07 Februari 2023
14:15 WIB
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendapat laporan kasus baru gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA), setelah tidak adanya kasus baru sejak awal Desember tahun lalu.
Terdapat dua kasus yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Penambahan kasus tercatat pada tahun ini, satu kasus konfirmasi GGAPA dan satu kasus suspek.
Menanggapi hal tersebut, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mendesak pemerintah untuk menetapkan kasus gagal ginjal akut yang menyebabkan kematian anak sebagai kejadian luar biasa (KLB).
"Itulah, kenapa kasus gagal ginjal akut tidak juga ditetapkan sebagai KLB. Karena kasus ini sudah memenuhi kriteria untuk bisa ditetapkannya KLB," ujar Dicky Budiman kepada Validnews, Selasa (7/2).
Padahal, Dicky menilai penetapan KLB akan memudahkan pemerintah dalam menangani kasus tersebut.
Terlebih, bahwa kandungan yang ada di dalam obat sirup juga memenuhi syarat penetapan KLB sesuai Permenkes Nomor 1501 Tahun 2010 tentang KLB.
"Kalau mengikuti prosedur KLB, pemerintah diperbolehkan membentuk satuan tugas yang bisa mendapatkan data akurat terkait penyebab utamanya yang menyebabkan penambahan kasus gagal ginjal akut," tutur Dicky.
Menurutnya, dari sisi indikator hingga kejadian sudah memenuhi kriteria agar pemerintah segera menetapkan kasus tersebut menjadi KLB. Mulai dari sisi karakteristik dan obat yang dikonsumsi itu sangatlah umum, dalam arti obat tersebut dijual bebas.
Untuk itu, Dicky sangat heran melihat seluruh kriteria yang sesuai untuk dijadikan KLB justru tidak segera ditentukan. Pasalnya, kejadian seperti ini sudah berulang dan diartikan menunjukkan masalah yang ada di bawah atau permukaan banyak potensinya.
"Akibatnya yang muncul adalah lemahnya komperhensifnya penyelesaian karena penyelesaian yang dilakukan pemerintah saat ini tidak mengarah ke masalah intinya," singgungnya.
Selain pemerintah, kesadaran masyarakat untuk berkontribusi tingginya jumlah kasus dan angka kematian juga masih rendah, sehingga mereka lebih memilih untuk mengobati sendiri kalau sakit.
Hal itu mengacu pada health seeking behavior yang mana di Indonesia termasuk lemah di antara negara-negara ASEAN. Dicky berpendapat bahwa antara layanan kesehatan dan tingkat kesadaran masyarakat yang sangat berkontribusi hingga akhirnya terlambat ditangani.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa kasus tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dari setiap level. Namun, dia menyebutkan yang menjadi masalahnya adalah sense of crisis tidak terbangun di pemerintahan.
Hingga akhirnya karena tidak ada penyelesaian, menimbulkan saling tunjuk. Padahal ini adalah PR terbesar yang harus diselesaikan dan belum terlambat karena kasusnya masih hangat dan bisa dijadikan pembelajaran.