c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

02 Agustus 2021

20:06 WIB

Awas! Self-Diagnosis Bisa Jadi Bumerang Bagi Kesehatan Mental

Upaya mendiagnosis kesehatan diri dari informasi yang didapat secara mandiri

Penulis: Chatelia Noer Cholby

Editor: Satrio Wicaksono

Awas! <i>Self-Diagnosis</i> Bisa Jadi Bumerang Bagi Kesehatan Mental
Awas! <i>Self-Diagnosis</i> Bisa Jadi Bumerang Bagi Kesehatan Mental
Ilustrasi alat kesehatan. Pixabay/dok

JAKARTA – Di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat, keterbukaan informasi menjadi suatu hal yang tak terpisahkan. Semua orang bisa mengakses informasi dengan mudah dan cepat dari internet. Termasuk informasi mengenai kesehatan.

Tidak sedikit pula masyarakat yang memilih mencari tahu tentang apa yang terjadi pada dirinya melalui internet, ketimbang memeriksakan diri ke dokter. Bukan hanya dari internet, informasi-informasi tentang kesehatan itu juga bisa diperoleh dari orang-orang sekitar kita, maupun sumber informasi lainnya. 

Inilah yang disebut sebagai fenomena self-diagnosis. Upaya untuk mendiagnosis kesehatan diri secara mandiri. Alih-alih mendapat manfaat, cara ini justru bisa menjadi bumerang bagi kesehatan mental. Pasalnya, apa yang didapat bisa saja hanya sebatas asumsi.

Chacha (23), seorang gadis yang pernah mengalami hal tersebut. Sekitar dua tahun lalu, isu tentang mental illness banyak dibicarakan di Twitter maupun Instagram. Hingga dia menemukan suatu pembahasan soal penyakit bipolar dengan ditandai perubahan emosi yang drastis.

“Awalnya, cuma sekadar baca aja karena lagi banyak teman yang aware sama permasalahan itu. Lalu, pas baca bagian bipolar tuh kok sama persis dengan apa yang saya alami. Perubahan emosi yang seringkali naik turun secara drastis,” ceritanya saat berbincang dengan Validnews, Senin (2/8).

Gadis berdarah Sunda itu merasa mengalami perubahan emosi saat momen tugas akhir perkuliahan. Tidak jarang dia merasa sedih hingga menangis tersedu-sedu, lalu selang beberapa menit merasa gembira dengan suatu hal.

Perubahan emosi ini pun disadari oleh Chacha dan beberapa temannya. Setelah itu, salah satu temannya langsung mendiagnosa gadis berambut pendek itu mengalami penyakit bipolar. Padahal, gejala itu dicocokan hanya karena mengalami perubahan emosi yang drastis.

"Ketika dibilang seperti itu dengan teman, saya langsung merasa khawatir. Saya pun nggak sepenuhnya percaya, meskipun ada gejala yang sama,” tuturnya.

Selama empat bulan Chacha merasakan situasi tersebut, hingga lambat laun menghilang. Dia tidak lagi merasakan perubahan emosi tersebut. Akhirnya, perempuan berkacamata itu sadar kalau yang dialaminya hanya sebuah perasaan stress biasa karena skripsinya.

Dilansir dari laman unair.ac.id, pakar kesehatan mental Universitas Airlangga, Damba Bestari menyebut, sejatinya informasi yang ada di seputaran kita adalah untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental.

"Sebaliknya, tujuan tersebut dapat menjadi bumerang bagi mereka. Semakin tingginya kesadaran tersebut, banyak generasi milenial yang self-diagnosis sehingga muncul khawatir berlebihan,” ujarnya. 

Adalah fakta kalau generasi milenial lebih senang mencari informasi melalui internet. Kemudian, mereka mencocokkan apa yang dialami dengan gejala gangguan mental tersebut. Padahal, seharusnya mereka langsung konsultasi kepada psikiater atau psikolog.

"Meskipun saya psikiater, tapi saya tidak mendiagnosis diri sendiri, jadi harus melalui konfirmasi orang lain, karena ada yang namanya distorsi kognitif atau unsur emosional yang cenderung melebihkan atau mengurangi gejala,” ungkapnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar