c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

12 Maret 2021

15:10 WIB

Ritual Seba Suku Baduy, Bukan Tontonan Melainkan Tuntunan

Kepada pemimpin daerah, masyarakat Baduy berpesan soal nilai persaudaraan, pelestarian alam, dan penegakan hukum

Ritual <i>Seba</i> Suku Baduy, Bukan Tontonan Melainkan Tuntunan
Ritual <i>Seba</i> Suku Baduy, Bukan Tontonan Melainkan Tuntunan
Ketua Adat Warga Baduy Jaro Saidi Putra (kedua kanan) memimpin acara Seba Baduy di Pendopo Gubernur Banten, di Serang, Minggu (5/5/2019). Seba Baduy yang diikuti oleh 1.037 orang itu merupakan tradisi tahunan warga Baduy untuk menyerahkan hasil bumi sekaligus untuk berkomunikasi dengan Bapak Gede atau Gubernur Banten. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

JAKARTA – Ritual kebudayaan memang kerap kali menjadi daya tarik bagi masyarakat setempat atau wisatawan. Namun, terkadang muatan seni dan pariwisata begitu menonjol hingga menggeser sisi spiritual dan kesakralan ritual tersebut. Padahal, ritual kebudayaan selalu mengandung pesan-pesan yang dapat menuntun dalam kehidupan bermasyarakat.

Seba misalnya, ritual penutup tahun dalam kalender masyarakat Baduy (dalam dan luar ini) mengandung makna lebih dari sekadar menutup tahun. Pada ritual ini, masyarakat Baduy yang baru saja panen akan beramai-ramai berjalan kaki menempuh jarak ratusan kilometer untuk menemui pemimpin daerah Banten, mulai dari Bupati Lebak, Pandeglang, Serang, hingga Gubernur Banten. Seluruh peserta perjalanan melakukan perjalanan selama berhari-hari tanpa alas kaki.

Puncaknya, sesampainya di lokasi pemimpin daerah, masyarakat Baduy akan memberikan seserahan berupa hasil tani mereka kepada pemerintah, serta menyampaikan ungkapan-ungkapan berisi aspirasi dan pesan terhadap pemerintah.

Uday Suhada, pemerhati masyarakat adat Baduy menjelaskan, Seba adalah wujud penghayatan masyarakat Baduy terhadap alam. Alam di sini termasuk manusia yang hidup di dalamnya. Bertamu ke pemerintah dianggap sebagai ajang bersilaturahmi, berdialog tentang kondisi alam, serta untuk menitipkan pesan-pesan pelestarian alam kepada pemerintah.

Selain itu, masyarakat Baduy juga berpesan soal kepemimpinan, agar si pemimpin bisa memegang amanah rakyat, dan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya.

Laku itu menunjukkan cara pikir masyarakat Baduy terhadap manusia, alam, maupun negara. Meski hidup dalam kawasan adat yang terisolasi dari modernisasi, masyarakat Baduy memegang  nilai-nilai toleransi yang tinggi, menjunjung tinggi hukum, serta menghormati pemerintah sebagai pemimpin administratif di daerah mereka.

Seba itu adalah rangkaian ritual dan tugas hidup mereka. Seba adalah ritual untuk menjaga ikatan silaturahmi antara masyarakat adat Kanekes (desa pemukiman masyarakat Baduy - red) dengan pemerintah,” ungkap Uday dalam salah satu sesi Seminar Sejarah Banten yang digelar secara daring, Rabu (10/3).

Uday melanjutkan, sebelum memulai Seba, para tetua masyarakat Baduy selalu memesankan tiga pesan kepada pemimpin rombongan yang akan menemui pemerintah. Tiga pesan itu berkaitan dengan nilai-nilai persaudaraan, pelestarian alam, juga tentang penegakan aturan atau hukum. Ketiga pesan itu disampaikan berulang setiap tahunnya kepada pemerintah.

Pesan-pesan masyarakat Baduy termuat dalam ungkapan-ungkapan seperti berikut ini;

Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh dirubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
Yang bukan harus ditolak
Yang jangan harus dilarang
Yang benar harus dibenarkan

“Pesan itu disampaikan berulang kali setiap seba. Tapi yang terjadi justru sering kali didengar tapi tidak dimengerti,” ucap Uday.

Ia menambahkan, memang, pesan yang disampaikan tersebut biasanya disampaikan dengan gaya tutur yang cepat, sehingga masyarakat awam sulit menyimak apalagi memahaminya. Ditambah lagi, banyak kosakata dari bahasa Sunda kuno yang dipakai saat penyampaian pesan-pesan oleh masyarakat Baduy.

Agaknya karena itu pula, banyak masyarakat yang hadir saat Seba tak bisa menangkap sisi sakral dari agenda adat tersebut.

Tak Sebatas Tontonan
Sebelum melaksanakan Seba, masyarakat Baduy yang tinggal di kawasan Gunung Kendeng, Lebak, dan Banten mula-mula melakukan Kawalu. Kawalu merupakan tradisi berpuasa yang biasanya berlangsung selama tiga bulan. Saat Kawalu, wilayah Baduy juga menutup desa. Semua itu sudah dimulai sejak pertengahan Februari lalu.

Jika tak ada aral, ritual tahunan tersebut akan kembali dilaksanakan masyarakat Baduy tahun ini dalam waktu satu hingga dua bulan kedepan.

Momen Seba biasanya difasilitasi pemerintah Banten dengan mengadakan berbagai kegiatan wisata budaya, mulai dari pameran, lomba-lomba, hingga wisata berkonsep eco-tourism. Masyarakat Baduy akan muncul di jalan-jalan dengan pakaian serba hitam dan putih.

Pada ritual Seba, masyarakat Baduy hanya akan mendatangi tiga kabupaten/kota di Banten, yaitu Lebak, Pandeglang dan Serang. Ketiga tempat itu dipilih karena di sana berdiri gunung yang menjadi simbol alam bagi masyarakat Baduy. Pilihan tujuan itu sejalan dengan misi spritual mereka dalam melaksanakan Seba: pelestarian alam.

Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya sisi spritual dari kegiatan Saba Baduy. Mereka sejatinya juga tidak berniat menarik perhatian masyarakat banyak, apalagi berharap jadi tontonan wisatawan. Meski mereka juga tidak melarang wisatawan menonton mereka.

Tapi ada sesuatu yang sakral dalam perjalanan masyarakat Baduy dari ceruk hutan menuju kota, yaitu laku batin yang tak terlepas dari keyakinan, ajaran leluhur, serta kecintaan terhadap alam.

Karena itulah, Uday mengingatkan pentingnya bagi masyarakat umum, wisatawan, hingga pemerintah Banten untuk memosisikan Seba sebagai agenda budaya, alih-alih pariwisata.

“Soal kesakralan upacara Seba ini, itu yang perlu kita jaga. Misalnya pada saat mereka datang ke sini dalam waktu dekat, satu atau dua bulan ke depan, kita lebih menganggap itu sebagai bukan peristiwa seni ataupun pariwisata, tapi peristiwa budaya yang memang rutin,” katanya.

Uday tak menampik Seba juga bisa memancing datangnya wisatawan dari luar daerah Banten. Hal itu tidak masalah, menurut Uday, sejauh masyarakat Banten maupun para wisatawan bisa menjaga diri untuk tidak mengekspos Seba atau masyarakat Baduy secara berlebihan, sehingga menghilangkan nilai sakral dari kegiatan tersebut.

Alih-alih menjadikan masyarakat Baduy sebagai objek tontonan, Suhada mengajak masyarakat untuk melihat Seba sebagai momen pembelajaran tentang alam pikiran masyarakat Baduy. Menurutnya, nilai kebaikan hidup begitu banyak ada pada masyarakat Baduy, nilai yang hari ini mungkin sulit ditemukan di masyarakat modern.

“Baduy itu adalah guru bagi kita dalam banyak hal. Mereka adalah teladan. Sungguh pun di Baduy tidak ada sekolah formal, tapi mereka belajar semua. Sekolah, tapi tidak formal,” kata pria yang juga aktivis anti-korupsi serta Direktur Aliansi Independen Peduli Publik  (ALIPP) ini.

Pemerintah Banten dinilai harus menempatkan diri sebagai fasilitator untuk agenda Seba masyarakat Baduy dan tetap menjaga nilai di dalamnya. Pemerintah sebagai pemegang kuasa pariwisata, harus memahami bahwa Seba dan masyarakat Baduy bukan tontonan, tapi tuntunan. (Andesta Herli)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar