c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

28 Desember 2024

13:02 WIB

Cinta Dan Daya Mama-Mama NTT Dalam Tenun Buna Insana

Bukan sembarang motif, para mama di NTT mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada keturunan mereka melalui keterampilan menenun dan membuat motif tenun Buna Insana.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

<p id="isPasted">Cinta Dan Daya Mama-Mama NTT Dalam Tenun Buna Insana</p>
<p id="isPasted">Cinta Dan Daya Mama-Mama NTT Dalam Tenun Buna Insana</p>

Para perempuan dalam kolektif penenun Tenun Buna Insana di NTT. Dok. DJKI

JAKARTA - Setiap karya yang memancarkan keindahan, selalu tersimpan cerita cinta dan dedikasi para pembuatnya. Begitupun pada produk wastra, Tenun Buna Insana yang berasal dari Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dari sebuah galeri sederhana, ragam motif dan lukisan Tenun Buna Insana diciptakan. Motif-motif berbentuk pengait menyerupai huruf Z yang berbicara dalam keheningan, menyampaikan warisan leluhur yang dijaga dengan penuh cinta dan ketekunan oleh mama-mama setempat. Di setiap helaian benang yang tersulam, ada peluh, doa, dan cerita tentang harapan.

Tenun yang terkenal dengan nama Buna Insana tercatat memiliki sekitar 60 motif dengan warna yang mencolok. Bukan sembarang motif, para mama di NTT mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada keturunan mereka melalui keterampilan menenun dan membuat motif.

“Motif kami beda-beda dan masing-masing ada lambang yang beda-beda. Sekarang diidentifikasi ada 60 motif. Ada yang mengajarkan jiwa gotong royong, kerja bakti, kesetiaan, sampai kekuatan. Kita tunjukkan dalam motif supaya jiwa gotong royong ini terbentuk serta menghargai hasil karya leluhur,” ungkap Elvira Berta Maria Ogom, Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Tenun Buna Insana, dikutip dari siaran pers Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Sabtu (28/12).

Elvira menjelaskan, menenun adalah cara perempuan di Timor Tengah Utara berbicara kepada dunia. Ibu dari dua anak ini mengisahkan tradisi yang mengakar dalam kehidupan mereka. Menenun bukan hanya sebuah keterampilan, tetapi juga ritual yang menjadi gerbang kedewasaan bagi setiap anak perempuan di sana.

“Anak-anak perempuan di sini banyak yang bilang bahwa menenun itu sulit setengah mati, tetapi karena kami punya kepercayaan itu tadi, mama-mama harus ajarkan anak perempuan mereka untuk bisa menenun. Ini adalah cara kami membekali anak-anak perempuan kami keterampilan dan menjaga warisan leluhur,” lanjutnya.

Di tangan para mama, benang-benang kapas maupun sintetis yang diberi pewarna alami itu bersatu menjadi kain, membawa nama Timor Tengah Utara ke penjuru negeri, bahkan hingga ke luar negeri.

Setiap helai kain menenun masa depan, memberikan harapan kepada banyak keluarga untuk mengirim anak-anak mereka menggapai pendidikan yang lebih tinggi. Tidak jarang, kain-kain ini dipesan khusus, dibeli melalui lokapasar dengan harga yang tinggi, bahkan menyentuh Rp10 juta. Tidak hanya bisa digunakan sebagai selendang atau pakaian, hasil tenun juga bisa dimodifikasi sebagai tas, dekorasi, dan menjadi pelengkap ritual kelahiran, perkawinan, serta kematian.

Namun, jalan menuju pengakuan hukum bagi Tenun Buna Insana memerlukan perjuangan dan kerja sama banyak pihak. Sebelum 2024, motif-motif unik mereka sering ditiru tanpa izin, mengancam kelestarian budaya yang telah diwariskan sejak zaman nenek moyang.

Perjuangan panjang itu akhirnya berbuah manis ketika pada November 2024, Tenun Buna Insana resmi terdaftar sebagai produk indikasi geografis di DJKI, Kementerian Hukum Republik Indonesia.

“Di tahun 2024 ini kami coba untuk lindungi hukumnya… Ini sebagai upaya kami untuk melindungi dan mempertahankan tenun dan kain di Kabupaten Timor Tengah Utara dan kami sangat bangga akhirnya Tenun Buna Insana mendapatkan status terdaftar sebagai produk indikasi geografis,” ujarnya.

Regenerasi Penenun
Elvira tahu perjuangan belum usai. Di tengah zaman yang kian modern, menenun berhadapan dengan tantangan baru. Banyak remaja kini lebih memilih sibuk dengan layar ponsel ketimbang menyentuh alat tenun tradisional. Untuk itulah, Elvira menggagas pendidikan vokasi bagi remaja perempuan, terutama mereka yang putus sekolah.

“Kami berikan pendidikan itu agar ada regenerasi apabila suatu saat nanti para lansia dan mama-mama sudah tidak sanggup lagi menenun. Tidak dapat dipungkiri menenun itu kerajinan yang rumit yang mungkin tidak banyak dilirik remaja-remaja yang sekarang lebih gemar main handphone,” katanya.

Elvira berharap semangat para mama untuk memberdayakan anak-anak perempuan mereka ini tidak akan pernah terkikis zaman. Meskipun wanita memang memiliki kodrat untuk melahirkan, menjadi istri sekaligus ibu bagi keluarga, perempuan juga harus bisa berdiri di kaki sendiri dan menjadi pemimpin.

Perempuan, katanya, harus percaya diri dan punya kemampuan sehingga kapanpun dia bisa dipercaya untuk memimpin organisasi atau bahkan juga menjabat tugas di pemerintahan. Elvira berharap agar kaum perempuan terus melatih diri untuk menjadi kreatif, terampil serta percaya diri, khususnya para perempuan di NTT dengan produk tenunnya.

Tenun Buna Insana menjadi penanda cinta dan daya para perempuan di NTT dalam mempertahankan tradisi sekaligus menciptakan peluang industri masa kini. Di tangan mama-mama NTT, kain ini telah menjadi lambang keteguhan hati, kreativitas, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar