c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

23 Februari 2021

08:33 WIB

Pelaku Industri Film Jangan Hanya Berharap Pada Bioskop

Perlu strategi-strategi baru untuk menggairahkan kembali perfilman Indonesia

Pelaku Industri Film Jangan Hanya Berharap Pada Bioskop
Pelaku Industri Film Jangan Hanya Berharap Pada Bioskop
Sejumlah pengunjung menonton film di bioskop Kota Cinema Mall, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11/2020). Pemerintah setempat mengizinkan pengelola bioskop untuk kembali beroperasi dengan kapasitas penonton maksimal 50 persen dari total kapasitas. ANTARAFOTO/Fakhri Hermansyah

JAKARTA – Guna menggairahkan kembali perfilman layar lebar, para pelaku industri film Indonesia perlu mengubah model bisnis. Tidak lagi hanya bergantung pada bioskop, tapi perlu mencoba konsep film berbiaya produksi rendah.

Selama ini, sumber penghasilan terbesar pelaku industri film masih berasal dari penjualan tiket di bioskop. Namun karena pandemi, banyak bioskop yang harus beroperasi dengan sejumlah pembatasan yang berakibat pada penjualan tiket.

"Mau tidak mau, bukan sekadar bertahan atau berharap, tapi harus mengubah paradigma maupun model bisnisnya. Paradigmanya adalah tidak bisa lagi mengandalkan bioskop. Kemudian dilemanya apa yang okupansi setara dengan arus pendapatan dari pembelian karcis? Yang tersedia sebagai platform utama di pandemi adalah OTT (layanan over the top)," kata pengamat film yang juga Anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, Hikmat Darmawan, dilansir dari Antara, Senin (22/2)

Meski demikian, monetisasi layanan streaming digital tidak sebesar dibandingkan dengan penjualan tiket bioskop. Untuk itu, pembuat film harus merancang ulang model bisnisnya.

"Tidak lagi mengandalkan pada big budget box office movie. Apalagi untuk kasus Indonesia. Kalau Hollywood masih punya infrastruktur untuk memproduksi film big budget box office movie walaupun ekspetasi penonton jatuh. Mereka punya infrastruktur yang kokoh untuk memproduksi film seperti itu," ujarnya. 

Hikmat melanjutkan, saat ini memproduksi film dengan biaya produksi rendah menjadi pilihan yang wajar bagi pembuat film. Meskipun bahwa hal itu juga akan berpengaruh dari segi estetika dan hasil dari film yang diproduksi.

"Menurut saya singkatnya model pembuatan film berbiaya kecil yang ceritanya non fantasi, tapi lebih dekat dengan pengalaman manusia sehari-hari, drama, itu mungkin akan lebih rasional dan akan lebih banyak dimuat," tuturnya.

Menurutnya, saat ini produksi film animasi juga menjadi peluang baru yang bisa dimanfaatkan oleh pembuat film, untuk mengakali situasi pandemi dengan adanya pembatasan.

"Mungkin adalah kalau ada pebisnis yang jeli matanya adalah apa yang tidak membutuhkan produksi terlalu banyak, yaitu animasi," sambung Hikmat Darmawan.

Restorasi film lama, menurutnya juga menjadi bisnis yang menarik. Di samping itu, variabel yang harus diperhitungkan sekarang adalah tidak lagi mengandalkan pada pasar lokal saja terutama kalau hanya bioskop

Hikmat mengatakan, film produksi Indonesia memiliki potensi untuk menjangkau pasar internasional. Namun untuk memasarkan film Indonesia ke masyarakat dunia, menurut Hikmat, perlu adanya strategi pemasaran yang tepat.

"Yang diperlukan strategi marketing untuk benar-benar bisa menggarap pasar internasional itu. Jadi bukan hanya sekadar produk atau pendekatan estetik. Ketemu enggak model distribusinya," imbuhnya. (Satrio Wicaksono)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar