c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

02 Juli 2024

20:28 WIB

Bertumbuh Diterpa Badai Lewat Segmentasi Gaya Hingga Hobi

Di tengah lesu perkembangan industri tekstil nasional, masih ada merek-merek lokal yang terus bertumbuh. Produk yang punya segmentasi pasar loyal.  

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rikando Somba

<p>Bertumbuh Diterpa Badai Lewat Segmentasi Gaya Hingga Hobi</p>
<p>Bertumbuh Diterpa Badai Lewat Segmentasi Gaya Hingga Hobi</p>

Jenama fesyen lokal Erigo, berhasil mendapatkan rekor omzet hingga Rp5 miliar dalam waktu kurang dari 10 menit lewat penjualan di Shopee Live yang diramaikan oleh grup idola JKT48 pada Jumat. ANTARA/Hand Out.

JAKARTA – Industri tekstil dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Perusahaan-perusahaan menurunkan produksi. Bahkan, banyak yang terpaksa gulung tikar lantaran melemahnya serapan produk tekstil di dalam maupun luar negeri.

Di lini hilir, industri kecil menengah pakaian jadi berjibaku dalam persaingan bebas melawan produk murah dari China. Industri yang baru saja mulai bangkit setelah pandemi, kini ‘goyang’ lagi. Bahkan turbulensi ini jauh lebih serius.

Namun badai tak menghantam semua lini. Banyak industri produk tekstil bertahan, bahkan tumbuh. Apparel alias pakaian jadi lokal membangun ceruk pasar mereka masing-masing. Ada di antara mereka yang terus mendulang cuan meski di tengah pelemahan daya beli masyarakat secara umum dan dinamika industri hulu.

Produk yang bergerak di wilayah mode dan hobi, atau yang menonjolkan karakteristik spesifik, termasuk lini industri yang berkembang. Setidaknya tak terpengaruh oleh situasi industri tekstil nasional dan masalah persaingan pasar produk jadi saat ini.

Eiger, Exsport, Bodypack, The Executive, Erigo, Cotton Ink., 3Seconds, hingga yang lebih eksklusif atau dengan pasar tersegmentasi semacam Sejauh Mata Memandang, JENAHARA, SARE studio, MILLS yang bergerak di segmen apparel olahraga, Contin di segmen pengendara roda dua, hingga merek alas kaki Compass adalah beberapa yang bisa disebutkan.

Merek-merek tersebut terus mendulang penjualan baik di gerai-gerai toko resmi maupun di marketplace.

Merek-merek tersebut sebagiannya ditopang industri skala menengah besar atau garmen. Sebagiannya lagi adalah industri menengah kecil yang terbatas kapasitas produksinya atau bisa disebut home industry. Namun masing-masing adalah apparel yang memiliki peminat loyal dan cukup tinggi, serta terus tumbuh dengan skala masing-masing.

Bagaimana merek lokal tertentu bisa bertahan, meski di tengah serbuan barang-barang impor harga murah? Faktanya, ada banyak pula merek lokal yang tak bisa bertahan di situasi saat ini. Kebanyakan mengalami kesulitan untuk menyeimbangkan antara ongkos produksi dengan harga jual produk mereka.

Pada kasus yang bertahan dan berkembang, ada kesamaan dari merek-merek tersebut. Semuanya menyasar pasar domestik sebagai yang utama, dan menonjolkan karakteristik produk yang spesifik, juga bergerak di segmen pasar spesifik. 

Karakteristik-karakteristik itu yang kemudian menjadi kekuatan utama bagi brand lokal untuk bersaing di tengah serbuan produk murah dari luar negeri saat ini, terutama China.

Sebagaimana amatan peneliti ekonomi Institut For Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, merek-merek itu bersaing di pasar lokal tidak lagi melulu dengan harga. Diamatinya, ada juga yang berkompetisi di segmen kualitas, tren mode dan bahkan juga dengan narasi yang dikampanyekan. Sejauh Mata Memandang dan SARE/ Studio misalnya, dikenal sebagai merek fesyen lokal ‘beraliran hijau’ atau ramah lingkungan.

“Misalkan juga fesyen muslim atau hijab merek tertentu yang banyak konsumen loyal yang memang dijaga loyalitasnya oleh brand tersebut dan pasarnya pun segmented. Mereka biasanya tidak langsung secara head-to-head berhadapan dengan produk impor murah dari China. Maka dari itu mereka dapat bertahan,” ungkap Nailul Huda kepada Validnews, Senin (1/7).

Pesona Produk Lokal
Merek-merek apparel lokal bisa berkembang tentunya karena ada para konsumen yang juga passionated. Mereka memilih membeli produk-produk pakaian hingga tas dari merek lokal karena merasa ‘cocok’ dengan produk tersebut baik secara harga maupun kualitas.

Caca (29 tahun), seorang pekerja swasta di Jakarta, adalah salah satunya. Dia sejak beberapa tahun terakhir cenderung hanya melirik merek-merek lokal untuk kebutuhan busana atau apparel-nya secara keseluruhan. Dia membeli Thenblank untuk pakaian kerja, memakai tas dari merek Exsport, mengenakan sepatu dari Berrybenka.

Caca memang bukan konsumen yang setia pada satu merek. Dia mengenakan banyak merek. Namun yang jelas, semua yang dia kenakan berasal dari merek asal Indonesia, bukan impor.

Menurut dia, memilih merek-merek lokal di samping mendukung ekonomi dalam negeri, juga dirasa tepat dengan selera dan daya belinya. Dia bukan ‘orang berduit’, tapi cukup mampu untuk membeli produk yang menurutnya berkualitas, dengan harga yang sedikit lebih premium.

“Aku misalnya baru beli tas dari Exsport. Kenapa aku pilih itu, karena memang suka. Dia produknya kuat, dapat desain yang sesuai selera, kapasitasnya pun sesuai kebutuhan aku yang sehari-hari bawa banyak barang dan juga laptop bekerja,” ungkap Caca berbincang dengan Validnews pada Sabtu (29/60 lalu.

Caca sendiri punya pemikiran lebih jauh terkait pilihannya menggunakan produk-produk lokal untuk kebutuhan sehari-hari. Menurut dia, saat ini merek-merek lokal sudah sangat maju dan menawarkan kualitas yang tak kalah dari merek-merek impor. Karena itu, dia merasa tak punya kepentingan untuk membeli produk-produk impor.

"Selain itu soal harga juga. Daripada aku beli tas impor yang harganya kadang ‘nggak ngotak’, mending beli tas lokal yang secara kualitas itu juga nggak lebih jelek kok, bagus-bagus juga. Ngapain bela-belain punya merek impor kalau kitanya ngos-ngosan buat nyari duitnya,” seloroh Caca.

Pengguna produk lokal lainnya adalah David (30 tahun), juga seorang pekerja swasta. David adalah pengguna setia Eiger sejak masa sekolah. Setelah memasuki dunia kerja, dia mulai melirik merek-merek lainnya untuk kebutuhan apparel sehari-hari. 

Dia mengoleksi sepatu Eiger dan belakangan juga Brodo, mengenakan kemeja kerja dari Edwin, serta menggunakan Torch dan Visval untuk tas kerja.

Alasan David hampir senada, bahwa yang utama adalah soal harga yang terasa pas di kantong di samping juga model produk yang dirasa cukup menarik, sesuai dengan selera. David tak anti-impor karena dia juga mengoleksi produk Uniqlo yang made in Jepang itu.

"Sekarang itu kan di marketplace ada semua ya. Kita kalau nyari baju suka ketemu tuh merek-merek yang kadang kita nggak tahu, tapi bagus, dan ternyata produksi lokal. Nah, dari situ tuh, jadi lebih sering nyarinya dari brand lokal, kayak baru tahu aja, oh ternyata ada banyak yang keren sebenarnya," kata David.

Segmen Hobi
Novin HD adalah seorang kolektor jersey asal Bekasi, juga seorang desainer freelance desainer jersey. Validnews berbincang dengan Novin, dan dari situ mendapat gambaran bahwa industri apparel segmen hobi dan olahraga di Indonesia saat ini sangat berkembang.

Novin yang penghobi seragam tim sepakbola alias jersey, mengoleksi puluhan apparel olahraga lokal dan internasional, mengakui ada tren menarik. Belakangan, komunitas penghobi dan kolektor jersey di Indonesia berkembang pesat. Ada banyak penghobi baru bermunculan yang otomatis mendorong berkembangnya industri pakaian  lokal segmen olahraga ini.

Jersey yang dikoleksi Novin umumnya adalah seragam klub bola Indonesia di berbagai level kompetisi dan dari berbagai musim.

"Dorongan paling sederhana untuk koleksi, ya kecintaan terhadap klub. Kalau lebih lanjut, mereka mengesampingkan kecintaan pada klub, tapi murni pada jersey-nya dia melihat nilainya, dia suka desainnya, ya udah beli, nggak apa-apa sekalipun itu jersey klub lawan," cerita Novin soal jenis-jenis kolektor jersey.

Novin mengatakan, rata-rata jersey yang beredar di kalangan penghobi adalah apparel lokal, baik yang dikelola dan dijual langsung oleh klub, maupun oleh vendor atau pihak ketiga.

Namun di luar itu, industri pakaian seragam klab sepak bola menurutnya berkembang pesat saat. Dia yang sering mendapat proyek desain jersey, melihat makin populernya aktivitas berolahraga jadi faktor pendorong. Terutama olahraga sepak bola, futsal hingga mini soccer yang hari ini jadi aktivitas penuh selebrasi, di mana orang-orang tampil dengan jersey terbaiknya, lalu cekrek-cekrek: dokumentasi.

“Kalau sebagai kolektor, tempat buat mamerin jersey paling enak ya di lapangan, pas main bola. Sekarang tren main bola juga oke kan, pakai fotografer jadi menambahkan kesenangan,” tutur Novin.

Iklim itu kemudian menumbuhkan peluang bisnis dan produksi, termasuk bagi Novin sebagai desainer. Dia mengaku sering mendapatkan proyek desain jersey untuk tim-tim bola lingkup RT hingga para karyawan kantoran.

“Saya kemarin itu baru dapat order desain dari penjual di Muaro Bungo, Jambi. Artinya ‘kan, ini trennya se-Indonesia permintaan pada jersey itu tinggi,” ungkap penggemar Inter Milan tersebut.

Dengan kata lain, merek-merek lokal yang berfokus di segmen olahraga nyatanya memiliki potensi berkembang yang baik saat ini, terlepas dari lesunya daya beli secara nasional, maupun isu keruntuhan industri tekstil.

Produk Berkualitas, Pasar spesifik
‘Berkualitas’ dan bergerak di segmen ‘pasar spesifik’, adalah salah dua ‘jurus’ bagi merek-merek lokal untuk berkembang dan meraih ceruk pasar domestik. Jika bukan pasar yang spesifik, sebagian merek yang ada menyasar pasar premium yang notabene tak lagi membicarakan soal harga, namun nilai atau kualitas produk.

Contin, salah satu merek lokal di segmen pasar pengguna kendaraan roda dua. Sasaran merek ini adalah para penghobi motor, berupa jaket berkendara, sarung tangan, celana hingga rompi. Pasar produk ini nyata-nyata spesifik, tak menyasar konsumen umum.

Vincent Nugroho, pendiri sekaligus Direktur Contin, mengaku optimistis dengan pasar apparel untuk dunia motor di tanah air.

“Bermain di lokal itu sebenarnya kalau dilihat kompetisinya, ya kita kompetisi itu antar lokal, terus kompetisi terdekat dengan luar itu paling China. Karena secara harga kita paling dekat dengan China. Kalau secara kualitas produk kita sebenarnya nggak terlalu jauh kita sama Eropa, Jepang atau Amerika pun,” ucap Vincent saat berbincang dengan Validnews, Sabtu (29/6) lalu.

Contin adalah industri pakaian  berskala menengah-kecil, berbasis di Cimahi, Jawa Barat. Vincent menyebutkan mereknya adalah yang paling serius dalam hal kualitas produk. Misalnya, membuat jaket dengan fitur keselamatan yang lengkap, di samping menetapkan standar kualitas bahan hingga jahitan yang tinggi pada setiap produk. Satu jaket Contin, kata Vincent, bisa digunakan hingga 10 tahun.

Kualitas itulah yang ditawarkan ke pembeli. Dia menyaksikan sendiri, konsumen di Indonesia saat ini sudah cukup maju atau teredukasi, bisa melihat nilai dari produk-produk lokal.

“Dari harga kita untuk produk lokal sebenarnya udah lumayan premium sih. Dan pembelinya ada, orang udah mulai terdidik, untuk jaket seserius ini dengan harga di bawah Rp2 juta, mereka akan komparasi dengan produk impor yang rata-rata udah Rp5 juta,” tambahnya.

Vincent membeberkan, hal yang menjadi tantangan bagi Contin saat ini justru bukan daya beli masyarakat atau persaingan produk lokal dengan impor, namun pada kapasitas produksi. Sebagai usaha kecil-menengah, katanya, Contin masih belum bisa melakukan produksi massif.

“Tantangan lainnya soal material, sampai saat ini kita masih kesulitan juga mendapatkan akses material yang sama dengan yang digunakan brand-brand Eropa atau Amerika. Sementara mereka itu sistemnya special order ke pabrik tekstil, sementara kita yang skala kecil susah untuk melakukan itu,” kata pungkas Vincent.

Contin menyasar konsumen kelas ekonomi menengah ke bawah dan untuk segmen hobi.

Di sisi lainnya, ada SARE/Studio, merek pakaian rumah dan underwear yang berbasis di Jakarta. Merek berkonsep slow production dan ramah lingkungan yang didirikan oleh Cempaka Asriani sebagai Founder dan Putri Andamdewi Co-founder ini, ini justru menyasar konsumen kelas ekonomi menengah ke atas.

Apa yang ditawarkan SARE, yang membuat mereka sukses membangun ceruk pasarnya sendiri, adalah pada kualitas produk yang dijajakan. SARE yang produk-produknya dibanderol dengan harga relatif tinggi dari produk sejenis kebanyakan, menjadikan material serat alami sebagai basis produknya, lalu menawarkan mode yang juga inovatif.

Serat alami ini memiliki sejumlah kelebihan, menurut Cempaka. Selain ramah lingkungan, juga lebih nyaman di badan penggunanya. Terutama bagi pengguna di wilayah beriklim tropis, bahan pakaian dan underwear SARE diklaim memberi sensasi lebih sejuk dan mampu menyerap keringat.

“Pasar yang kita tuju itu adalah pasar yang memang secara perilaku tidak terlalu terpengaruh dengan harga, mereka cari kualitas dan konsistensi kualitas dan servis misalnya, tapi tidak terlalu sensitif dengan harga,” kata Cempaka.

“Kita merek underwear pertama di Indonesia yang gunakan serat alami. Bahan kita terbuat dari serat alam yang memang secara harga pasti jauh lebih tinggi. Ada karakter-karakter dari serat alam yang sangat menguntungkan terutama jika dibuat baju rumah untuk dipakai di daerah tropis,” imbuh Cempaka yang mendirikan SARE bersama rekannya Putri Andamdewi pada 2019 silam.

Konsistensi Produk dan Loyalitas Pembeli
Baik Vincent dengan Contin maupun Cempaka dengan merek SARE, sama-sama berpandangan bahwa bisnis yang berkelanjutan sangat tergantung pada konsistensi mutu. Hal itulah yang coba terus dijaga dengan memastikan setiap produk mendapatkan pemrosesan optimal, sesuai standar mutu masing-masing.

Mutu yang konsisten, akan membuat pembeli mengingat suatu merek dengan baik, bahkan menjadikan merek tersebut sebagai pilihan pembelian produk berkelanjutan bagi mereka. Ketika ekosistem pasar itu terbentuk, maka merek-merek tersebut pada akhirnya akan terus tumbuh tanpa harus bersaing secara langsung dengan produk-produk lain yang membuka kompetisi pada aspek harga.

Sementara Vincent mengatakan, kebanggaan terhadap produk lokal sejatinya belum tumbuh dengan kuat di Indonesia. Maka itu, dia tak menampik harga menjadi faktor yang amat menentukan keputusan pembelian masyarakat. 

Di sisi lain, dia optimistis bahwa  warga mulai memahami nilai dan kualitas pada produk, tak lagi melulu membeli produk yang dibanderol harga murah.

Nailul Huda, pengamat ekonomi INDEF, menyebutkan bahwa merek-merek lokal semacam Contin, SARE studio dan juga lainnya yang merupakan industri menengah-kecil, bisa menjadi salah satu kekuatan industri pakaian jadi di Indonesia. Asalkan merek itu terus dikelola dengan tepat serta mendapatkan peluang pasar yang ideal, juga peluang bertumbuh yang dibutuhkan.

Jika industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) skala besar di Indonesia saat ini yang berorientasi ekspor mengalami kontraksi, kata Nailul, gambarannya sedikit berbeda dengan produsen TPT berorientasi domestik dan memiliki citra merek tertentu yang diapresiasi konsumen.

“Mereka juga aktif melakukan kampanye lokal pride yang dipandang menjadi ‘hero’ baru dalam membangun ekonomi negara. Dengan informasi yang sangat terbuka, mereka bisa menjadi inspirasi masyarakat (terutama kaum muda) untuk melakukan hal serupa,” kata Nailul.

Epilog
Keberhasilan pebisnis di atas memang menumbuhkan optimisme. Namun, secara umum  industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Itu kondisi nyata, Faktanya, banyak produsen, baik yang bergerak sebagai usaha konveksi ataupun konveksi sekaligus mengelola merek sendiri, kini merunduk, jika bukan gulung tikar.

Industri tekstil dan garmen tumbang karena sejumlah persoalan, mulai dari serapan produk rendah, hingga persaingan usaha dengan produk impor. Di hilir, industri TPT menengah-kecil telah lebih dulu terhantam situasi pasar yang sulit karena banjir pakaian jadi impor, terutama dari China.

Ketua Indonesia Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Jawa Barat, Nandi Herdiaman mengatakan, banyak produsen di wilayah Jawa Barat mengalami penurunan produksi secara signifikan. Bahkan, banyak yang melelang mesin-mesin produksi mereka karena usaha tak bisa berjalan lagi, imbas merosotnya permintaan pasar.

Nandi mengatakan, masalah utama industri TPT skala menengah-kecil, lini industri yang menyerap produk material tekstil cukup besar, juga yang menyerap tenaga kerja cukup besar, saat ini adalah persaingan dengan produk impor murah.

“70% di kita, itu kondisinya kalah saing. Para produsen kita ini dulu adalah yang mengisi barang di Tanah Abang, Pasar Cipulir, pasar-pasar domestik. Juga yang masuk ke butik-butik, ke distro-distro di Indonesia. Sekarang coba lihat, itu yang mendominasi sudah barang China, kami bisa apa?,” ujar Nandi kepada Validnews, Senin (01/7).

Atas itu, Nandi meminta perhatian pemerintah terhadap industri TPT menengah-kecil di Indonesia. Mereka membutuhkan regulasi yang mengatur kapasitas impor, agar produksi dalam negeri bisa lebih dulu terserap.

Nandi tak menampik ada industri TPT menengah-kecil yang bertahan bahkan bertumbuh di situasi pasar saat ini. Namun menurutnya, itu hanya sebagian kecil dari industri TPT menengah-kecil di Indonesia. Gambaran utamanya, secara lebih luas, mengalami ancaman kematian yang nyata.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar