c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

KULTURA

22 Desember 2021

18:38 WIB

Humor, Cermin Kedewasaan Masyarakat Negara Demokrasi

Kalau dulu komedi hanya berhadapan dengan negara, namun hari ini, masyarakat pun turut menjadi "hakim" bagi para komedian.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Humor, Cermin Kedewasaan Masyarakat Negara Demokrasi
Humor, Cermin Kedewasaan Masyarakat Negara Demokrasi
Ilustrasi menonton tayangan komedi. Freepik/dok.

JAKARTA – Humor sejak dulu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Kita mengenal tokoh punakawan yang terkenal kocak, namun di dalam kekocakan itu pula terselip pesan-pesan kebijaksanaan.

Begitulah humor menjadi instrumen pembangun kebudayaan, pembangun cara berpikir sekaligus yang menjadi artikulasi dari suara komunitas sosialnya. Alasan humor dapat diterima, tak lain karena ia memungkinkan suatu pesan tersampaikan dengan cara yang damai, tanpa konfrontasi.

Namun, bukan tidak pernah, humor menjadi bumerang bagi para penyampainya. Sindiran-sindiran yang terselip di balik suatu materi humor, kadang dianggap berlebihan dan tidak disukai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, sehingga menyerang pelaku komedi dengan berbagai cara.

Termasuk di era modern, era digital ini. Tidak sekali, seorang komedian mendapat ancaman, serangan maupun makian karena humor yang dibawakannya. Serangan itu bisa datang dari pihak berkuasa, bisa pula datang dari publik yang kini juga dilabeli sebagai netizen di jagad maya. Tak jarang, komedian dilaporkan ke penegak hukum dengan dugaan pencemaran nama baik.

Hal itu disorot oleh komedian senior Dedi Gumelar atau “Miing”. Ia menilai, kondisi seperti itu tidak sehat bagi ekosistem perkomedian Indonesia. Padahal, menurutnya, humor merupakan salah satu indikator kemajuan suatu masyarakat.

“Kalau humornya maju, negaranya maju. Sebab ada dua instrumen yang bisa membentuk watak dan karakter bangsa itu, pertama olahraga kedua kesenian,” ungkap Miing dalam sesi sarasehan ‘Indonesia Darurat Humor?’ yang digelar IHIK3 dan Humoria.id yang dipantau secara daring, Selasa (21/12).

Miing mengilas balik perjalanannya di skena komedi Indonesia sejak zaman Orde Baru hingga era Reformasi. Dulu, katanya, komedian hanya berhadapan dengan negara, di mana jika ada materi yang dianggap bermasalah, maka yang dihadapi adalah penguasa atau aparat. Namun hari ini, masyarakat pun menjadi “hakim” bagi para komedian.

Menurutnya, hal itulah yang membuat banyak komedian hari ini banyak yang tidak berani menyampaikan humor secara bebas. Banyak komedian yang takut untuk membangun materi humor, dan pada akhirnya memilih bermain aman ketimbang mengeksplorasi kreatifitasnya secara bebas.

Miing menekankan bahwa para pelaku komedi maupun masyarakat perlu untuk memajukan ekosistem humor di Indonesia. Humor yang maju menurutnya adalah representasi kedewasaan suatu masyarakat negara demokrasi. Bukannya sedikit-sedikit saling lapor-melaporkan.

“Kalau konon kabarnya kita demokrasi, plis, tidak ada demokrasi yang masyarakatnya tidak dewasa. Maka, humor sebagai salah-satu jalan untuk mendewasakan masyarakat,” tuturnya.

Pandangan serupa juga disampaikan komedian yang lebih muda, Pandji Pragiwaksono. Komedian yang diketahui pernah beberapa kali menuai polemik karena materi komedinya ini mendorong agar semua orang bisa bebas dalam menyampaikan komedi.

Pandji menilai, kasus lapor-melapor dengan tuduhan pencemaran nama baik merupakan wujud dari intensi komunal masyarakat Indonesia. Namun, ia mengajak para komedian untuk tidak takut bila dimaki ataupun dilaporkan oleh masyarakat.

Bebas dan Bertanggung Jawab

Pandji menggarisbawahi dari segi hukum, bahwa pencemaran nama baik harusnya hanya bisa dilaporkan oleh orang yang menjadi objek di dalam suatu materi komedi. Selama seseorang tidak melapor karena tidak merasa dirugikan dijadikan objek komedi, maka komedian tidak harus takut, meski komunitas pendukung si objek tersebut bereaksi keras.

“Ketika pelawak menyinggung suatu kalangan, itu bukan masalahnya pelawak, tapi masalah internal setiap komunitas. Yang berarti, misalnya, komunitas pendukung presiden, ini tuh berarti nggak ada obrolan di antara mereka bahwa sebenarnya (komedi) yang kayak gini itu nggak kenapa-napa,” kata Pandji.

Baik Pandji maupun Miing sama-sama setuju bahwa setiap materi komedi dibangun berdasarkan realitas, dan dengan kajian yang cukup oleh pembuatnya. Karena itu, tidak mungkin seorang komedian menyampaikan suatu materi yang mengada-ngada dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Menjadi pelawak tidak memberi kita hak untuk bebas ngomong apapun yang berarti lo boleh ngelawak apa saja, tapi lo harus ingat  lo bikin orang ketawa, dan itu dengan disiplin, ilmu, dengan riset. Orang ketawa karena ngerti, jadi ada kesamaan referensi,” kata Pandji.

“Ini sekarang eranya justru lo bisa ngomong bebas, tapi lo harus bertanggung jawab,” imbuhnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER