07 Desember 2022
17:17 WIB
Penulis: Tristania Dyah Astuti
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Perserikatan Bangsa-Bangsa memprediksi jumlah populasi dunia akan bertambah mencapai 10 miliar orang pada tahun 2050 mendatang. Jumlah ini menimbulkan kekhawatiran terhadap ancaman kesehatan manusia dan lingkungan sebagai faktor utama penunjang kehidupan.
Epidemiolog, dan peneliti Indonesia dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman menjelaskan peningkatan jumlah populasi akan diiringi dengan meningkatnya kebutuhan makanan. Sementara, untuk memenuhi tingginya permintaan tersebut, pertanian, perkebunan, dan peternakan akan membutuhkan lahan yang lebih banyak dan luas.
“Artinya lahan lahan yang saat ini menjadi ruang hijau seperti hutan akan berkurang, otomatis ini berpengaruh terhadap kelangsungan hidup hewan liar,” terang Dicky dihubungi Validnews, Rabu (7/12).
Habitat yang rusak akan memaksa hewan luar untuk berpindah termasuk hidup semakin dekat dengan pemukiman masyarakat. Selain membahayakan keselamatan, keberadaan hewan liar berisiko meningkatkan penyakit zoonosis atau penularan dari hewan ke manusia.
“Maka, potensi terjadinya pandemi di masa depan akan semakin besar dan sering” terangnya.
Dicky menambahkan, data ilmiah menunjukan bahwa semakin banyaknya alih fungsi atau berkurangnya lahan hijau semakin besar pula potensi penyakit baru muncul. Dalam lima dekade terakhir ujarnya, jumlah penyakit dari patogen baru meningkat pesat, jumlahnya jauh lebih banyak dari pada tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, berkurangnya ruang hijau akan memperparah kerusakan ekosistem dan menyebabkan ketidakseimbangan alam. Hal ini tentu akan memicu dampak perubahan iklim yang lebih parah seperti banjir, tanah longsor, angin kencang, gempa bumi dan tsunami.
Ancaman ini dapat terjadi jika pertumbuhan populasi tidak ditekan sejak dini. Menurutnya, pemerintah perlu menggencarkan program pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk lewat cara-cara persuasif, seperti program berencana.
Masyarakat harus sadar benar konsekuensi memiliki anak dalam jumlah banyak, yang kini tidak hanya bersoal tentang kesiapan mental dan finansial namun masa depan dan keberlangsungan hidup anak dan cucu di masa depan.
Program pengendalian pertumbuhan penduduk di Indonesia cukup sulit dijalankan, hal ini berkaitan dengan status pendidikan masyarakat.
Dicky menjelaskan, data ilmiah menunjukan jika suatu negara penduduknya mayoritas memiliki pendidikan yang tinggi yakni rata-rata di atas SMA bahkan sarjana maka pengendalian jumlah penduduk lebih mudah dilakukan.
Masyarakatnya akan memiliki kesadaran dalam membangun rumah tangga yang sehat jasmani dan rohani, sehingga mereka bisa memperhitungkan jumlah anak yang ingin dimiliki secara bijak.
“Bedanya di Indonesia rata-rata masyarakatnya tingkat pendidikan terakhir SMP, ini jadi tantangan,” tuturnya.
Akan tetapi, upaya mengendalikan jumlah penduduk sejatinya harus dilakukan secara global dan ditinjau dari berbagai aspek.