11 November 2020
17:45 WIB
JAKARTA – Telepon seluler dan komputer kini menjadi kebutuhan penting manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup bisa dipenuhi dengan hanya menyentuh kotak layar gawai (gadget). Terlebih di era pandemi covid-19, manusia mau tak mau bergantung pada gawai untuk belajar atau bekerja.
Sayangnya, terlalu lama menatap layar gawai bisa mengakibatkan gangguan penglihatan.
“Darurat mata termasuk kondisi tatkala orang sudah tidak mampu lagi bekerja dan atau belajar lewat komputer/gadget. Tidak hanya akibat kecelakaan yang bisa dikategorikan emergency,” kata Prof. Dr. Tjahjono D. Gondhowiardjo, SpM(K), PhD, guru besar ahli penyakit mata Universitas Indonesia dikutip dari Antara, Rabu (11/11).
Dalam sebuah perbincangan di ruang praktiknya di gedung Jakarta Eye Center, awal November, Prof. Tjahjono mengungkapkan ada rekannya seorang guru besar yang tidak lagi mampu bekerja dengan komputer dan melakukan perawatan mata.
Ada juga seorang anak yang masih usia sekolah terganggu proses belajarnya melalui Zoom karena gangguan penglihatan. JEC (Jakarta Eye Center) yang terletak di Jakarta Pusat itu dipenuhi pasien yang antre seperti pasar.
“Ini bisa dikataan keadaan darurat karena mata menjadi alat vital untuk hidup, penghidupan dan proses belajar mengajar,” katanya.
Orang-orang yang terganggu penglihatannya, kata Tjahjono, tidak bisa dilarang untuk datang ke rumah sakit mata. Padahal beberapa waktu lalu ada imbauan hanya orang-orang yang mengalami sakit gawat darurat boleh ke rumah sakit. Ini untuk mencegah penularan covid-19.
Ahli penyakit mata itu menyampaikan resep untuk menghindari gangguan penglihatan, yakni 20:20:20. Maksudnya, setelah di depan komputer selama 20 menit, harus berhenti selama 20 detik dan kemudian melihat sesuatu yang berjarak 20 meter.
Bisa dibayangkan kemungkinan generasi muda Indonesia akan mengalami gangguan penglihatan karena sejak balita sudah terbiasa terpapar oleh layar. Dirinya berkelakar, orang bisa mengatakan corona telah membuat hari depan dokter mata dan industri optik punya kehidupan cerah.
Sebesar 83 persen informasi sehari-hari manusia bersumber dari mata (penglihatan). Sementara dari 11 persen. Mengutip Edgar Dale dalam Cone of Learning, dari belajar (mengingat), seperti membaca manusia mendapat informasi 10 persen, mendengar 20 persen, melihat 30 persen, mendengar dan melihat 50 persen.
Selain gangguan penglihatan, Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa memiliki jumlah penderita katarak dalam jumlah besar. Juga angka kebutaan yang tinggi. Oleh karena itu, berbagai lembaga sosial aktif melakukan kegiatan operasi katarak gratis.
Dompet Dhuafa pun tergerak melakukan gerakan kemanusiaan ini yang dikemas dalam program APDC (Aksi Peduli Dampak Corona). (Yanurisa Ananta)