c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

05 November 2024

08:59 WIB

Film 17 Surat Cinta, Gambaran Nyata Deforestasi Kawasan Konservasi

17 Surat Cinta diputar perdana di Cali, Kolombia, bertepatan dengan Konferensi Para Pihak Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati (COP 16). Dokumenter ini sebagai gambaran nyata deforestasi.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Rendi Widodo

<p>Film&nbsp;<em>17 Surat Cinta</em>, Gambaran Nyata Deforestasi Kawasan Konservasi</p>
<p>Film&nbsp;<em>17 Surat Cinta</em>, Gambaran Nyata Deforestasi Kawasan Konservasi</p>

Personel Polri berjalan melintas di salah satu lokasi pembalakan liar di hutan Pegunungan Seulawah, Pemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. ANTARAFOTO/Ampelsa

JAKARTA - Film dokumenter 17 Sweet Letters atau 17 Surat Cinta menggugah kesadaran penonton akan masalah serius yang dihadapi kawasan konservasi Indonesia. Film ini menyoroti perjuangan masyarakat sipil yang berusaha melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati Indonesia dari ancaman deforestasi, terutama di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil, Aceh, yang dihuni oleh spesies megafauna seperti badak, gajah, harimau, dan orangutan sumatera.

Permasalahan ini bermula dari laporan masyarakat sipil yang telah mengirimkan 17 surat kepada pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan, terkait pembalakan liar dan ekspansi perkebunan sawit ilegal di Rawa Singkil. Ironisnya, meskipun SM Rawa Singkil tergolong sebagai wilayah yang dilindungi, penegakan hukum di area ini sangat lemah.

Dampaknya, selain kerusakan ekosistem, kehidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada hutan ini juga terancam. Film ini mengangkat dilema besar, di mana meskipun kawasan konservasi dirancang untuk melindungi keanekaragaman hayati, sering kali pengelolaan dilakukan pemerintah justru kurang efektif.

National History Museum memperingatkan bahwa kerusakan pada wilayah konservasi di seluruh dunia terus meningkat, termasuk di Indonesia. Peneliti lingkungan seperti Farwiza Farhan dari Yayasan HAkA dan Arie Rompas dari Greenpeace, dalam film ini mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menangani isu ini.

Deforestasi, menurut mereka, tak hanya melibatkan kerusakan hutan, tetapi juga pengabaian hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Salah satu contoh konkret yang diangkat dalam film ini adalah Taman Nasional Tesso Nilo di Riau yang justru mengalami deforestasi besar-besaran setelah ditetapkan sebagai taman nasional.

Fenomena serupa terjadi di SM Dangku, Sumatera Selatan, di mana lebih dari separuh hutan alamnya hilang. Masalah ini diperparah dengan peningkatan deforestasi secara nasional dalam dua tahun terakhir, termasuk di kawasan konservasi, sebagian besar dipicu oleh proyek strategis nasional dan izin konversi hutan.

17 Surat Cinta memberikan gambaran nyata bagaimana perusakan hutan di kawasan konservasi Indonesia terus berlanjut, bahkan di bawah perlindungan hukum yang kuat. Melalui pemutaran perdananya di Cali, Kolombia, bertepatan dengan Konferensi Para Pihak Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati (COP 16), film ini mengajak penonton dari seluruh dunia untuk menyadari pentingnya tindakan nyata dalam melindungi hutan dan keanekaragaman hayati.

Film ini juga memberikan panggilan kuat kepada pemerintah Indonesia untuk segera bertindak menghentikan deforestasi di kawasan konservasi. Dengan penayangan program nonton bareng di sejumlah kota di Indonesia dan YouTube, 17 Surat Cinta berupaya agar pesan pentingnya menjangkau lebih banyak orang.

Hal ini sebagai pengingat bagi setiap umat manusia bahwa janji perlindungan lingkungan harus diwujudkan, bukan hanya sebatas slogan semata.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar