14 Desember 2022
13:02 WIB
Penulis: Tristania Dyah Astuti
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Aktivitas manusia dan kegiatan industri terus meningkat dalam beberapa dekade ke belakang. Kondisi ini sedikit banyak menyumbang masalah lingkungan hingga memicu fenomena alam, salah satunya hujan asam.
Hujan asam merupakan sebuah proses alami turunnya asam dari atmosfer ke permukaan bumi. Meski bernama hujan, fenomena ini tidak hanya turun dalam bentuk air namun bisa pula berupa disposisi basah lain seperti butiran es, salju, dan kabut. Selain itu bisa pula dalam bentuk disposisi kering seperti debu, gas, atau partikel padat lain.
Saat turun dalam bentuk air atau butiran es, secara kasat mata kehadiran hujan asam biasanya sulit dibedakan dengan hujan biasa. Tetapi umumnya yang dapat membedakan adalah efek jika terkena kulit. Senyawa dalam hujan asam dapat menyebabkan iritasi pada kulit, ditandai dengan rasa gatal dan kemerahan.
Air dalam hujan asam memiliki kadar pH di bawah angka 5. Sementara pH air hujan biasanya berkisar antara 5 sampai 6. Semakin rendah tingkat pH air hujan, maka semakin tinggi dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan.
Baca juga: BMKG: Cuaca Ekstrem Fenomena Luar Biasa
Melansir Hello Sehat, fenomena hujan asam dapat mengancam berbagai aspek kehidupan, seperti kesehatan manusia, keberlangsungan ekosistem perairan, tumbuhan dan hewan, juga dampak kerusakan bangunan.
Pada manusia, hujan asam tidak hanya mengancam kesehatan kulit, namun juga dapat memicu gangguan pernafasan seperti asma, bronkitis dan lain sebagainya, ini juga menyebabkan seseorang lebih mudah mengalami batuk pilek.
Kondisi ini dipicu karena hujan asam mengandung partikel sulfur dioksida dan nitrogen oksida berukuran kecil dan mudah terhirup.
Pada orang yang sebelumnya sudah memiliki riwayat penyakit pernapasan, fenomena alam ini bisa menyebabkan kekambuhan atau bahkan memperburuk gejala yang ada. Selain itu, partikel asam tersebut juga bisa menyebabkan kerusakan paru-paru permanen jika kerap terpapar dalam kurun waktu yang lama.
Sementara, pada perairan hujan asam dapat memengaruhi ekosistem. Pasalnya, perairan seperti danau, sungai, dan laut akan menjadi lebih asam, sehingga biota laut tidak memiliki oksigen yang cukup untuk bernafas.
Akan tetapi, biasanya dampak hujan asam yang bisa dilihat secara fisik adalah terjadinya kerusakan pada bangunan. Senyawa kimia yang terkandung dalam air hujan dapat menyebabkan perkaratan atau korosi pada benda-benda logam sehingga membuatnya jadi lebih rapuh dan keropos.
Baca juga: Tentang Mata Sahara, Fenomena Alam Menakjubkan Di Afrika
Dapatkah Hujan Asam Dicegah?
Menelaah dampak jangka panjang yang bisa ditimbulkan, hujan asam perlu dicegah dengan menekan faktor penyebabnya.
Jika melihat dari asal usulnya, hujan asam dilaporkan pertama kali terjadi di Manchester sekitar tahun 1800-an, fenomena ini berbarengan dengan revolusi industri yang terjadi di negara itu.
Pada tahun 1852, lewat penelitiannya Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam dengan polusi udara. Hasil penelitian ini juga didukung dengan lebih seringnya hujan asam terjadi seiring dengan perkembangan industri dan aktivitas manusia.
Aktivitas industri seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, pembangkit listrik, peleburan logam dan aktivitas lain disebut menjadi pemicu utama hujan asam. Ini karena kegiatan tersebut banyak menghasilkan konsentrasi sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx) di udara.
Belum lagi diperparah dengan senyawa yang berasal dari gunung berapi aktif. Mengingat Indonesia memiliki banyak gunung berapi aktif, hal ini juga membuat semakin seringnya terjadi hujan asam di berbagai daerah.
Secara garis besar, hujan asam terjadi lantaran polusi udara yang terjadi sudah cukup buruk dan mengirimkan banyak tingkat sama ke atmosfer. Dengan kadar polutan yang terlalu banyak secara alami atmosfer melepaskannya kembali ke bumi.