18 Oktober 2023
20:55 WIB
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA – Pada 5 Desember 1956, Nelson Mandela ditahan atas tudingan aksi menggulingkan pemerintahan apartheid yang saat itu berkuasa di Afrika Selatan.
Persidangan atas tuntutan yang berlangsung di Penjara Johannesburg saat itu, termasuk salah satu peristiwa kelam dalam perjuangan kaum anti-apartheid yang diwarnai dengan unjuk rasa massal yang menuntut keadilan untuk Nelson.
“Hari ini adalah titik balik bagi hidup saya, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan kekejaman polisi Johannesburg. Kekerasan yang hanya mempertebal rasa permusuhan antara kami dan pemerintah,” ujar Nelson Mandela seperti dikutip dari buku 16 Pahlawan Perdamaian Paling Berpengaruh Di Dunia yang ditulis Dr. Morton Grosser.
“Bukankah hal itu yang Anda inginkan?” tanya salah seorang hakim pengadilan.
“Kami tidak pernah menginginkan permusuhan terjadi, dengan siapapun,” ujar Nelson lagi.
Dalam sebuah ruang sidang yang penuh sesak dengan kipas angin yang berputar lambat di tengah ruangan, Nelson Mandela tampak mengungkapkan argumen dan pembelaannya dengan bahasa dan pembicaraan khas orang terpelajar.
Di salah satu sudut ruang persidangan, tampak seorang perempuan muda yang bahkan belum menginjak usia 20 tahun memandang Nelson Mandela dengan penuh rasa kagum.
Nomzamo Winifred Zanyiwe Madikizela, atau yang saat itu dikenal dengan nama Winnie Nomzano, tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya selama bertahun-tahun kepada sosok pria berkulit hitam yang saat itu berstatus sebagai ‘kriminal negara’.
Bahkan perasaan yang muncul di persidangan saat itu sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai rasa kagum. Winnie menyadari, sejak saat itu getaran yang ada di hatinya layak disebut sebagai rasa cinta yang mendalam.
Keduanya, sejatinya sudah lama mengenal satu sama lain. Sejak awal bergabung sebagai aktivitas Liga Wanita Afrika, Winnie, melihat Nelson sebagai patriot yang menawan.
Hal inilah yang membuatnya tak pernah ragu untuk berjuang mewujudkan kemerdekaan bagi rakyat Afrika di samping lelaki yang ia kagumi.
Pernikahan Dramatis Dan Keputusan Tragis
Pada persidangan yang berlangsung di Johannesburg Nelson Mandela memang tidak dijatuhi hukuman tahanan. Dia dibebaskan dengan berbagai syarat, salah satunya dilarang berbicara dengan lebih dari satu orang dan gerak-geriknya terus diawasi.
Akan tetapi, tentu itu tidak menjadi penghalang, bersama partnernya Oliver Tambo, Nelson terus melakukan upaya pergerakan bawah tanah dan bergerilya untuk mengupayakan penghapusan politik apartheid.
Hingga pada suatu malam pada Juni, 1958, tepat saat Winnie berusia 20 tahun, seorang lelaki dari Transkei datang menjemput perempuan itu di kediamannya.
“Saya diminta menjemputmu, Nelson Mandela akan menikahimu malam ini,” ujar pria tersebut.
Winnie membelalak dan terkejut tak percaya. Setelah memastikan jika pernikahan akan berlangsung di Transkei, Winnie bersiap berangkat dengan melakukan ‘penyamaran’ demi menikah dengan pujaan hatinya.
Bukan hal mudah bagi para aktivis seperti Winnie, Nelson, dan lainnya untuk bergerak dengan leluasa di tengah gejolak dan kungkungan politik yang saat itu menguasai Afrika Selatan. Terlebih untuk menggelar sebuah pernikahan.
Dengan terpaksa Winnie harus menjemput momen pernikahannya menaiki mobil ambulans dengan kerasnya suara sirine yang memecah jalan dan keheningan di sepanjang jalan.
Setiap melewati pos penjagaan, Winnie akan merintih-rintih sambil memegangi perutnya yang mendadak menggembung untuk mengelabui petugas.
Setelah melalui satu jam perjalanan ke Transkei, kedatangan Winnie langsung disambut oleh tepuk tangan dan sorak-sorai orang-orang yang sudah menanti di sana.
Ketika turun dari ambulans dan melepaskan atribut penyamarannya sebagai wanita hamil, senyum langsung merekah di wajah Winnie begitu ia melihat Nelson sudah menyambutnya dengan senyum sambil membuka kedua tangan lebar-lebar.
Keduanya berpelukan, melangsungkan pernikahan, dan orang-orang yang ikut merayakan nampak semakin riuh bertepuk tangan merayakan kebahagiaan, walau hanya sesaat.
Tidak berlangsung lama, kurang dari tiga bulan setelah pernikahan yang terjadi, Nelson kembali diringkus saat dirinya sedang melakukan pidato di depan ribuan pendukung yang menyaksikannya dengan penuh semangat.
Gelora perjuangan mendadak berubah menjadi tragedi ketika tembakan memberondong diarahkan ke kerumunan massa yang menewaskan setidaknya 69 korban orang kulit hitam.
Nelson kembali ditangkap pada 1962, kemudian pada 1964 dirinya kembali diadili di ruang persidangan pengadilan Pretoria. Winnie hadir dan menyaksikan suaminya sembari berdiri di anak tangga bersama dengan sejumlah pendukung lainnya.
Sama seperti persidangan yang berlangsung di Johannesburg, Nelson kembali menyuarakan pemikirannya akan kemerdekaan di Afrika Selatan yang ia perjuangkan.
“Sudah selayaknya kami memperoleh kemerdekaan. Bukan kemerdekaan yang berarti pengusiran kepada kaum kulit putih. Bukan itu maksud kami, tetapi kemerdekaan akan hak yang sama dengan bangsa kulit putih, hak yang sama sebagai manusia, tanpa memperhatikan warna kulit,” cecar Nelson di hadapan para Hakim.
Pembelaan yang diucapkan Nelson memantik semangat dari pendukungnya di ruang persidangan. Mendengarkan ungkapan ‘pemimpin’ yang mereka hormati, sorak-sorai dan tepuk tangan terdengar bergemuruh.
Namun setelah para juri meninggalkan ruang sidang selama dua jam lamanya, mimpi buruk tidak hanya terjadi bagi pejuang anti-apartheid, namun juga bagi Winnie sebagai seorang istri.
“Seluruh juri sepakat menjatuhkan hukuman berat, sebagai contoh bagi pembangkang lainnya. Dengan suara bulat, juri menjatuhkan hukuman seumur hidup…”
Setelahnya, perkataan juri tak lagi terdengar lantaran ruang sidang langsung dipenuhi dengan teriakan histeris dan huru-hara penolakan atas keputusan yang dijatuhkan.
Babak baru pun dimulai. Kehidupan Nelson dari penjara bukan hanya menimbulkan gerakan dan peristiwa monumental lain dalam perjuangan bangsa Afrika Selatan, namun juga perjuangan panjang bagi Winnie yang menemani puluhan tahun perjuangan suaminya dari balik jeruji besi.
Bapak dan Ibu Afrika Selatan
Kehidupan Winnie tak pernah mudah selama menjadi istri Nelson Mandela. Hal ini lantaran sebagian besar kehidupan pernikahannya ia jalani tanpa kehadiran sang suami.
Hari ke hari, kegiatan yang rutin dia lakukan adalah menjenguk Nelson di penjara Pulau Robben, sebuah penjara pengasingan dengan lokasi terpencil.
Pemerintah Pretoria menempatkan Nelson di sana dengan tujuan untuk mengubur suara dan perjuangan Nelson. Tapi mereka tidak tahu, jika Winnie justru menjadi ‘kurir’ dalam mengobarkan semangat perjuangan Nelson yang membuatnya menjadi legenda.
Nama Nelson Mandela semakin sering disebut dalam lagu-lagu perjuangan, bahkan tanpa kehadirannya secara langsung, African National Congress (ANC) terus melakukan perlawanan di bawah pimpinan sahabat Nelson, Oliver Tambo.
Tiga hari sekali Winnie mendatangi penjara Pulau Robben, mendengarkan kata-kata perjuangan Nelson, mengingatnya, kemudian menuliskan ucapan suaminya untuk disebarkan ke kelompok pejuang militan Afrika Selatan.
Lewat rutinitas itu pula, bukan hanya menjadi kurir, Winnie juga berperan bak juru bicara Nelson ke dunia luar. Tak berlebihan, jika saat itu kehadiran Winnie benar-benar memainkan peran penting dalam hidup Nelson.
Dari pola pergerakan yang dilakukan keduanya, tak heran jika kemudian Nelson dan Winnie Mandela dijuluki sebagai Bapak dan Ibu Bangsa Afrika Selatan.
Sementara Nelson menghabiskan sebagian besar waktunya di balik jeruji, Winnie pada saat bersamaan selalu tampil dan terlibat di kancah perjuangan masyarakat kulit hitam.
Beberapa perlawanan yang dia lakukan bertujuan untuk menentang sejumlah peraturan pemerintah yang dinilai tak masuk akal, seperti pemberlakuan surat jalan, pembatasan wilayah bagi kulit hitam, undang-undang imoralitas, dan peraturan perkawinan ras.
Pada 1978, ketika Pieter W. Botha menjabat sebagai Perdana Menteri Afrika Selatan, perubahan tak banyak terjadi. Namun gerakan perjuangan mulai memunculkan kelompok-kelompok radikal yang berisikan pejuang muda yang keluar dari prinsip Nelson Mandela, yakni berjuang dengan kekerasan.
Keadaan kian memburuk, ketika kelompok-kelompok pejuang muda tersebut, masuk dalam perangkap adu domba yang dilakukan pemerintah Pretoria untuk memecah belah pendukung Nelson.
Saking tak terkendali, Nelson bahkan pernah sekali waktu meminta Winnie menemui Ndarbene, salah satu tokoh muda yang terhasut untuk mengangkat senjata dan menimbulkan kericuhan.
Namun tampaknya tidak berhasil, setelah itu kericuhan lebih parah benar-benar terjadi.
Pemuda kulit hitam, termasuk anak sekolah belasan tahun mengangkat senjata dengan berbagai bentuk, mulai dari batu sampai senapan mesin untuk melawan Botha. Padahal yang dipikirkan Nelson hanya satu, perjuangan yang dilakukan akan sia-sia bila dilakukan dengan kekerasan.
Pada 1982, Nelson dipindahkan ke penjara Pollsmoor. Rupanya pada saat bersamaan Botha takut akan kekuatan yang dimiliki Nelson.
Pasalnya, meski sudah 20 tahun mendekam di penjara, gerakan perjuangan tidak pernah padam. Di Pollsmoor, situasi penjara memang lebih baik. Nelson Mandela ditempatkan di lantai paling atas bangunan berlantai lima, dan dirinya tidak diperlakukan layaknya narapidana pada umumnya.
Mulai dari pengawal hingga kepala penjara, semuanya memperlakukan Nelson layaknya tahanan politik yang ditakuti.
Sementara Winnie masih melakukan rutinitas seperti biasanya, setiap tiga hari sekali dirinya hilir mudik melakukan perjalanan dari Johannesburg ke Pollsmoor.
Pemberian informasi yang dilakukan terjadi secara dua arah, Winnie akan berperan sebagai kurir informasi, sehingga Mandela tidak pernah tertinggal satupun peristiwa penting di dunia luar.
Problematika Winnie
Akhirnya, tak ada perjuangan yang sia-sia. Di akhir masa kepemimpinan Botha, Nelson mulai menunjukkan upaya diplomasi yang mengarah ke titik terang masa depan bangsa kulit hitam di negaranya sendiri.
Pada 1989, ketika Nelson dipindahkan ke penjara yang lebih pantas disebut sebagai rumah, dia menerima undangan minum teh dari Botha, dan menyebutnya sebagai ‘undangan yang hangat’.
Penerus Botha yakni Frederik Willem de Klerk, menjadi Presiden yang menghadirkan babak kehidupan baru bagi bangsa kulit hitam. Pelarangan atas kongres dan partai AFC dicabut dan diberikan hak legalisasi.
Pada bulan Februari 1990, terjadi perundingan antara de Klerk dan Nelson yang menjadi titik awal berakhirnya apartheid dan administrasi minoritas kulit putih di Afrika Selatan.
Pada tanggal 11 Februari 1990, Nelson Mandela akhirnya bebas dan menggandeng tangan Winnie di hadapan kerumunan pers, yang disiarkan langsung ke seluruh dunia. Tiga tahun kemudian, pada 1993, Mandela dianugerahi Hadiah Nobel bidang perdamaian atas usaha gigihnya dalam menamatkan rezim apartheid di Afrika Selatan.
Entah apa yang terjadi, buah manis dari perjuangan yang sudah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun oleh Winnie dan Nelson Mandela justru tidak berakhir dengan manis.
Winnie, entah dilatar belakangi oleh peristiwa apa menjadi sosok yang problematik, baik secara politik maupun perannya yang selama ini dilabeli sebagai ‘Ibu Bangsa’ Afrika Selatan.

Dari pengamatan yang terlihat, Winnie dianggap kurang bisa berdamai dengan perubahan yang terjadi, terlebih fakta penerimaan atas bangsa kulit putih Afrika Selatan yang dulu ia lawan habis-habisan. Winnie dinilai kurang berkompromi dan dengan tegas menolak memberikan pengampunan atau maaf kepada bangsa kulit putih.
Padahal, saat itu Nelson Mandela sedang berupaya melakukan rekonsiliasi atas penyesuaian administrasi dan pemerintahan antar bangsa kulit putih dan kulit hitam. Hal ini semata agar Afrika Selatan menjadi negara demokrasi dengan masyarakat yang lebih stabil dan majemuk.
Ada yang berpendapat, kerasnya sikap Winnie dilatarbelakangi oleh penderitaan yang dialami selama puluhan tahun menderita akibat diusir, ditangkap, dan diperlakukan tidak adil oleh pihak berwenang kulit putih pada masa-masa perjuangan, tatkala Nelson Mandela mendekam di balik jeruji besi.
Namun, problematika Winnie justru kian merembet ke berbagai hal dari segala arah, mulai dari perselingkuhan, penipuan, penggelapan dana partai, bahkan hingga tudingan pembunuhan yang dilakukan oleh tangannya sendiri.
Winnie juga kerap menimbulkan masalah dan dipandang sebagai pembuat onar dalam pemerintahan.
Ibu dan Bapak Bangsa yang Bercerai
Nelson mungkin masih menyangkal dan sempat berusaha untuk membela sang istri, saat Winnie terlibat permasalahan hukum dan ditahan atas tudingan penggelapan dana dengan membayar uang denda.
Namun pada akhirnya, Nelson muncul di hadapan publik dan mengumumkan perpisahannya dengan Winnie pada 1992, dan baru secara resmi bercerai pada 1996.
Selama empat tahun berpisah secara tidak resmi, Nelson juga pernah memecat Winnie atas tuduhan korupsi pada 1995 dari kabinet yang ia pimpin sebagai Presiden.
Sangat disayangkan, ketika bangsa kulit hitam Afrika Selatan sudah berhasil memperoleh kemerdekaan yang selama ini diimpikan dan mereka perjuangkan berdua dengan gigih, justru tidak ada yang tersisa dari kedua sosok tersebut.
Pada akhir hayatnya, Winnie bahkan hanya mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tampak diselimuti rasa sakit hati dan kekecewaan yang mendalam.
Salah satunya saat Nelson Mandela meninggal dunia pada tahun 2013. Saat diwawancara dengan sebuah surat kabar di London, Winnie menyatakan Mandela telah membusuk di penjara secara sia-sia dan menjual harga diri orang kulit hitam.
“Mandela memang masuk penjara sebagai seorang revolusioner muda yang bersemangat. Tapi lihat apa hasilnya, Mandela mengecewakan kita. Dia setuju dengan kesepakatan yang buruk untuk orang kulit hitam,” ujar Winnie.
Meski sebenarnya Winnie sudah berdamai dengan Nelson Mandela sebelum pria tersebut meninggal, tampaknya kekecewaan juga dirasakan Nelson. Terungkap jika Winnie pernah pergi ke pengadilan untuk menuntut akses ke sebidang tanah di Desa Qunu, tempat di mana Mandela dimakamkan.
Tampaknya dia juga ingin lokasi tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir, setidaknya dengan orang yang pernah berjuang bersama.
Namun rupanya, Nelson Mandela sama sekali tidak menyebutkan nama istrinya tersebut dalam surat wasiat terakhir yang ditinggalkan.
Pada akhirnya, akhir takdir Nelson dan Winnie, menjadi satu-satunya hal yang disayangkan oleh banyak warga kulit hitam Afrika Selatan.
Mereka menjadi saksi betapa kekuatan cinta yang tadinya bisa mengambil peran dalam sebuah gerakan negara, bisa begitu saja pupus tak bersisa hanya karena ketidaksepahaman di urusan politik.
Meski begitu, pasangan ini akan selalu diingat sebagai pasangan yang bisa mengantarkan Afrika Selatan pada kesetaraan ras.