28 Maret 2024
19:09 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - demajors, perusahaan rekaman dan distributor musik Indonesia merayakan 24 tahun kiprahnya. Label musik satu ini melampaui tahun-tahun panjang yang konsisten sejak berdiri di Jakarta pada tahun 2000 silam.
demajors merayakan hari jadi ke-24 dengan keinginan yang tidak muluk-muluk. David Karto, pendiri demajors Records mengungkapkan, entitas tersebut hanya diharapkan bisa tumbuh terus hingga tahun-tahun berikutnya dan konsisten menjalankan peran sebagai bagian dari ekosistem industri musik Indonesia.
“Intinya kita berproses. Kita mencapai 24 tahun, bukan perjalanan yang mudah, banyak dinamikanya. Dan mudah-mudahan kita masih dikasih kesempatan 24 tahun berikutnya,” ungkap David dalam acara ‘party´ulang tahun ke-24 demajors di bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan, Rabu (27/3).
Ungkapan David Karto tipikal ‘pemain kunci’ yang tak banyak berbicara hal-hal muluk, hanya bergerak, seperti yang ia tunjukkan di demajors selama ini. Namun jika menengok perjalanannya, demajors telah tumbuh sangat baik hingga menjadi salah satu penggerak industri musik Indonesia dalam dua dekade terakhir.
Perusahaan musik dengan basis komunitas kuat ini sejatinya menyimpan sederet misi dalam industri musik Indonesia. Salah satunya adalah misi yang tampak mustahil hari ini, yaitu mempertahankan dan menghidupkan lagi rilisan fisik. Yap, demajors adalah perusahaan musik yang hingga saat ini terus bersetia merilis album-album fisik di tengah tren rilisan digital yang mendominasi.
Merujuk data, demajors telah menaungi lebih dari 750 katalog album musik. Melalui prosesnya, ratusan ribu keping CD dan ribuan keping piringan hitam karya berbagai musisi Indonesia dari beragam genre musik telah didistribusikan ke pasaran luas.
Rilisan mereka utamanya dalam bentuk cakram padat digital dan piringan hitam, kini memiliki jaringan distribusi hingga Malaysia. Rilisan mereka yang terbaru termasuk album Aurorae dari HMGNC, Indahnya Sepi dari Candra Darusman, dan band The Adams dengan ketiga albumnya yaitu The Adams, V2.05, serta Agterplaas.
Yang akan datang, ada seri rilisan piringan hitam mencakup album Di Dalam Jiwa (David Bayu), Jalan Enam Tiga (Efek Rumah Kaca), Do The Math (Indra Lesmana), dan Parenduan (Lorjhu’).
David lainnya di demajors, David Tarigan yang mengisi peran sebagai ‘kurator’ untuk rilisan-rilisan demajors, mengatakan bahwa rilisan fisik akan terus jadi salah satu wajah perusahaan mereka. Meski di Indonesia sendiri rilisan fisik relatif masih (atau sudah?) kurang populer, menurutnya tren untuk itu kini sedang tumbuh di seluruh dunia.
“Orang bilang fisik ditinggalkan, terutama mungkin di Indonesia. Tapi di global itu nggak pernah mati, Bahkan sekarang balik lagi trennya. Mungkin dari saat pandemi, piringan hitam alami peningkatan penjualan di dunia, dan tren itu juga sampai ke sini,” kata David Tarigan.
Tren kembalinya popularitas piringan hitam sebenarnya masih sulit ditelisik, khususnya di Indonesia. Belakangan, beberapa musisi berhasil menjual piringan hitam mereka dengan hasil yang bagus, bahkan fantastis. Misalnya album Keterikatan-Keterikatan NOAH yang dibeli Rafi Ahmad seharga Rp260 juta.
Namun itu hanya kasus per kasus saja, belum menggambarkan fenomena yang massif di industri musik. Banyak musisi merilis piringan hitam akhirnya hanya sekadar bentuk selebrasi, bukan sebagai bentuk strategi komersil yang bisa diharapkan. David Tarigan pun mengamininya.
Namun tren itu mungkin memang akan tumbuh lebih kuat. Apalagi belum lama ini orang-orang melihat bintang musik Ed Sheeran datang ke Indonesia lalu berbelanja piringan hitam di Pasar Santa.
Menangkap Lokalitas Musik
Selain rilisan fisik, hal lainnya yang menjadi perhatian demajors adalah ihwal kekaryaan, di mana saat ini musik Indonesia disebut sedang tumbuh dengan menggembirakan. Teknologi produksi semakin mumpuni, begitu pun akses promosi semakin tersedia bagi semua orang.
Era digital membawa konsekwensi baru, yaitu makin luasnya lanskap industri musik Indonesia yang bisa diapresiasi semua orang. Lewat gawai, Anda yang di Jakarta bisa dengan mudah mengakses karya dari seorang musisi yang belum pernah terdengar namanya yang berasal dari suatu daerah. Menarik, bukan?
David Tarigan dan timnya di demajors berupaya menangkap momentum baik ini dengan memperluas perhatian pada musik-musik dari penjuru Indonesia. Sentralisme industri coba dicairkan dengan menyisir bakat-bakat lokal yang ada, untuk kemudian diberi ruang untuk distribusi, promosi dan apresiasi yang lebih layak.
Khusus untuk misi tersebut, demajors meluncurkan unit label rekaman baru, bernama Bahasa Ibu Records atau BIR. Lini bisnis yang diluncurkan pada 2023 lalu ini berfokus pada karya musik populer yang memiliki narasi tradisi lokal Indonesia.
Lewat BIR demajors menemukan Lorjhu’, unit musik rock asal Madura yang unik. Mereka merilis album Parenduan, menyajikan musik baru yang sangat berbeda dengan musik populer Indonesia selama ini.
David Tarigan menyebut, Indonesia sejatinya punya banyak musisi dengan identitas musik lokal yang layak mendapat sorotan di pusaran industri nasional, bahkan internasional. Seperti Lorjhu’ yang memperkenalkan kekayaan bunyi-bunyian di Madura, ada banyak musisi lainnya yang juga tumbuh dengan daya tarik lokalitas masing-masing.
Untuk itulah BIR didirikan, misinya memberi ‘lampu sorot’ bagi talenta-talenta musik dari penjuru Indonesia yang memang sebenarnya layak mendapat apresiasi luas. Sudah saatnya, Jakarta atau Jawa tak lagi jadi tolok ukur satu-satunya tentang perkembangan musik Indonesia.
“Pada dasarnya kita melihat masih ada kekosongan untuk itu. Mereka belum dapat sorotan, ini memang kaitannya sama industri kita yang masih terpusat di jawa. Tapi sekarang ini teknologi sudah maju, informasi yang kita dapatkan di sini juga didapatkan sama teman-teman di daerah, dan mereka berproses dan bisa ciptakan karya-karya yang keren. Itu yang kita coba kasih tahu ke khalayak lebih luas,” tutur David tarigan yang menjabat A&R demajors.
Misi demajors untuk menangkap keragaman musik Indonesia tidak berangkat dari mimpi siang bolong. Ada alasan kenapa potensi itu hendak dikembangkan, yaitu menguatnya tren tentang ‘yang lokal’ di kalangan anak muda hari ini, terutama gen Z. Dengan kata lain, ada pasar yang hendak disasar.
Misi penting demajors di atas menemukan aktualisasi yang lebih nyata ketika entitas ini juga punya festival sendiri. Synchronize Fest yang dianggap sebagai salah pelopor festival musik lokal populer, otomatis menjadi panggung bagi demajors untuk memperkenalkan potensi lokal tersebut.
Powered by Froala Editor