya. Dengan tegas dia berujar, kalau Khelif adalah benar-benar perempuan.
"Anak saya adalah seorang perempuan. Dia dibesarkan sebagai perempuan," kata Omar Khelif dalam video pendek yang diposting ke YouTube oleh Sky News, dikutip dari unifa.ac.id.
Beruntungnya, cibiran-cibiran tersebut tidak mempengaruhi performanya di atas ring. Dia memenangkan medali emas di kelas welterweight setelah mengalahkan petinju Cina Yang Liu.
"Selama delapan tahun, ini adalah mimpi saya, dan sekarang saya adalah juara Olimpiade dan peraih medali emas. Kami ada di Olimpiade untuk bertanding sebagai atlet, saya harap kita tidak akan melihat serangan-serangan (yang saya alami) di Olimpiade selanjutnya," katanya dikutip dari Associated Press setelah kemenangannya.
Medali emas Khelif pun menjadikannya petinju pertama Aljazair yang mendapat medali emas di ajang Olimpiade, setelah Hocine Soltani di 1996. Angela pun meminta maaf pada Khelif melalui koran Italia La Gazzetta dello Sport, atas tuduhannya yang memicu serangan-serangan daring.
Melalui kemenangannya ini, dalam wawancara sebagai Ambassador UNICEF, dirinya berharap negara-negara berkembang lainnya seperti Aljazair, dapat memberikan kesempatan anak perempuan untuk terjun ke olahraga. Dia berharap, ada banyak perempuan lainnya yang bisa menjadi atlet dan berkontribusi pada negara mereka, tidak kalah dengan laki-laki.