c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

KULTURA

16 September 2025

08:18 WIB

Alasan Manusia Tertarik Pada Hal-hal Menggemaskan

Rasa gemas bisa dipahami sebagai wujud naluri alami untuk merawat dan melindungi akan sesuatu yang tampak lucu namun sekaligus juga rentan.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Alasan Manusia Tertarik Pada Hal-hal Menggemaskan</p>
<p id="isPasted">Alasan Manusia Tertarik Pada Hal-hal Menggemaskan</p>

Ilustrasi hewan menggemaskan, Kelinci Mini alias Dwarf Rabbit. Sumber Foto: Shutterstock/dok.

Saat melihat hal yang menggemaskan, area seperti ventral striatum dan nucleus accumbens menjadi aktif, melepaskan dopamin yang menimbulkan rasa senang.


JAKARTA - Sejak dulu, manusia memiliki kecenderungan alami untuk tertarik pada hal-hal yang tampak menggemaskan. Tak jarang, melihat bayi dengan pipi tembam atau hewan mungil membuat kita tersenyum, bahkan spontan hendak mencolek, merangkul atau menggendongnya.

Sekilas memang tampak seperti reaksi sederhana, namun sesungguhnya hal ini berkaitan erat dengan psikologi dan naluri dasar manusia.  Lantas, mengapa kita begitu mudah terpesona pada hal-hal yang imut?

Melansir laman Verywell Mind, manusia secara alami memang cenderung menyukai hal-hal yang lucu dan menggemaskan. Daya tarik visual dari sesuatu yang imut mampu memicu emosi positif, membuat seseorang merasa lebih rileks sekaligus bahagia.

Secara psikologis, fitur-fitur yang lucu menumbuhkan rasa kasih sayang dan keinginan untuk berinteraksi secara menyenangkan. Lebih jauh, ada pula penjelasan dari sisi evolusi dengan ciri-ciri seperti hidung kecil, mata besar, dan wajah bulat dianggap sebagai sinyal alami yang membangkitkan dorongan untuk merawat.

Naluri ini muncul dari kebutuhan manusia untuk melindungi keturunan yang lemah demi kelangsungan hidup spesies. Teori Konrad Lorenz, etolog asal Austria, menyebut bahwa banyak hal yang dianggap imut sebenarnya menyerupai bayi manusia.

Artinya, rasa gemas bisa dipahami sebagai wujud naluri alami untuk merawat dan melindungi. Alasan sesuatu terlihat lucu umumnya berkaitan dengan ciri fisik tertentu, seperti tubuh kecil, kepala lebih besar dari badan, mata bulat, dan pipi tembam.

Meski begitu, anggapan tentang kelucuan tidaklah sama bagi setiap orang. Selain itu, faktor  budaya, pengalaman pribadi, hingga suasana hati dapat memengaruhi cara kita menilai sesuatu.

Misalnya, seseorang bisa menganggap anjing pitbull menggemaskan karena punya pengalaman positif dengannya atau orang lain melihat kakek tua berkeriput justru tampak lucu karena kehangatan karakter dan kebijaksanaannya.

Baca juga: Ini Dampak Kesehatan Mental Korban Grooming dan Cara Menanganinya

Dari sisi ilmu saraf, respons terhadap sesuatu yang imut terjadi di pusat penghargaan otak (reward center). Saat melihat hal yang menggemaskan, area seperti ventral striatum dan nucleus accumbens menjadi aktif, melepaskan dopamin yang menimbulkan rasa senang.

Bagian prefrontal korteks yang berperan dalam pengambilan keputusan dan perilaku sosial, juga ikut terlibat. Inilah yang membuat seseorang spontan tersenyum, tergelak, mengeluarkan suara manja, atau terdorong untuk memeluk objek yang tampak imut.

Dampak psikologis dari kelucuan pun cukup mendalam. Biasanya, cuteness membangkitkan rasa bahagia, kehangatan, dan naluri protektif untuk merawat.

Namun terkadang, efek ini begitu kuat hingga memicu perilaku yang disebut cuteness aggression yakni dorongan untuk memeluk erat, mencubit, atau bahkan berkata ingin menggigit. Fenomena ini dianggap sebagai cara otak menyeimbangkan luapan emosi yang terlalu intens agar tidak berlebihan.

Dalam konteks sosial, hal-hal menggemaskan juga bisa menjadi perekat hubungan antarmanusia. Bayangkan suasana tegang saat rapat, lalu seorang anak kecil tiba-tiba melontarkan perkataan lucu. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar