09 Maret 2023
20:53 WIB
Penulis: Mahareta Iqbal
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Perkembangan bisnis kuliner dengan model franchise alias waralaba, belakangan tidak hanya menyasar para pemodal besar, tetapi sudah marak menyentuh ke sektor usaha menengah ke bawah.
Tak jarang, pangas pasar ini justru membuat sebuah usaha waralaba jadi terkenal dan menghasilkan cuan yang mengiurkan.
Namun seperti bisnis-bisnis lainnya, usaha kuliner punya risiko pasang surut. Apalagi melihat kecenderungan konsumen saat ini yang sering tergiur dengan apa yang tengah hype. Selanjutnya, tidak ada yang bisa menjanjikan mereka akan tetap loyal mengingat tren selalu berganti.
Betapa banyak kita melihat, bisnis waralaba tertentu, booming seketika, tetapi layu sejurus kemudian.
Meski begitu, bisnis kuliner memang selalu menggoda untuk dicoba, mengingat terlampau banyak kisah sukses yang muncul dari bisnis ini.
Prinsipnya utamanya satu, selama orang masih doyan makan, bisnis ini tak akan kekurangan pasar. Pertanyaannya, bagaimana menarik pasar yang besar tersebut menengok, bahkan gandrung dengan produk yang kita jajakan.
Aulia (28) menjadi salah satu orang yang tertarik dengan bisnis kuliner dan berusaha mewujudkannya. Pengusaha kuliner mi goreng pedas di Kota Padang ini awalnya terdorong dengan tren "Mie Abang Adek" di Jakarta. Dia melihat, kala itu para penikmatnya, rela lama mengantre di kios mi goreng yang sedang tren.
Pada 2017, bermodal uang Rp200 ribu, dia dan saudaranya melakukan beberapa kali eksperimen, sampai akhirnya menemukan satu menu andalan.
Singkat cerita, dia pede menjalankan bisnis ini dengan brand Minarko. Sebuah singkatan dari "Mie Api Narako" (Mie Api Neraka). Sebuah metafora yang menggambarkan betapa pedasnya mi yang dia tawarkan kepada pelanggan.
Lambat laun, bisnisnya semakin berkembang. Pelanggannya pun kian banyak. Dari usaha yang awalnya hanya mengandalkan konsep takeaway karena keterbatasan lahan, dia memberanikan diri menyewa sepetak lahan di dekat rumahnya dengan harga Rp20 juta per tahun.
Untuk usaha 'kacangan' waktu itu, nominal tersebut tentu cukup besar. Ditambah, masih ada kekhawatiran bisnisnya tidak akan bertahan lama. Apalagi, belum ada pelanggan setia. Untungnya, tekad dan nekat yang ia kombinasikan, membuahkan hasil.
"Ini memang di luar ekspektasi kami. Kami pun tidak menyangka akan sebesar ini sekarang," ucap Aulia kepada Validnews, (7/3).
Hanya butuh waktu satu tahun menjalankan usahanya, dia bahkan berani menawarkan sistem waralaba bagi siapapun yang ingin berpartner atau berusaha yang sama seperti dirinya.
Sukses, yam bisa dibilang begitu. Tercatat, dia sempat memiliki 22 rekanan franchise yang tersebar di seluruh wilayah Sumatra Barat. Ada juga di Jambi dan Cileungsi, Bogor. Meski kini hanya tersisa 17 gerai saja.
Pengalaman learning by doing yang diterapkan, membuatnya mengalami secara langsung apa saja hal yang membuat bisnisnya naik turun. Setidaknya, dia bisa memetakan soal tata kelola, munculnya bisnis serupa, hingga pola belanja konsumen.
Dia pun berkesimpulan, bisnis kuliner bisa dengan cepat melesat, tapi bisa dengan lekas pula meredup, jika hanya sekadar mengikuti tren yang ada.
Sekedar FOMO
Pemikiran Aulia ini, diamini oleh pengamat Sosial, Yuswohady. Menurutnya, perilaku atau gaya konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini lebih bersifat fear of missing Out atau FOMO. Mereka tidak ingin ketinggalan atas apa yang sedang hits.
Semisal, ketika ada suatu tempat kuliner yang sedang viral. Mereka berbondong-bondong menyerbu tempat itu, membuat semakin banyak orang lain penasaran.
"Perilaku konsumsi orang sekarang itu ikut-ikutan. Ketika ramai, itu keuntungannya tinggi sekali bagi pelaku usaha. Tetapi, ketika hype-nya sudah habis, ya sudah. Kemungkinan sepinya juga besar," jelas Yuswohady kepada Validnews, Senin (6/3).
Dia mengaitkan hal ini dengan hukum sebab akibat. Perilaku semacam ini hanya bersifat temporer, karena pola konsumsi konsumen akan kembali lagi kepada kebiasaan semula. Konsumen akan menikmati kuliner yang sudah menjadi kebutuhan awal.
"Misalnya, orang-orang akan membeli es krim atau boba seminggu atau dua minggu sekali. Tapi, kebutuhan membeli es krim atau boba tersebut tidak sama seperti orang-orang membeli nasi. Di sinilah perbedaannya," terang Yuswohadi.
Pengamat sosial lain, Musni Umar juga bersepakat akan hal itu. Menurutnya, hadirnya menu-menu baru dengan segala keunikan yang ditawarkan, menjadi pondasi kuat untuk menarik konsumen. Hanya saja, dia melihat, kecenderungan ini lebih banyak dilakukan masyarakat menengah ke bawah
"Kebiasaan seperti itu biasanya berada pada konsumen dengan daya beli terbatas atau menengah ke bawah," Jelas Musni Umar kepada Validnews, Selasa (7/3).
Pencari Cuan Sesaat
Namun, dengan memahami karakter masyarakat yang mudah terpancing akan sesuatu yang viral, hal ini setidaknya bisa menjadi celah bagi para pencari cuan musiman. Febrianto (34), jadi salah satu orang yang memanfaatkan momentum ini.
Dia bercerita, beberapa waktu belakangan, kudapan corn dog mozarella sempat digandrungi banyak orang. Inilah yang menjadi pemicu buatnya menjajal bisnis tersebut.
Dengan modal pinjaman, usaha tersebut terbilang sukses. Dia mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dari bisnis ini. Namun saat memasuki bulan keempat, jualannya mulai sepi. Berbeda jauh saat awal dia memulainya, saat jajanan tersebut mencapai puncal viralitasnya.
Tak ingin berlama-lama, Febri pun memperluas lini jualannya. Pilihannya jatuh kepada frozen food, seperti sosis, otak-otak dan lain-lain. Sedikit keuntungan dari berjualan corn dog mozarella, dibelikan sebuah freezer kecil.
Seperti sebelumnya, usahanya kembali ramai. Banyak pelanggan baru yang datang untuk mencicipi variasi menu yang dia tawarkan. Sesekali konsumen melirik kembali ke corn dog mozarella-nya.
Sayang, setelah hype frozen food kembali memudar, usahanya kembali sepi. Febrianto mengaku, sudah memikirkan banyak strategi agar usahanya ini bertahan.
Dia pun sampai pada kesimpulan, momentum kuliner musiman harus dimanfaatkan menjadi lahan untuk meraup untung sebanyaknya. Dia sadar tren ini tidak akan bertahan lama, sehingga sebelum mereda harus memutar otak untuk tetap survive.
Apalagi, dia melihat banyak orang mencari peruntungan ke usaha kuliner yang bersifat musiman juga tak sedikit. Kebanyakan karena rasa penasaran.
Seperti yang dilakukan Annisa (29). Namun bedanya, dia tak ingin ribet untuk membuat konsep baru. Membeli franchise baso aci adalah jalan ninja untuk bisa meraih cuan cepat. Lagi-lagi, momen viral menjadi dasar keputusannya.
Pada awalnya, usaha Annisa berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Lokasi bisnisnya sangat ramai dengan pembeli. Annisa mengatakan bahwa pada waktu itu, di daerah Ciledug dan sekitarnya, belum banyak orang yang menjual baso aci, sehingga merasa berhasil mendapatkan pangsa pasarnya.
Dia tak hanya menunggu pembeli dari mereka yang datang saja, tetapi mengekspansi pasarnya lewat online shop, seperti gofood, grabfood, hingga shopeefood. Benar saja, pasar yang dia dapatkan semakin menjadi. Dia meraup sukses besar lewat berjualan via online shop. Berlipat ganda keuntungannya.
Namun, pada 2018, dia mulai merasakan sepinya pembeli. Bisnisnya hanya tertolong lewat online shop saja kala itu. Malang pun tak dapat ditolak, cepatnya maeraih sukses membuat Anissa lengah pada hal penting dari sebuah usaha, manajemen keuangan.
"Saya terlalu percaya penuh pada dua orang karyawan saya saat itu perihal laporan keuangan dua minggu sekali yang juga berdasarkan jadwal gajian mereka (2 minggu sekali). Mereka tak jujur dan banyak keuntungan yang akhirnya tidak dapat memberikan dampak positif pada usaha," jelas Annisa kepada Validnews, Rabu (8/3).
Usahanya pun hanya bertahan dua setengah tahun sampai akhirnya tutup. Dia menyadari, membuka bisnis harus terjun langsung. Tidak bisa dipercayakan begitu saja kepala karyawan, apalagi bisnis tersebut masih terbilang belum besar.
Tidak hanya itu, fluktuasi pelanggan juga memengaruhi bisnisnya. Selain itu, Annisa harus membayar biaya sewa ruko dengan harga yang cukup tinggi setiap bulannya. Akhirnya, karena tidak mampu lagi untuk bertahan, dia memutuskan untuk menutup bisnisnya.

Budaya Latah
Menanggapi kasus yang dialami oleh Febrianto dan Annisa, peneliti antropologi kuliner Universitas Brawijaya Ari Budiyanto mengatakan, konsistensi bisnis kuliner musiman sangat dipengaruhi oleh budaya latah masyarakat.
Budaya latah ini bahkan sudah menjangkit ke berbagai tempat. Pada saat ada sesuatu yang baru, banyak orang akan mengerubungi tempat tersebut, serupa 'semut menemukan sumber gula' untuk merasakan bagaimana hype nya suatu produk kuliner tersebut.
Namun, ketika di lain tempat, ditawarkan lagi hal baru, semut-semut tersebut dengan cepat berpindah tempat, menjajal ‘gula’ baru yang belum pernah dirasakannya.
"Jiwa bisnis usaha musiman atau franchise biasanya bukan dibangun dari keluar masuk kerja di suatu perusahaan atau jatuh bangun dalam membangun usaha. Biasanya, jiwa bisnis mereka yang seperti ini tangguh dan tak gampang menyerah yang usahanya akan bertahan lama," ucap Ari kepada Validnews, Rabu (8/3).
Menurutnya, di balik fenomena bisnis franchise atau musiman, sesungguhnya terselip mentalitas instan. Pelaku usaha ini seolah terayu oleh kepraktisan memulai usaha karena seluruhnya sudah disediakan.
"Kalau ikut-ikutan nyampah doang, membeli sesuatu tanpa alasan, tak paham apa yang dibeli, hanya tahu orang beli itu dan dia juga harus beli itu tanpa tahu apakah memang itu yang jadi kebutuhannya. Akhirnya bersifat abstrak," jelas Ari.
Dia juga menyinggung, membuka usaha tidak hanya memerlukan hitung-hitungan semata, tetapi juga loyalitas dan kebetahan dalam menjalankan usaha juga.
"Jika seseorang loyal dan betah dalam menjalankan usaha serta mampu membaca pasar, dia akan bisa lebih bertahan lama dalam usaha tersebut," tambahnya.
Bicara soal selera masyarakat, menurut Ari, hal itu sejatinya adalah sesuatu yang lumrah. Akan tetapi, bagi pelaku bisnis yang mengekor, jika mereka tak bisa membaca peluang, mereka akan selalu tertinggal.
Ketika mereka memanfaatkan momentum tersebut pada awal-awal kemunculannya, akan memanfaatkan tren usaha yang viral dan latah tersebut.
"Seharusnya seperti itu, bukan memulainya di saat-saat momen tersebut menjelang habis, akhirnya 'rugi bandar' dan tidak mendapatkan untung yang banyak dalam waktu yang relatif singkat," papar Ari.
Usaha Berkelanjutan
Melihat banyaknya usaha kuliner franchise atau musiman yang gulung tikar, Angga Marta selaku FnB Consultant menyebut hal ini sebagai suatu ironi. Pasalnya, kuliner merupakan industri yang menjual kebutuhan pokok manusia yakni pangan.
Menurut Angga, ada dua tipe dari model bisnis franchise (FnB), pertama, para pebisnis menciptakan ide bisnis dengan membentuk pangsa pasarnya terlebih dahulu. Dengan begitu, produk unik yang akan ditawarkan nantinya akan lebih punya kesempatan untuk bertahan lebih lama.
Kedua, produk-produk yang sudah ada atau konvensional. Produk ini bahkan kadang disulap dengan nilai komersil yang tinggi. Jadi tren yang akan cepat redup pun harus disadari pebisnis kuliner.
"Semisal, Pecel Lele Lela. Mereka menyadari bahwa nilai pasar jualnya itu sekitar 5-6 tahun. Mereka menyadari resikonya. Makanya, pada saat 5-6 tahun itu, Pecel Lele Lela ada di mana-mana dan melakukan ekspansi secepat-cepatnya. Ketika memasuki fase 6-7 tahun, satu persatu tutup. Bukan karena kehabisan modal, tapi karena sudah mengonsepnya seperti itu," Jelas Angga Marta kepada Validnews, (8/9).
Di dunia FnB khususnya, jelas Angga, tidak selalu konsepnya itu untuk jangka panjang. Pemilik usaha harus menyadari hal demikian.
Nahasnya, banyak pelaku usaha musiman terkadang tidak membaca hal demikian. Mereka hanya memilih untuk melakukan spending gila-gilaan dan kemudian tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.
Mereka juga harus menyadari, tidak semua yang segmented itu memiliki daya jual yang tinggi.
Pelaku usaha yang demikian, harus menentukan konsep seperti apa yang nantinya akan mereka pilih dengan berbagai risiko dan kemungkinan terburuknya. Usaha UMKM dengan model bisnis franchise atau musiman, mereka punya benefit lain yang sifatnya bukan di penjualan, melainkan output seperti supply chain yaitu lisensi, peralatan, konsep, produk, standar operasional, bahan baku hingga tempatnya.
"Riset menu, misalnya, itu memakan banyak bujet dan waktu. Hal itu yang dihindari oleh mereka yang membeli franchise di kelas menengah ke bawah," tutur Angga.
Pertimbangan lainnya ialah standar operasional prosedur yang komprehensif dan sistematik. “Mereka punya bujet, mereka dapat tempat dan semua peralatannya di-support. Namun, bertahannya usaha tersebut bergantung pada bagaimana pemiliknya dapat mengelola dengan baik dan pelanggan tetap setia dengannya,” imbuhnya.
Hal tersebut menurut Angga, sangat mirip dengan gaya 'main' supply chain. Asal tahu saja, supply chain adalah jaringan antara perusahaan dan pemasoknya untuk memproduksi serta mendistribusikan produk tertentu kepada pembeli akhir dan cenderung 'mengkerangkeng' si franchisee atau si pembeli lisensi.
Model tersebut merupakan transformasi franchise terbaik dalam perspektifnya, yang mana menurutnya terinspirasi dari McDonald. Bahkan, Angga mengatakan, sesungguhnya McDonald itu bukanlah bisnis FnB, melainkan bisnis properti yang sukses menjual makanan cepat saji.