23 September 2019
19:17 WIB
JAKARTA – Seorang bocah kecil bernama Dodi hidup di tengah keluarga miskin. Dalam kesehariannya dia sering berendam di dalam bak mandi karena berpikir bak mandi itu adalah bathtub.
Kehidupan Dodi bersama kedua kakaknya, termasuk ibunda mereka mendadak berubah total, saat sang ayah meninggal dunia. Mereka mendapat warisan yang sangat banyak yang membuat kondisi ekonomi mereka berubah total.
Ternyata sang ayah selama hidupnya menyembunyikan banyak hal, termasuk harta dan pekerjaannya selama dia hidup. Akhirnya, mereka pun hidup sebagai orang kaya baru dengan gaya hidup yang berbeda dari sebelumnya.
Dodi adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dalam film Orang Kaya Baru (OKB) yang ditulis oleh Joko Anwar. Pada suatu kesempatan Joko mengungkap, film itu sejatinya menceritakan tentang kisah hidupnya sendiri.
Ia juga menyebut bahwa tokoh Dodi menggambarkan dirinya yang semasa kecil senang mandi di dalam bak mandi. Joko jujur mengungkapkan, ia memang dilahirkan dalam keluarga miskin. Kala itu, ia sempat berkhayal bahwa ayahnya adalah orang kaya.
Joko lahir di Medan pada 3 Januari 1976. Ia besar di sebuah keluarga yang hidup di kawasan perkampungan miskin di Medan, Sumatera Utara. Ayahnya bekerja sebagai tukang bubut dan ibunya penjual kain keliling.
Bisa dikatakan kehidupan Joko kecil sangat susah. Terkadang, untuk makan saja, Joko rela ikut sang ibu untuk menagih uang hasil penjualan kain ke pasar dan rumah warga yang memesan kain. Para pelanggan kain ibunya merupakan pedagang dan pengusaha jasa cukur rambut.
Bila para pembeli tak bisa membayar angsuran, Joko kerap diminta ibunya untuk makan dan minum dari dagangan pelanggan. Hal itu terjadi hampir terjadi setiap hari.
Hanya saja, meski dibesarkan di lingkungan keluarga miskin, Joko memiliki impian yang tinggi. Dia bercita-cita memiliki peran dalam industri perfilman Indonesia. Keinginan ini sudah terlihat semasa dia kecil.
Sejak usia lima tahun, Joko sudah sering pergi ke berbagai bioskop. Film yang sering ditontonnya kala itu adalah film kungfu dan horor. Karena berlatar belakang dari keluarga yang tidak kaya, Joko menyiasati hobinya menonton film di bioskop dengan mengintipnya dari lubang angin bioskop.
Joko kecil pun selalu bermimpi untuk menjadi aktor besar di Tanah Air. Sayang, keinginan itu tidak dilanjutkannya. Joko terbebani oleh perkataan kakaknya yang menyatakan dirinya tak memiliki wajah rupawan untuk menjadi seorang aktor besar.
Ia pun memutar otak. Meski masih kecil, Joko memikirkan pekerjaan lainnya yang masih berhubungan dengan pembuatan film, yakni sutradara.
Cita-cita Joko kecil bukan omong kosong belaka. Sejak duduk di bangku pendidikan sekolah menengah pertama (SMP), Joko sudah mencoba untuk menulis dan menyutradarai pertunjukan drama di sekolahnya. Kala itu, drama yang dibuatnya menyadur karya Shakespeare yang berjudul The Merchant of Venice.
Kegiatan menyutradarai itu terus dilakukannya. Di bangku SMA, Joko mulai mencoba untuk membuat film. Namun, saat itu, dia tak memiliki peralatan yang cukup untuk memproduksinya.
Joko tak kehabisan akal. Dia mencoba untuk meminjam kamera dari temannya. Kemudian, mulai memikirkan film yang akan dibuatnya. Kala itu, dia mencoba untuk membuat film tentang domba. Film berdurasi tujuh menit itu kemudian dieditnya secara manual. Hasilnya, cukup memuaskan bagi Joko.
Tamat dari bangku sekolah, hasrat Joko untuk belajar film kian menggebu-gebu. Namun, Joko sadar kondisi keuangan keluarganya tidak mendukung. Apalagi, untuk belajar mengenai film membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Insinyur Jadi Wartawan
Pada perjalanannya, cita-cita Joko seakan menemui titik terang. Kala itu, Joko tengah berbincang dengan seorang temannya. Dalam perbincangan itu, Joko disarankan untuk menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Alasannya, di sana, Joko bisa mengikuti perlombaan pembuatan film di kampus. Setelah berpikir untuk beberapa waktu, akhirnya Joko memutuskan untuk mengambil Jurusan Aerospace Engineering atau Teknik Penerbangan pada 1994.
Selama berkuliah di ITB, dia mencoba menyalurkan minatnya di dunia sinematografi. Joko bergabung dengan klub universitas yang berhubungan dengan film seperti teater ataupun sinematografi. Sayang, Joko gagal di audisi.
Tapi, kala itu, Joko memiliki kesempatan untuk menampilkan film yang dibuatnya. Film itu berjudul Amox. Menceritakan tentang seorang mahasiswa yang tak lulus dari pendidikannya. Dalam cerita itu, pemeran utamanya memiliki hasrat untuk membunuh semua orang yang tinggal bersamanya.
Sayang, tayangan itu tak diteruskan. Dosen pengajarnya protes. Film itu dianggap menakutkan. Apalagi, tiap adegannya memperlihatkan darah dan seperti proses mutilasi. Joko kembali gagal mempersembahkan karyanya.
Setelah lulus, Joko menyandang gelar sebagai insinyur. Tetapi, dia tak ingin berkarier sebagai insinyur seperti kebanyakan lulusan sarjana teknik pada umumnya. Bisa dikatakan, Joko tak ingin menggunakan gelar sarjana yang dimilikinya.
Malahan, ketika Joko masih menyewa tempat tinggal di kawasan Kemang, ia sempat mengalami musibah kebanjiran. Saat itu ijazahnya ikut terendam banjir. Alih-alih menyelamatkan ijazah tersebut, dia justru memilih menyelamatkan barang lainnya.
Meski tanpa ijazah, Joko tetap ingin menjadi sutradara film. Dibenaknya, satu-satunya cara baginya untuk berkecimpung dalam dunia film adalah mejadi seorang reporter atau wartawan. Joko berfikiran, bila menjadi seorang wartawan, dia bisa menjual script kepada sutradara bahkan produser film.
Karenanya, pada awal 2000-an, Joko melamar menjadi reporter di The Jakarta Post salah satu media ternama berbahasa inggris di Tanah Air. Sayang, penugasan dari kantornya bertolak belakang dengan imajinasi di dalam pikirannya.
Ternyata, Joko ditugaskan untuk memberikan laporan peristiwa kriminal dari Polda Metro Jaya. Tentu saja, hal ini menjadi penghambat baginya. Sebab, dia hanya mengurusi tentang kejahatan ibu kota dan lainnya.
Meski belum bisa mewujudkan mimpi menjadi seorang sutradara, dia tak pernah berhenti bermimpi dan membuat script fim. Dalam usahanya itu ia pun melebarkan sayap untuk menjadi seorang kritikus film. Ia meyakini pekerjaan ini bisa membuka jalannya sebagai seorang sutradara. Menurutnya, seorang kritikus film pasti dekat dengan dunia perfilman Indonesia.
Dalam praktiknya, tidaklah demikian. Joko malah dibenci oleh kebanyakan pembuat film. Meski begitu, Joko tetap pada pilihannya menjadi kritikus film.

Meraih Sukses
Suatu ketika, secercah harapan menghampiri Joko. Dia memiliki kesempatan untuk mewawancarai Nia Dinata untuk membuat artikel di The Jakarta Post.
Saat pertemuannya dengan produser dan sutradara film ternama itu, Joko sempat mengaku kepada Nia bahwa dia juga sering menulis skenario film. Mendengar cerita itu, Nia Dinata tertarik untuk membaca alur cerita yang dibuatnya.
Lantas, Joko menunjukkan naskah film Janji Joni yang ditulisnya saat duduk di bangku kuliah sebanyak 20 halaman. Gayung bersambut. Nia tertarik dengan cerita dalam tulisan itu.
Selang beberapa waktu, Nia Dinata mengajak Joko untuk bertemu. Nia menawarkan untuk membantunya menulis cerita yang bercerita tentang perkumpulan ibu-ibu yang sedang melakukan kegiatan arisan.
Tanpa pikir panjang, Joko langsung menerima tawaran itu. Joko bersedia untuk menulis cerita itu. Film itu diberi judul Arisan!. Sinema ini dirilis pada 2003.
Ternyata, di luar perkiraan Joko, film yang ditulisnya itu meraih kesuksesan baik secara komersial maupun pujian dari para kritikus. Film itu bahkan memenangkan beberapa penghargaan dari dalam dan luar negeri. Sebut saja, penghargaan film Terbaik di Festival Film Indonesia. Lalu, Best Movie di MTV Indonesia Movie Awards pada 2004.
Namun, penghargaan itu, justru tak membuat Joko puas hanya berkiprah sebagai penulis naskah saja. Joko kemudian memberanikan diri untuk menyutradarai film pertamannya. Film komedi romantis berjudul Janji Joni (Joni’s Promise) pada 2005. Film dengan bintang utamanya Nicolas Saputra dan Mariana Renata.
Memang, dalam debut pertamanya ini Joko belum memiliki pengalaman sekolah film. Makanya, pada syuting pertama Janji Joni, Joko hanya mengandalkan insting terkait teknik film. Untungnya, dia pernah menjadi asisten sutradara sehingga sedikit paham terkait proses pembuatannya.
Modalnya hanya membuat film story telling. Bercerita, melalui format layar lebar yang membuatnya selalu termotivasi untuk menghasilkan sebuah film yang mampu bercerita kepada penonton.
Di luar perkiraan, film yang dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Mariana Renata itu berhasil menjadi film box office terbesar pada 2005. Penghargaan pun diraihnya. Misalnya, Best Movie di MTV Indonesia Movie Awards 2005. SET Foundation yang dikepalai oleh Garin Nugroho pun mengganjarnya dengan penghargaan khusus untuk ‘cara bercerita yang inovatif’.
Penghargaan Internasional
Hebatnya, film pertama yang disutradarai Joko itu tak hanya mendapat perhatian dari dalam negeri saja. Film itu, masuk dalam seleksi festival film internasional bergengsi. Di antaranya adalah Sydney Film Festival dan Busan International Film Festival.
Kesuksesan itu, kian memacu Joko untuk berkarya. Pada 2007, Joko kembali ke layar lebar dengan fim Kala. Film ini disebut sebagai film noir atau film sinematik yang digunakan untuk menggambarkan gaya film Hollywood.
Ternyata, film ini mendapat pujian dari kritikus internasional. Majalah film terkemuka asal Inggris, Sight & Sound, memilih film ini sebagai salah satu film terbaik pada tahun 2007. Dalam majalah itu Joko disebut sebagai “salah satu sutradara tercerdas di Asia”.
Di dunia internasional, film ini juga berhasil dipilih lebih dari 30 film festival internasional dan mendapat berbagai penghargaan. Di antaranya adalah Jury Prize di New York Asian Film Festival.
Pada tahun-tahun berikutnya, Joko terlibat penulisan film untuk sutradara lain. Seperti Jakarta Undercover (2007), Quickie Express (2007), dan Fiksi (2008). Film-film ini pun sukses secara komersial dan dinobatkan sebagai “Film Terbaik”.
Pada 2009, Joko kembali merilis film ketiga yang disutradarainya. Film ini berjudul Pintu Terlarang. Film bergenre thriller psikologis yang dibintangi oleh Fachri Albar dan Marsha Timothy ini pun menuai banyak pujian. Film yang dibuat Joko masuk dalam seleksi di beberapa festival internasional seperti Film Festival Rotterdam, New York Asian Film Festival, dan Dead by Dam.
Lalu, film Pintu Terlarang juga mendapat penghargaan sebagai film terbaik oleh Puchon International Fantastic Film Festival 2009.
Sekali lagi, Joko tak pernah puas dengan apa yang dihasilkannya. Dia terus berpikiran untuk memunculkan sesuatu yang beda dalam seni sinematografi. Joko menjajal peruntungannya sebagai pemeran pada beberapa film yang disutradarainya yaitu Madame X (2010), Demi Ucok (2013), 3Sum (2013), Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014), dan Melancholy Is A Movement (2015).
Dua tahun lalu, Joko pun mengeluarkan karyanya lagi. Film ini berjudul Pengabdi Setan. Sinema itu bergenre horor yang di remake dari film berjudul yang sama pada 1980.
Film yang pernah tayang sebelumnya di tahun 1986 silam ini dibuat ulang oleh Joko dengan versi film dan cerita yang lebih modern dari aslinya, tanpa menghilangkan sisi horornya. Berbagai penghargaan pun didapatnya dari film ini.
Ternyata, Joko memiliki tujuan lain di balik pembuatan film horor ini. Joko berkeinginan, film Pengabdi Setan menjadi standar untuk pembuatan film horor di Tanah Air. Joko berharap, pembuatan film horor di Indonesia harus lebih baik dari karyanya.
Nah, baru-baru ini, Joko pun kembali merilis film berjudul Gundala. Film ini diambil dari cerita komik yang dibacanya saat masih kecil. Joko mengakui, dia sangat menggemari cerita tersebut. Joko berpandangan, bila cerita Gundala masih berbentuk komik, tak banyak orang yang tertarik membacanya. Berbeda halnya bila cerita super hero asal Indonesia itu dituangkan dalam film.
“Film ini diambil dari cerita komik yang pasti mendapat perhatian dari para penonton zaman sekarang,” kata Joko saat ditemui Validnews usai pemutaran perdana Gundala beberapa waktu lalu.
Gundala pun boleh dikatakan sebagai film yang membawa harapan bahwa Indonesia kini memiliki film superhero atau pahlawan super. Sampai dua minggu penayangannya, Gundala telah ditonton lebih dari 1,5 juta orang. Selain itu, film ini juga tayang di Toronto International Film Festival 2019.
Toronto International Film Festival (TIFF) yang berlangsung tanggal 5–15 September 2019 sendiri adalah satu dari lima festival film paling bergengsi dan terbesar di dunia selain Cannes Film Festival, Venice Film Festival, Berlin Film Festival, serta Sundance Film Festival. Seleksi untuk bisa masuk ke dalam festival-festival ini sangat ketat dan sangat sulit ditembus. TIFF setiap tahunnya pun dikunjungi oleh sekitar 500 ribu penonton.
Dari banyak film yang sudah ia buat, dan banyaknya prestasi yang ia dapat, Joko mengaku bangga pada semua filmnya. Ia mengaku tidak akan membuat film jika ia tidak percaya pada cerita dalam film tersebut. Begitu pula dia tidak akan membuat film jika dia tak percaya bahwa cerita itu baik untuk diceritakan kepada orang lain.
“Kalau bangga, tentunya gue bangga. Sama aja kayak lo punya anak, terus ada anak yang bikin lo gak bangga, itu aneh sih. Tentu gue bangga sama semua film gue,” kata Joko.
Bagi Joko menjadi seorang sutradara film bukanlah hal yang mudah. Minimal, kata Joko, sutradara harus memiliki pengetahuan tentang sinematografi. Artinya, sebelum proses syuting sang sutradara telah memiliki gambaran film dalam benaknya. Kemudian, membangun imajinasi itu dan mengembangkannya kepada tim. Lalu, memiliki pengetahuan estetika film.
Joko pun berpendapat, dalam dunia film, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah. Yakni kurangnya pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk film. Joko menyebut, Indonesia masih kekurangan sekolah dan lembaga pendidikan untuk film. (James Manullang)