c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

06 September 2021

08:05 WIB

Dampak Dan Risiko Biologis Memilih Childfree

Jangan anggap kalau tidak punya anak itu bebas dari risiko. Pengetahuan kesehatan reproduksi juga penting untuk dibangun sebelum memilih hidup tanpa anak

Dampak Dan Risiko Biologis Memilih <i>Childfree</i>
Dampak Dan Risiko Biologis Memilih <i>Childfree</i>
Ilustrasi. Pasangan muda yang menolak untuk memiliki anak. Shutterstock/dok

JAKARTA – Enggan direpotkan anak, punya penyakit bawaan atau khawatir dengan biaya hidup dan masa depan anak, menjadi beberapa faktor yang membuat sejumlah orang memilih hidup tanpa anak alias childfree. Belakangan, sikap hidup ini bahkan mulai menjadi tren.

Ya, hidup adalah pilihan. Memilih untuk yak memiliki anak pun suatu pilihan personal yang harus dihormati. Namun, alih-alih hanya mengikuti tren, sudah sebaiknya memperbanyak wawasan dan pengetahuan dari berbagai literatur, untuk menambah referensi mengena hak tersebut. 

Termasuk dampak dan risikonya. Ya, memilih jalan hidup seperti ini ternyata tak lepas dari dampak dan risiko. 

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) mengatakan, pilihan hidup menjalani childfree-- atau menikah tapi memilih tidak punya anak--memiliki sejumlah dampak kesehatan, hingga risiko biologis, terutama bagi wanita.
 
"Seberapa kita mau memenuhi hak kita, tetap perlu diimbangi dengan seberapa dalam kita mempertimbangkan dan memutuskan hak tersebut dengan mengetahui konsekuensi dan plus-minusnya," kata Hasto seperti dikutip dari Antara, Minggu (5/9).

"Jangan hanya karena kita bebas menentukan, tapi tidak mengetahui risikonya. Banyaklah membaca, karena lebih baik tahu duluan sebelum mengambil keputusan," imbuhnya.

Dari sisi biologis, ia mengatakan, kebanyakan para wanita yang mengidap tumor dan kanker rahim, adalah mereka yang tidak memiliki anak atau yang memiliki hanya satu orang anak.

Mengutip laman Cancer.org, kanker rahim dapat menyerang wanita tanpa memandang usia. Namun lebih sering menyerang mereka yang tidak pernah memiliki anak, atau mereka yang memiliki anak pertama setelah usia 35 tahun.

"Mereka yang mengidap tumor rahim, (risiko) lebih cenderung meningkat pada mereka yang nuliparitas (tidak punya anak, atau punya anak satu)," tuturnya. 

Begitu pula dengan tumor dan kanker payudara. Menurutnya, tumor dan kanker payudara cenderung banyak menyerang wanita yang tidak menyusui.
 
Mengutip laman Cancer Center, wanita yang belum memiliki anak, atau yang memiliki anak pertama setelah usia 30 tahun, mungkin memiliki peluang sedikit lebih tinggi terkena kanker payudara. Itu karena jaringan payudara terpapar lebih banyak estrogen untuk jangka waktu yang lebih lama.
 
Selain itu, ada juga potensi kista endrometrosis, di mana sekitar 30–50% wanita yang mengalami endometriosis, biasanya juga mengalami gangguan kesuburan atau infertilitas.
 
Hanya saja, meski endometriosis dapat mengganggu kesuburan, ada beberapa solusi yang mungkin bisa dijalani pasien agar bisa hamil, tergantung pada usia dan tingkat keparahan endometriosisnya.
 
"Oleh karena itu, jangan anggap kalau tidak punya anak itu bebas dari risiko. Pengetahuan kesehatan reproduksi perlu dibangun, terlebih karena perempuan siklusnya jalan terus; setiap bulan telurnya kecil, membesar, kemudian pecah dan menstruasi," jelasnya.
 
"Ketika wanita pernah hamil, siklus itu disetop selama 9 bulan, dan itu ada baiknya--mengistirahatkan rahim dari putaran siklus hormon itu," ujar mantan Bupati Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta tersebut menambahkan.

Karena itu, ia menekankan, penting bagi wanita yang memutuskan childfree untuk memperkaya wawasan terkait dampak dan risiko bagi tubuhnya.
 
"Seandainya mereka ingin childfree dan tahu risikonya dan kontrol secara baik. Seperti misalnya payudara dikontrol secara rutin, rahimnya di-scanning secara periodik dari penyakit-penyakit yang biasanya datang kepada mereka yang tidak hamil,” bebernya.

Hal-hal seperti itu perlu menurutnya perlu diketahui, untuk mengimbangi pendapat childfree karena terpengaruh oleh emosional. “Tapi kemudian tidak tahu risiko-risikonya. Itu perlu diingatkan," imbuh pria lulusan Fakultas Kedokteran UGM itu.
 
Ia juga mengusulkan bagi pasangan yang masih muda, sehat, dan mampu, untuk melakukan adopsi anak. "Usul saya, kalau mereka sehat dan mampu, mungkin bisa adopsi (anak). Karena banyak dari masyarakat yang anaknya banyak tapi tidak mampu (memenuhi kebutuhan). Kalau punya rezeki, silahkan," ujarnya.

 

Ilustrasi melahirkan anak. dok. shutterstick

 

Banyak Faktor
Sebelumnya, Psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener, M.Psi., Psi, mengatakan, terdapat beberapa faktor yang membuat pasangan suami-istri memilih untuk tidak memiliki anak (childfree/voluntary childlessness). Di antaranya adalah finansial yang dirasa belum mumpuni untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

“Lalu, ada penyakit bawaan atau kronis, kesiapan menjadi orang tua, informasi atau wawasan seputar pernikahan dan membentuk keluarga yang simpang siur, trauma masa kecil, dan lainnya," kata Samanta baru-baru ini. 

Lebih lanjut, bukan hanya faktor kesiapan secara materi, Samanta mengatakan faktor kesiapan secara mental juga bisa mempengaruhi keputusan untuk childfree. Terutama di masa pandemi yang penuh dengan ketidakpastian.
 
"Jika keputusan untuk childfree karena ada faktor kesehatan mental maka perlu memahami bahwa healing is possible.Sehingga jika di kemudian hari setelah proses healing selesai ingin memiliki anak, ini mungkin dilakukan," ujar Samanta.
 
"Begitu pula jika karena faktor finansial, menunda memiliki anak hingga di rasa kondisi finansial mumpuni juga dapat dilakukan secara bijak," imbuhnya.
 
Ketika disinggung mengenai dampak pilihan childfree, seperti misalnya mempengaruhi alasan pasangan untuk bercerai, ia berpendapat, hingga saat ini belum ada data yang menyebutkan childfree jadi alasan perceraian di Indonesia.

"Meskipun tidak menutup kemungkinan jika di kemudian hari bisa saja ini jadi pemicu keretakan hubungan pernikahan, karena adanya perubahan keinginan. Misalnya setelah 10 tahun menikah yang di awal sepakat childfree tapi seiring berjalannya waktu salah satu pasangan jadi ingin memiliki anak," jelasnya.
 
Namun, yang terpenting, menurut Samanta, keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak merupakan sesuatu yang harus dipikirkan secara matang oleh kedua belah pihak.
 
 "Tidak memiliki anak merupakan pilihan yang perlu matang dipertimbangkan dan disepakati bersama. Sehingga tidak ada pihak yang terpaksa, dalam hal ini suami dan istri," kata Samanta.
 
"Sejatinya, dalam menjalani pernikahan memang perlu direncanakan segala sesuatunya secara matang. Demi visi dan misi menjalin hubungan pernikahan dan membentuk keluarga yang harmonis serta sejahtera," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar