c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

04 Juli 2025

09:48 WIB

Dampak Toxic Masculinity Terhadap Kesehatan Mental Dan Fisik Pria

Studi mengungkapkan, pria yang sangat menjunjung nilai-nilai maskulinitas tradisional dua kali lebih jarang memeriksakan kesehatannya dibanding mereka yang berpandangan lebih moderat.  

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p dir="ltr" id="isPasted">Dampak <em>Toxic Masculinity</em> Terhadap Kesehatan Mental Dan Fisik Pria</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Dampak <em>Toxic Masculinity</em> Terhadap Kesehatan Mental Dan Fisik Pria</p>

Ilustrasi aksi tolak toxic masculinity. Shutterstock/Sundry Photography.

JAKARTA - Toxic masculinity atau maskulinitas toksik adalah cara berpikir dan bersikap yang merugikan, berasal dari anggapan lama bahwa laki-laki harus selalu kuat dan berkuasa. Masalahnya, pandangan ini sering dibawa secara berlebihan hingga menjadi tidak sehat.

Kondisi ini mendorong banyak pria untuk menekan emosi, menolak bantuan, dan selalu tampil tangguh. Dampaknya bisa sangat merusak, baik secara mental maupun fisik. Pria yang terpengaruh pola pikir ini kerap merasa harus menyembunyikan perasaan sedih, takut, atau cemas karena dianggap lemah.

Salah satu akibatnya adalah munculnya perilaku yang merendahkan perempuan atau dominan secara tidak sehat dalam relasi. Perilaku ini sering kali dilandasi oleh keinginan untuk mempertahankan citra sebagai pria kuat dan berkuasa, namun justru melukai orang lain secara emosional maupun psikologis.

Menurut laman Verywell Mind, budaya populer dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa maskunalitas toksik biasanya berpijak pada tiga anggapan utama. Pertama, laki-laki harus terlihat tangguh, kuat secara fisik, dan tidak menunjukkan emosi.

Kedua, mereka tidak boleh bersikap lembut atau menunjukkan sifat yang dianggap feminin, seperti menangis atau meminta bantuan. Ketiga, laki-laki diharapkan mengejar kekuasaan, status, dan uang untuk mendapatkan penghormatan.

Pandangan semacam ini memicu glorifikasi terhadap kebiasaan yang sebenarnya tidak sehat. Contohnya, anggapan bahwa merawat diri atau pergi ke dokter adalah hal yang hanya dilakukan perempuan.

Tak heran jika banyak pria menunda bahkan menghindari pemeriksaan kesehatan. Sebuah studi yang diterbitkan dalam American Journal of Men’s Health pada tahun 2011 menemukan bahwa pria yang sangat menjunjung nilai-nilai maskulinitas tradisional dua kali lebih jarang memeriksakan kesehatannya dibanding mereka yang berpandangan lebih moderat.

Ini menunjukkan bahwa pandangan maskulin yang kaku bisa menjadi penghalang serius dalam menjaga kesehatan. Maskunalitas toksik juga memberi stigma negatif terhadap masalah kesehatan mental.

Gangguan seperti depresi, kecemasan, atau penggunaan zat adiktif sering dianggap sebagai bentuk kelemahan yang tidak pantas dimiliki laki-laki. Sayangnya, pria dengan pandangan maskulinitas tradisional justru menunjukkan sikap paling negatif terhadap layanan kesehatan mental. 

Akibatnya, banyak dari mereka menolak membicarakan perasaan, menghindari percakapan tentang masalah pribadi, dan akhirnya terjebak dalam kesepian serta keterasingan. Keengganan untuk meminta bantuan inilah yang memperparah risiko krisis kesehatan mental yang mereka alami.

Menyadari hal ini, American Psychological Association (APA) akhirnya mengeluarkan pedoman baru dalam praktik psikologi untuk menangani laki-laki dan anak laki-laki. Berdasarkan riset lebih dari 40 tahun, APA menyimpulkan bahwa maskulinitas tradisional bersifat merusak secara psikologis.

Baca juga: Kehidupan Seks Yang Sehat Bisa Menjaga Daya Ingat

Penanaman nilai bahwa anak laki-laki harus menekan emosinya terbukti menyakiti mereka, baik secara internal maupun eksternal. Bahkan, studi dengan metode time diary menunjukkan bahwa laki-laki sebenarnya menikmati merawat anak sama seperti perempuan.

Perbedaan dalam cara mengekspresikan emosi antara anak laki-laki dan perempuan pun relatif kecil dan tak selalu sesuai stereotip. Melalui pedoman ini, APA berharap para psikolog dapat membantu laki-laki membebaskan diri dari belenggu aturan maskulinitas yang lebih banyak membawa luka daripada manfaat.

Sebab menjadi laki-laki sejati seharusnya bukan berarti menekan perasaan, menolak bantuan, atau terus memaksakan diri menjadi kuat. Justru harus menjadi jujur pada diri sendiri dan terbuka terhadap orang lain.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar