c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

10 Oktober 2025

11:39 WIB

Hormon Oksitosin Bisa Membuat Embrio Hibernasi

Oksitosin terbukti memicu perubahan pada tingkat sel yang menunjukkan kondisi diapause, seolah-olah embrio menekan tombol 'pause' pada proses pertumbuhannya, menunggu kondisi terbaik untuk tumbuh.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Hormon Oksitosin Bisa Membuat Embrio Hibernasi</p>
<p id="isPasted">Hormon Oksitosin Bisa Membuat Embrio Hibernasi</p>

Ilustrasi seorang dokter bekerja di meja dengan model rahim wanita berisi janin, menunjukkan pertumb uhan, perkembangan kehamilan, dan proses kelahiran untuk tujuan pendidikan. Shutterstock/PanuShot.

JAKARTA - Selama ini, oksitosin dikenal sebagai hormon cinta yakni zat kimia yang membuat seseorang merasa hangat, dekat, dan penuh kasih sayang, terutama ketika berpelukan atau jatuh cinta. Tidak heran bila hormon ini sering disebut sebagai perekat hubungan antarmanusia, penguat empati, dan salah satu kunci keseimbangan emosional.

Namun, di balik peran lembutnya sebagai hormon kasih sayang, penelitian terbaru menemukan sisi lain yang tak kalah menakjubkan. Oksitosin ternyata tidak hanya memengaruhi perasaan dan ikatan sosial, tetapi juga memiliki peran biologis yang lebih dalam terhadap awal kehidupan itu sendiri.

Melansir laman Live Science, sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari New York University Grossman School of Medicine menemukan bahwa hormon ini mampu melakukan sesuatu yang luar biasa yakni menunda kehamilan pada tahap paling awal. Dalam penelitian pada tikus, para peneliti mendapati bahwa oksitosin bisa membuat embrio masuk ke dalam kondisi diapause. 

Diapause sendiri merupakan suatu keadaan mirip hibernasi, di mana perkembangan embrio berhenti sementara waktu sebelum kembali dilanjutkan ketika kondisi tubuh induk sudah siap. Fenomena ini merupakan mekanisme alami yang membantu induk tikus menunda kehamilan ketika kondisi tubuh belum mendukung, misalnya saat ia masih menyusui anak-anaknya yang baru lahir dan energinya sedang terkuras untuk memulihkan diri.

Diapause sendiri bukanlah hal baru di dunia hewan. Fenomena ini terjadi secara alami pada marsupial seperti kanguru dan oposum, serta lebih dari 130 spesies mamalia lainnya, termasuk tikus dan kelelawar.

Menariknya, para ilmuwan menduga bahwa hal serupa juga mungkin terjadi pada manusia, meski sangat jarang dan sulit diamati. Beberapa laporan dari klinik fertilisasi in vitro (IVF) menunjukkan bahwa dalam kasus tertentu, embrio manusia bisa bertahan di dalam rahim selama berminggu-minggu sebelum benar-benar menempel dan berkembang.

Dalam percobaan awal, tim peneliti menempatkan tikus jantan ke dalam kandang tikus betina yang baru melahirkan, lalu membiarkan mereka kawin saat sang induk masih menyusui. Hasilnya cukup menarik, di mana masa kehamilan tikus betina yang sedang menyusui berlangsung sekitar satu minggu lebih lama dibandingkan tikus yang tidak menyusui.

Mengingat kehamilan tikus normalnya hanya berlangsung 19 hingga 21 hari, jeda seminggu ini merupakan penundaan yang cukup signifikan, dan kemungkinan besar disebabkan oleh fase pause alami sebelum embrio menempel di rahim. Dalam percobaan berikutnya, para peneliti menggunakan teknik optogenetika, yakni metode yang memanfaatkan cahaya untuk mengaktifkan neuron tertentu di otak.

Dengan teknik ini, mereka menstimulasi otak tikus betina agar melepaskan oksitosin dalam pola yang menyerupai lonjakan alami hormon tersebut saat menyusui. Setelah lima hari perlakuan, rahim tikus diperiksa, dan hasilnya mengejutkan di mana lima dari enam tikus menunjukkan tanda-tanda diapause.

Sebaliknya, pada kelompok pembanding yang tidak distimulasi oksitosin, tidak ditemukan tanda-tanda diapause sama sekali. Eksperimen serupa dilakukan pada embrio yang diteliti di laboratorium, dan hasilnya konsisten.

Baca juga: Mengembalikan Bentuk Perut Setelah Melahirkan

Oksitosin terbukti memicu perubahan pada tingkat sel yang menunjukkan kondisi diapause, seolah-olah embrio menekan tombol 'pause' pada proses pertumbuhannya. Peneliti juga menemukan bahwa oksitosin memperlambat proses penerjemahan gen menjadi protein yakni langkah penting dalam pertumbuhan dan diferensiasi sel.

Namun yang menarik, embrio tanpa reseptor oksitosin ternyata masih dapat mengalami diapause, menandakan bahwa ada lebih dari satu sinyal biologis yang mampu memicu mekanisme ini. Meski begitu, oksitosin tampaknya memainkan peran penting dalam membantu embrio bertahan selama fase jeda tersebut.

Ketika para peneliti menonaktifkan reseptor oksitosin pada embrio, hanya 11% yang berhasil bertahan hidup, dibandingkan dengan 42% embrio yang masih memiliki reseptor aktif. Hasil ini menunjukkan bahwa oksitosin tidak hanya berfungsi sebagai pemicu, tetapi juga penjaga kehidupan bagi calon makhluk hidup yang tengah menunggu waktu tepat untuk tumbuh.

Pemahaman yang lebih dalam mengenai proses ini berpotensi membuka jalan bagi penjelasan baru tentang penyebab keguguran dini pada manusia, serta dapat menjadi dasar bagi pengembangan terapi kesuburan di masa depan. Selain itu, temuan ini juga memperluas wawasan tentang bagaimana sel-sel tubuh bertahan dalam kondisi ekstrem.

Dalam proses pembentukan sistem saraf janin, misalnya, separuh sel saraf akan mati secara alami seiring penyempurnaan struktur otak. Namun, sel-sel yang bertahan akan menjadi fondasi sistem saraf yang berfungsi seumur hidup.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar