27 Agustus 2025
16:15 WIB
Greta Thunberg Dan Mogok Sekolah Yang Menggemparkan Dunia
Greta Thunberg menggetarkan banyak kepala negara dengan ucapannya yang singkat dan keras. Aksi mogok sekolah yang dilakoninya menyadarkan warga dunia akan krisis iklim yang harus diantisipasi.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi potret aktivis asal Swedia, Greta Thunberg. Wikimedia Commons/Anders Hellberg
Ada dua Tintin yang kondang di dunia ini, dan kerap menjadi inspirasi banyak orang. Satunya hanya dikenal sebagai Tintin, wartawan berkebangsaan Belgia yang cerita petualangannya disuka beragam usia, dan satunya lagi adalah Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg, berkebangsaan Swedia.
Satunya adalah tokoh rekaan karya pengarang Hergé yang nama aslinya Georges Remi, sedangkan satunya lagi, adalah aktivis lingkungan berusia muda yang sangat berpengaruh di dekade ini. Bahkan, bisa dibilang, buat banyak orang Greta Thunberg merupakan salah satu ikon lingkungan hidup yang sangat berpengaruh dalam abad ke-21 ini.
Greta, demikian sapaan Tintin yang kedua, berhasil mengubah banyaknya keresahan pribadi banyak umat dalam krisis iklim menjadi gerakan global yang membuatnya sebuah inspirasi jutaan orang.
Namanya bergema pada tahun 2018 ketika dia memutuskan untuk mogok sekolah. Alasannya? Demi menuntut aksi nyata dalam menghadapi perubahan iklim.
Edan, bukan?
Saat anak-anak sesusianya mogok sekolah karena menginginkan hadiah, mainan, atau gawai misalnya, Greta menyuarakan jauh lebih penting buat bumi dan warganya. Ya, suaranya didengar, karena dia bukan warga sembarang juga.
Greta adalah someone.
Greta Thunberg, Sang Ikon Aktivis Abad Ke-21
Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg lahir pada 3 Januari tahun 2003 di Stockholm, Swedia. Dia berasal dari keluarga seniman. Ayahnya, Svante Thunberg, seorang aktor. Sementara itu, ibunya, Malena Ernman, adalah penyanyi opera terkenal di Swedia.
Sedari kecil, Greta dikenal sebagai anak yang cukup pendiam, penuh empati, dan sangat sensitif dengan isu lingkungan. Saat usianya 8 tahun, Greta pertama kali mendengar tentang perubahan iklim di sekolah.
Mengetahui fakta yang mengguncangnya mengenai pemanasan global membuat Greta sangat terpukul. Bahkan, Greta sempat mengalami depresi, tidak mau berbicara, sampai mogok makan karena merasa dunia tidak peduli pada krisis iklim yang sudah terjadi dalam waktu yang sangat lama.
Di umurnya yang tergolong masih belia, Greta mendapatkan diagnosa Asperger Syndrome, OCD, bahkan selective mutism. Apakah penyakit itu menjadi sebuah halangan untuk Greta?
Ternyata, kondisi tersebut malah membuat Greta memiliki fokus dan tekad yang kuat. Greta sering menyebut Asperger sebagai “superpower” yang membantunya berpikir jernih tanpa terpengaruh kompromi politik atau kepentingan ekonomi.
Berawal dari Sekolah, Melesat ke Panggung Dunia
Awal perjuangan Greta dimulai pada Agustus 2018, saat ia berusia 15 tahun. Greta memutuskan tidak masuk sekolah setiap hari Jumat. Saban Jumat, dia hanya duduk di depan gedung parlemen Swedia dan membawa papan bertuliskan “Skolstrejk för klimatet”, yang berarti “Mogok Sekolah untuk Iklim”.
Awalnya, perjuangan kecil Greta dianggap remeh. Namun, aksinya tersebut tersebar luas di media sosial ke seluruh dunia.
Dalam waktu yang singkat, Greta berhasil menyadarkan dunia akan bahaya dari krisis iklim yang sebelumnya hanya dongeng belaka tetapi nyata di depan mata. Greta tak hanya bersuara, tapi punya lifestyle sederhana, juga konsisten dengan perjuangan yang
Kemudian, banyak anak-anak hingga remaja dari berbagai penjuru dunia mengikuti jejak Greta. Gerakan tersebut kemudian dikenal dengan nama “Fridays for Future”, sebuah aksi global yang mengajak anak sekolah dan masyarakat untuk menuntut para pemimpin dunia untuk segera bertindak menghadapi krisis iklim.
Aksi tersebut memicu pergerakan global yang masif. Pada September 2019, lebih dari 7,6 juta orang di 150 negara ikut dalam aksi mogok iklim. Gerakan ini menjadi salah satu protes lingkungan terbesar sepanjang sejarah.
Sejak aksinya yang dikenal luas, Greta menjadi konsisten dalam menyuarakan isu lingkungan di forum-forum dunia. Saat diundang PBB pada tahun 2019, Greta tampil di perhelatan Climate Action Summit, New York. Dia berpidato berapi-api, mengkritik para pemimpin dunia karena dianggap tidak serius dalam menangani krisis iklim.
Kalimat “How dare you? You have stolen my dreams and my childhood with your empty words,” menjadi salah satu kutipan Greta yang paling ikonik dalam sejarah aktivisme modern.
Kemudian, Greta dalam forum World Economic 2019, juga menyampaikan satu kutipan kondang berbunyi; "I don't want your hope. I don't want you to be hopeful, I want you to panic and act as if the house was on fire. Because, it is."
Pada tahun yang sama, Greta menjadi orang termuda yang pernah mendapatkan penghargaan dari majalah Time sebagai Person of the Year. Majalah Time menobatkan Greta sebagai simbol perlawanan dari generasi muda terhadap krisis iklim dunia.
Beberapa kali, Greta juga mendapatkan nominasi Nobel Perdamaian karena memperjuangkan isu lingkungan yang telah terjadi. Hal tersebut menandakan besarnya pengaruh Greta terhadap perjuangannya pada isu lingkungan.
Greta juga rutin menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) dan forum lainnya dalam skala internasional. Sering kali bersikap kritis, kehadiran Greta memberi tekanan moral bagi para pemimpin dunia.
Dia juga banyak menginspirasi berbagai karya. Salah satunya, buku berjudul No One Is Too Small to Make a Difference dan dokumenter I Am Greta yang dirilis tahun 2020.
Kutipan Greta menggambarkan keberaniannya dalam berbicara apa adanya, tanpa basa-basi, dan menantang pemimpin dunia untuk bertanggung jawab dalam krisis perubahan iklim.
Suara Greta Thunberg Untuk Dunia
Selain suara Greta yang sangat lantang mengenai isu lingkungan, banyak hal yang dapat kita pelajari dari perjuangannya.
Greta membuktikan bahwa satu suara dapat memicu ripple effect terhadap dunia. Konsistensinya menjadi alarm bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil.
Greta juga mengubah gaya hidupnya demi menekan jejak karbon dengan tidak ingin menumpangi pesawat dikarenakan pesawat memiliki jejak karbon yang tinggi. Sebaliknya, dia malah memilih menggunakan kapal layar saat pergi ke Amerika.

Greta juga menekankan betapa pentingnya ilmu sains dan perlu didengarkan, bukan hanya opini atau politik saja yang menjadi acuan untuk berpikir kritis. Jadi, gerakannya tak asal mangap atau asal teriak tanpa dasar argumen kuat.
Sikap Greta ini juga menunjukkan integritasnya dalam memperjuangkan isu iklim berdasarkan fakta tanpa pengaruh orang lain. Dia mendorong generasi baru agar tidak takut bersuara walaupun mendapatkan banyak tekanan dari segala arah.
Walaupun Greta Thunberg berasal dari Swedia dan aksinya hanya melingkupi ruang kecil bagi pergerakan dalam melindungi perubahan iklim yang telah terjadi, gaung suara dan gerakan yang telah dicetuskannya sampai ke berbagai belahan dunia, termasuk Asia. Di kawasan ini, banyak anak muda yang terinspirasi kuat oleh gerakan Fridays for Future dan sering mengangkat isu lingkungan lokal yang khas di tiap negara.
Banyak pelajar di Jepang ikut menekan pemerintah agar lebih serius mengurangi ketergantungan pada PLTU batu bara. Para aktivis muda Jepang menyuarakan bahwa masa depan energi bersih sangat penting tak hanya di Jepang, tetapi juga penting di negara lainnya karena Jepang sudah pernah mengalami bencana nuklir di Fukushima yang menyebabkan besarnya kerusakan lingkungan dan kehidupan di Jepang.
Tak hanya Jepang, suara anak muda juga terdengar di India, yang menyoroti polusi udara sangat parah di New Delhi. Hal tersebut berdampak besar bagi perubahan iklim, terlebih efeknya dirasakan oleh para petani di India. Mereka menggunakan semangat Greta sebagai pemicu dalam menyuarakan isu kesehatan publik dan keadilan sosial.
Selain itu, aktivis muda di Filipina juga mengaitkan isu iklim dengan bencana topan yang terjadi. Dengan intensitas yang sering, mereka menuntut keadilan iklim kepada pemerintah setempat. Hal itu karena negara-negara Asia Tenggara sering menanggung dampak paling berat dari perubahan iklim ini walaupun kontribusi emisi relatif lebih kecil dibandingkan negara maju lainnya.
Tak terkecuali Indonesia, negara yang sangat rentan oleh perubahan iklim. Gerakan anak muda semakin kuat terutama lewat komunitas lingkungan, seperti Extinction Rebellion Indonesia dan Jeda Untuk Iklim. Inspirasi kuat dari Greta Thunberg, ratusan pelajar dan mahasiswa pernah turun ke jalan di Jakarta dan kota besar lainnya untuk menyuarakan aksi nyata ke pemerintah Indonesia.
Isu yang diangkat tak jauh dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang selalu terjadi setiap tahunnya di Sumatra dan Kalimantan yang menyebabkan krisis kesehatan, krisis lingkungan, dan juga kerugian ekonomi yang sangat besar.
Para aktivis juga menyuarakan isu banjir serta kenaikan permukaan laut, yang menjadi ancaman daerah pesisir, termasuk Jakarta yang diproyeksikan akan tenggelam jika tidak ada aksi nyata. Indonesia juga sangat tergantung dengan energi fosil, khususnya batu bara. Hal itu digarisbawahi para aktivis karena menjadi tantangan besar dalam transisi menuju energi terbarukan.
Gerakan para anak muda dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yang terinspirasi Greta menjadi bagian penting dalam mendorong diskusi publik mengenai kebijakan energi, perlindungan hutan, serta keadilan iklim. Mereka menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan perubahan iklim tak sekedar khayalan belaka, bukan hanya isu global yang kosong, tetapi persoalan nyata yang menyentuh kehidupan jutaan orang di dunia.
Kontroversi Perjuangan Greta Thunberg
Besarnya nama Greta Thunberg berbanding lurus dengan popularitasnya. Oleh karena itu, dia juga tak lepas dari kritik dari berbagai pihak. Banyak yang menilai aksinya terlalu radikal atau sekadar simbol tanpa solusi teknis.
Beberapa politikus dunia menyerang Greta secara personal, seperti Donald Trump (Presiden AS ke 45 dan 47) yang menyindirnya setelah Pemilu AS 2020, dan juga Frans Timmermans (mantan kepala iklim Uni Eropa) yang menyatakan bahwa isu perubahan iklim tak ada kaitannya dengan isu politik saat ini, yaitu Palestina, tetapi Greta dianggap oleh Frans menarik gerakan iklim ke dalam gerakan politik di tahun 2023.
Namun, kritik ini malah memperkuat posisi Greta sebagai pengingat. Perjuangan melawan krisis iklim bukanlah hal mudah. Meski masih muda, Greta berani menghadapi serangan tersebut tak gentar. Kisahnya memberikan inspirasi bahwa usia bukanlah penghalang untuk membawa perubahan besar. Seorang aktivis muda yang duduk di depan parlemen Swedia, menjadi suara global yang berpengaruh besar terhadap arah kebijakan iklim dunia.
Semangat, konsisten, kepedulian, serta keberanian Greta perlu didalami. Dia menunjukkan bahwa setiap insan dunia memiliki peran penting dalam menjaga bumi. Perubahan iklim tak hanya sekadar isu global, tetapi menjadi persoalan moral yang akan menentukan masa depan generasi berikutnya.
Menurut Sobat Valid, apakah kita cukup diam saja? Atau memulai langkah kecil demi menuntut perubahan seperti yang Greta lakukan?