c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

KULTURA

09 Oktober 2021

18:00 WIB

Army Look; Antara Gaya Dan Hasrat Jumawa

Army look menjadi tren yang digemari, namun ada yang menjadikannya dengan tujuan bertindak arogan

Penulis: Dwi Herlambang, Chatelia Noer Cholby,

Editor: Satrio Wicaksono

Army Look; Antara Gaya Dan Hasrat Jumawa
Army Look; Antara Gaya Dan Hasrat Jumawa
Ilustrasi army looks. Shutterstock/dok

JAKARTA – "Lu seneng banget pakai baju kaya hansip begitu," ucap Willy Tunggal menirukan ejekan temannya pada medium tahun 90-an silam.

Olokan itu ditanggapi dingin. Dia menganggap ejekan itu sebagai angin lalu. Dia paham kalau orang-orang pada masa itu menganggap aneh pakaian yang sering dia kenakan. Yap, Willy kerap mengenakan pakaian ala-ala militer atau yang kini tren dengan istilah army look atau tactical gear.

Wajar sih kalau dianggap agak aneh, lantaran tren fesyen pada tahun-tahun itu bernuansa Skate, Tie Dye, Baby Tess, Denim Short, dan Ripped Jeans. Namun, Willy tak mau ambil pusing. Baginya, apa yang ia kenakan memang karena ingin tampil beda dari kebanyakan orang.

"Saya justru tertarik sama hal-hal yang berbau militer, padahal dalam diri enggak ada keinginan jadi tentara,” kata Willy saat bercakap-cakap dengan Validnews, Minggu (3/10).

Lantas apa yang membuatnya jadi kegandrungan fesyen ala militer? Ternyata film dan dan gim dengan genre perang yang sering dimainkan menjadi pemicunya. Sebut saja, Call of Duty dan Combat The Hard Way Back 1964. 

Ia melihat pakaian dan gear atau perbak-pernik pelengkap pakaian yang dipakai oleh para tentara sangat memukau dan keren. Dari situ, Willy mulai mencari tahu tentang baju dan tipe seragam tentara tersebut, dan berkeinginan untuk memilikinya.

Hal yang jadi incarannya kala itu juga bukan sembarangan. Dia lebih tertarik dengan seragam-seragam tentara pada masa Perang Dunia II. Berbekal kenalan dan pergaulan, barang-barang tersebut akhirnya bisa didapatkan dengan harga yang relatif mahal.

Langkanya barang dan tingginya harga, yang membuat Willy semakin percaya diri untuk tampil beda. Lama-kelamaan, dia semakin kecanduan untuk berburu barang-barang serupa. Kini melebar ke seragam tentara Amerika Serikat dan sekutunya.

Menurutnya, pernak-pernik militer luar negeri lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan seragam militer Indonesia. "Kalau pakaian militer Indonesia memang sangat susah terutama pada era kemerdekaan bahkan sampai tahun era 60-an atau 70-an pun susah," katanya.

Senada dengan Willy, Vivi Wahyuni juga kegandungan army look karena hobinya menonton film-film perang. Majalah Angkasa, juga menjadi pematiknya untuk mencari pernak-pernik kemiliteran.

Sampai-sampai, ia memutuskan untuk bekerja di salah satu tempat yang menjual barang-barang militer pada tahun 2008. Setali tiga uang, di tempat kerjanya pun mengharuskan untuk mengenakan pakaian-pakaian tactical, yang pada akhirnya menjadikan itu sebagai bagian dari identitas dirinya. 

Pamor pakaian khusus ini terus menanjak, tatkala perkembangan media sosial kian masif. Film-film bergenre perang makin banyak dirilis ke permukaan. Balutan seragam militer yang digunakan para aktor, menjadi perpaduan yang sangat apik dan membuat masyarakat ingin mengikutinya.

"Barang yang dipakai di film itu orang bicarakan di forum-forum. Setelahnya mereka mencari barang-barang itu dan lama kelamaan tertarik sama brand-brand tertentu dan menjadi familiar," ujar Vivi yang juga pemilik toko Indo Tactical Gear.

Dia meyakini, beragam perangkat army look atau tactical gear, termasuk pakaian, memang punya pasar tersendiri dan tidak akan pernah padam. Bahkan pada saat pandemi ini, Vivi merasakan betul banyak sekali orang-orang baru yang mulai belajar tentang fesyen ala militer ini. “Ada orang yang datang baru dan selalu ada,” imbuhnya.

Glorifikasi Militer
Perjalanan tren fesyen seperti paramiliter, di masyarakat sipil sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya peradaban dunia ini. Dalam teori sosiologi, setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi terbentuknya sebuah budaya yaitu sejarah, struktur sosial, dan individu. 

Terkait jiwa kemiliteran yang ada pada masyarakat sipil, sudah pasti tidak bisa lepas dari konteks sejarah militer Eropa. Bahwa pada zaman dahulu kala, militer sudah menjadi bagian dari kelas sosial, dan menempati hierarki nomor tiga setelah Raja atau petinggi negara dalam struktur kenegaraan. 

Kelas militer kian tinggi jika prajurit tersebut memiliki garis keturunan langsung kerajaan atau bangsawan. Atas dasar itulah para anggota militer ini merupakan sosok yang paling disegani dan dihormati oleh masyarakat biasa.

Di Indonesia sendiri, masuknya kebudayaan militer terjadi tatkala negeri ini diinvasi oleh bangsa Eropa, Belanda, dan Portugis. Pada saat menjajah, mereka membawa pengaruh militer masuk ke dalam Indonesia untuk menguasai setiap jengkal pelosok negeri demi mendapatkan rempah-rempah. 

Dengan membawa senjata dan seragam perang, membuat mereka kian mudah menguasai negara jajahannya.

Gerah dijajah dan diperlakukan tidak sewenang-wenang membuat masyarakat Indonesia belajar. Kebudayaan militer yang dibawa oleh penjajah diadopsi dalam pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang hari ini dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). TKR merupakan wadah perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi.

Sosiolog UGM, Muhammad Makro Maarif Sulaiman menguraikan, sifat-sifat kemiliteran bangsa Eropa pada akhirnya juga turut mempengaruhi pembentukan dan pola pikir keluarga di Indonesia. 

Setelah masa penjajahan banyak anggota TNI yang ingin menjadikan anak-anak dan keturunannya untuk melanjutkan jejaknya sebagai seorang tentara. Dari situlah paham tentang militer ini terpatri pada anggota keluarga secara turun temurun.

Selain anggota keluarga, faktor lain yang mendorong seseorang menjadi "cinta militer" adalah pertemanan. Misalnya, seorang anak dari latar belakang sipil yang berteman dengan anak dari latar belakang militer, pasti akan turut terbawa ingin menjadi seorang militer. Dan seiring berjalannya waktu, banyak dari mereka terobsesi untuk menjadi tentara.

Selain itu ada juga faktor media. Misalnya, seorang anak yang masa kecilnya sering menonton tayangan berbau kemiliteran, tentu akan mempengaruhi perilakunya. Pengaruh tersebut bisa terlihat ketika si anak mulai beranjak dewasa dengan tiba-tiba ingin merasa dihormati dan merasa gagah kemudian terobsesi menjadi bagian militer.

 "Ini sangat sistematis. Jadi aktifitas kita itu sebenarnya tidak lepas dari faktor sejarah dan sosial," kata Sulaiman kepada Validnews, Kamis (7/10).

Menurut Sulaiman, puncak dari glorifikasi pamor militer terjadi pada era Orde Baru. Di mana saat itu Soeharto yang duduk sebagai Presiden Indonesia adalah seorang jenderal aktif. Dengan latar belakang tersebut, Soeharto memimpin Indonesia pun dengan cara ala militer. 

Salah satunya adalah program ABRI Masuk Desa. Program tersebut cukup mengglorifikasikan citra ABRI di depan masyarakat desa. Bagi masyarakat desa, anggota ABRI yang menjalankan fungsinya kala itu terlihat gagah dengan seragamnya serta dengan mudah ingin membantu masyarakat kecil. 

Selain itu, Dwifungsi ABRI yang kala itu dijalankan seakan membuat pamor militer kian terangkat. Kala itu, militer bisa menduduki jabatan-jabatan strategis di Indonesia. Hal tersebut pada akhirnya menimbulkan pola pikir baru pada tatanan masyarakat. Banyak yang menginginkan keturunannya untuk menjadi seorang anggota ABRI.

"Makanya mindset militer di zaman Orde Baru cukup terglorifikasi dan dibuat menjadi idaman bahwa militer menjadi bagian dari kekuatan mengatur dan mengendalikan masyarakat," ujarnya.

Arogansi Sipil Sok Militer
Sebenarnya, tren army look cukup memberi dampak positif terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Lewat tren ini, masyarakat bisa hidup lebih disiplin dan menimbulkan karakter pantang menyerah serta berani menghadapi segala tantangan. 

Sayangnya, dalam setiap lini kehidupan tidak selalu berefek positif. Menyoal ini, ada saja oknum-oknum yang membuat sebuah citra baik menjadi buruk. 

Setidaknya ada beberapa kasus yang melibatkan oknum sipil berpenampilan army look, justru bersikap arogan dan merugikan masyarakat di jalanan. Yang paling sering terjadi adalah kasus ‘koboi’ jalanan. 

Sebut saja kasus yang terjadi di bilangan Duren Sawit, Jakarta Timur, pada April 2021 lalu. Seorang masyarakat sipil berinisial MFA yang merupakan pengemudi mobil Fortuner mengintimidasi seorang warga dengan mengeluarkan sepucuk pistol. Kejadian tersebut bermula setelah MFA menyenggol perempuan yang mengendarai sepeda motor.

Kasus MFA ini adalah satu dari sekian banyak kejadian yang menggambarkan arogansi masyarakat sipil yang bergaya sok militer. 

Sulaiman menjelaskan, dampak negatif army look bisa saja berbentuk perilaku kekerasan atau bullying . Banyak juga pemberitaan yang mengungkap tentara atau polisi gadungan untuk mencari keuntungan, bahkan berbuat kejahatan. 

Bukan sekali juga ada berita mengungkap  pemuda yang berlaku dan berseragam menjadi militer untuk memperdaya beberapa perempuan. Tentu saja hal ini akan berdampak buruk bagi citra TNI itu sendiri.

Menurut psikolog klinis, Nirmala, secara psikologis ada dua alasan mengapa orang berpenampilan army look. Pertama, mereka yang hanya menggunakannya untuk kepentingan fesyen semata. Kedua, mereka yang memiliki kebutuhan untuk menunjukan power di depan orang lain. 

Sayangnya, orang-orang dengan poin kedua itulah yang kebablasan. Mereka memanfaatkan atribut untuk bertindak sewenang-wenang dan menjadi arogan. 

Ironisnya, menurut Ika orang-orang berpenampilan army look dan memiliki sifat arogan adalah mereka yang tidak percaya diri dan berlindung di balik sebuah simbol yang disegani kebanyakan orang.

"Kalau aku memperhatikan ini terjadi pada orang-orang yang nggak percaya diri tapi dia punya kebutuhan untuk menampilkan bahwa dia hebat dan dia perlu bersembunyi dalam tanda kutip di belakang baju-baju itu. Karena kalau dia powerful itu dia nggak butuh baju itu. Ibaratnya dia pakai sarung aja orang sudah takut, kagum dengan wibawanya," kata Ika, Rabu (6/10).

Menurutnya, jika orang tersebut percaya diri dengan apa yang dimiliki dirinya, maka ia tidak perlu menggunakan simbol yang membuatnya disegani. 

Kini, sudah saatnya para pecinta kemiliteran untuk menyadari bahwa atribut yang digunakan bukanlah benda main-main. Atribut kemiliteran yang digunakan sudah seharusnya digunakan untuk hal-hal berguna. 

Jika atribut ini digunakan sebagai fesyen, tentu hal itu bukanlah masalah. Namun jika disalahgunakan, ini yang menjadi sumber masalah.  Sejatinya kegagahan itu bukan pada seragam. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER