c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

10 Oktober 2025

14:53 WIB

Gerakan Anak Muda Jakarta Untuk Ruang Publik Yang Inklusif

Kesadaran tentang pentingnya aksesibilitas informasi bagi teman tuli masih rendah, perlu ruang lebih banyak untuk membangun inklusivitas.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Satrio Wicaksono

<p id="isPasted">Gerakan Anak Muda Jakarta Untuk Ruang Publik Yang Inklusif</p>
<p id="isPasted">Gerakan Anak Muda Jakarta Untuk Ruang Publik Yang Inklusif</p>

Penyandang disabilitas tuna rungu Goldia Syahragasi pemilik Warkop Tuli 21 berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dengan calon pembeli di Warkop Tuli 21, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (5/12/2024). AntaraFoto/Auliya Rahman

JAKARTA - Di tengah geliat anak muda Jakarta yang semakin peduli pada isu keberagaman, inklusivitas kini menjadi bagian dari gaya hidup. Salah satu bentuk yang kian disuarakan adalah penggunaan bahasa isyarat, bahasa visual yang menjadi jembatan komunikasi bagi teman-teman tuli. 

Bahkan, kini banyak kafe yang ramah tuli hingga konten media sosial menyertakan juru bahasa isyarat, tanda-tanda perubahan ini mulai terasa di berbagai ruang publik. Namun di balik gerakan ini, ada sosok-sosok muda yang memilih untuk benar-benar turun tangan memperjuangkan akses yang lebih setara bagi semua orang. 

Salah satunya adalah Adika Cafaizi Prasetyanto atau akrab disapa Dika. Abang Jakarta Selatan 2025 ini tak hanya gencar mempromosikan pariwisata ibu kota, tetapi juga menunjukkan kepeduliannya terhadap komunitas tuli.

Sejak awal mengikuti ajang Abang None Jakarta, Dika datang dengan misi yang jelas. Ketertarikannya terhadap isu ini bermula dari obrolannya dengan beberapa teman, yang membuka matanya pada berbagai tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

"Aku selalu mikir bahwa mereka ada di sekitar kita, tapi karena hambatan komunikasi, banyak cerita mereka yang nggak sampai. Bahkan peluang kerja pun jadi terbatas,” ujar Dika kepada Validnews.

Dika merasa memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan pentingnya aksesibilitas komunikasi di ruang publik. Ia mencontohkan, jika seseorang berkunjung ke museum, seharusnya tersedia layanan bahasa isyarat, agar teman tuli juga dapat memahami makna di balik setiap instalasi atau karya seni yang ditampilkan.

"Itu penting banget supaya semua orang bisa menikmati pengalaman yang sama,” tambahnya.

Ketertarikan Dika terhadap bahasa isyarat sebenarnya sudah muncul sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, ia belajar secara aotodidak melalui internet tentang American Sign Language (ASL), karena informasi tentang Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) masih sulit ditemukan. 

Ia mulai bisa mengeja dan menggunakan beberapa kata dalam ASL, meski awalnya hanya karena rasa ingin tahu. Baru sekitar satu tahun terakhir, langkahnya menjadi lebih serius.

Dika kemudian mengikuti kelas BISINDO yang diadakan oleh Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO), lembaga yang berfokus mengajarkan bahasa isyarat Indonesia.

"Awalnya aku nggak paham sama sekali, tapi lama-lama aku bisa ikut ngobrol dan bercanda sama teman-teman Tuli,” cerita Dika yang juga aktif membagikan konten berbahasa isyarat di akun Instagram-nya, @cafaizi.

Membawa isu inklusi ke ajang sebesar Abang None, tentu bukan hal mudah. Dika mengakui bahwa kesadaran tentang pentingnya aksesibilitas informasi bagi teman tuli masih rendah.

"Waktu aku minta ada juru bahasa isyarat di malam final, responnya masih minim. Jadi aku harus beberapa kali mengangkat isu ini, bahkan sampai mencari juru bahasa isyarat sendiri di sela-sela karantina,” tuturnya.

Membuka Ruang Lebih Luas 

Kerja keras itu akhirnya membuahkan hasil. Dika berhasil menghadirkan ruang bagi komunitas tuli di panggung yang biasanya hanya menampilkan kemeriahan budaya dan pariwisata.

"Aku ingin mereka juga bisa ikut menikmati acara itu. Itu panggung untuk semua, bukan hanya untuk sebagian,” tegasnya.

Dika percaya bahwa generasi muda memiliki peran besar dalam membangun Jakarta yang lebih inklusif. Baginya, perubahan tidak harus dimulai dari hal besar.

"Anak muda sekarang nggak bisa jauh dari media sosial. Kita bisa mulai dari hal sederhana, misalnya menikmati dan membagikan konten dari kreator tuli,” ujarnya.

Melalui langkah kecil itu, Dika yakin empati bisa tumbuh secara alami. Karena ketika kita tahu tantangan yang mereka hadapi sehari-hari, kepedulian pun lahir, dan dari kepedulian, muncul keinginan untuk ikut mencari solusi.

Ke depan, Dika berencana menciptakan ruang aman bagi teman-teman tuli untuk bercerita dan berekspresi menggunakan bahasa isyarat. Ia membayangkan tempat di mana komunitas tuli dan dengar, bisa saling berinteraksi tanpa rasa canggung.

"Kalau nggak paham bahasa isyarat nggak apa-apa, karena di sana kita belajar bareng. Akan ada juru bahasa isyarat yang membantu menjembatani,” jelasnya.

Ia juga berencana menggandeng kreator konten dan figur publik untuk menyebarkan penggunaan bahasa isyarat ke audiens yang lebih luas. Bagi Dika, bahasa isyarat menjadi alat komunikasi dan simbol keterbukaan hati dan wujud empati. Ia percaya bahwa inklusivitas adalah tentang berbagi ruang agar setiap orang bisa didengar, baik dengan suara maupun gerakan tangan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar