26 Juli 2017
16:13 WIB
Editor: Rikando Somba
JAKARTA- Konsistensi. Mungkin itu kata yang tepat buat menggambarkan sosok Eddie Marzuki Nalapraya. Kesetiaannya pada profesi dan hobi dibuktikannya meski usia sudah tak lagi muda.
Ya, nama Eddie Nalapraya memang sangat sulit dipisahkan dari dunia silat. Bahkan pengakuan atas dedikasinya terhadap Pencak Silat masih terus saja mengalir, meski ia sudah tak lagi menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Namanya masih kerap jadi buah bibir masyarakat khususnya para pesilat nasional dan dunia.
Teranyar, Fakultas Olahraga Unersitas Negeri Jakarta (UNJ) menganugerahkan Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta (1984-1988) ini, gelar Doctor Honoris Causa (DR HC) bidang olahraga. Kiprahnya yang luar biasa dalam memajukan olahraga pencak silat di nusantara sampai dikenal dunia menjadi salah satu alasan gelar tersebut diberikan kepadanya.
Dekan Fakultas Olahraga UNJ Abdul Sukur mengatakan, proses penganugerahan gelar DR HC kepada Eddie dimulai sejak rahun 2016 lalu. Pengajuan nama Eddie sendiri didasarkan oleh sejumlah prestasi Eddie di dunia Pencak Silat. Ia menuturkan, dalam rapat senat, nama Eddie masuk daftar 10 nama calon penerima gelar DR HC.
“Kemudian Rapat senat yang dihadiri 65 anggota senat dan 40 guru besar, semuanya setuju UNJ menganugerahkan DR HC ke Pak Eddie. Kami melihat jasa- jasa beliau yang luar biasa. menasionalkan dan menduniakan Pencak Silat, antara lain membuat Pencak Silat bisa dipertandingkan di Sea Games 1987,” kata Abdul Sukur di acara Tasyakuran atas penganugerahan gelar DR HC kepada Mayor Jenderal (Pur) Eddie Marzuki Nalapraya di Padepokan Pencak Silat Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Sabtu (22/7).
Penghormatan sejumlah kalangan terhadap Eddie memang begitu terlhat dalam acara tersebut. Validnews yang hadir di acara tersebut merasakan sendiri bagaimana aura ‘kebintangan’ Eddie masih memukau banyak orang di usianya yang 86 tahun ini.
Tampak hadir di acara itu tokoh-tokoh Silat dari berbagai perguruan dan berbagai daerah yang tergabung ke dalam IPSI, mantan atlet pencak silat nasional, Pengurus Badan Musyawarag (Bamus) Betawi, Pengurus RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia), sejumlah kolega, keluarga serta sahabat.
Ketua Umum Bamus Betawi Zainuddin mengatakan, penganugerahan gelar DR HC ini sangat pantas mengingat perjuangan Eddie yang sangat total dan berdedikasi tinggi dalam memajukan olahraga pencak silat ke kancah Internasional. “Melalui kepemimpinannya olahraga pencak silat yang juga merupakan olahraga asli betawi kini berkembang pesat tidak hanya di Indonesia tapi juga merambah asia bahkan juga ke seluruh dunia,” tuturnya.
Tak hanya itu, bagi Zainuddin dan orang Betawi, sosok Eddie adalah sosok yang sangat lengkap. “Apresiasi, pengayoman dan keteladanan beliau kepada kami sangat menonjol sehingga budaya betawi yang dulu terpinggirkan, kini bisa menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Itu semua berkat perjuangan beliau dalam mendorong lahirnya Perda Pelestarian Budaya Betawi,” ucap pria yang akrab dipanggil Oding ini.
Seperti diketauhi, lahirnya Perda Nomer 6 tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi juga diikuti dengan lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) no 229 tahun 2016 dan terakhir (Pergub) No 11 tahun 2017 tentang ikon budaya Betawi. Dengan beleid tersebut, ada kewajiban dari semua pihak di Jakarta untuk mengutamakan kebudayaan Betawi di sejumlah lingkup kegiatan sosial kemasyarakatan.
Anak Priok
Eddie Nalapraya lahir di Tanjung Priok pada 6 Juni 1931, dari pasangan H. Soetarman dan Hj. Marsati, di tengah suasana perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Masa kecilnya ia habiskan di Jakarta Utara. Begitu terkenangnya Eddie dengan kenangan masa kecilnya sampai ia pun menamai anak kelimanya Marunda.
Eddi kecil memulai sekolahnya di Sekolah Rakyat, meski ia sempat sekolah di Christilijke Hollandsch Chinese School (HCS) hingga kelas IV, dan menerusknanya di Sekolah Rakyat daerah Kernolong, Kwitang, Di sana ia juga mendapat pendidikan agama dari Uztad Abdul Rasyid.
Selain sekolah umum dan agama, ia juga belajar ‘maen pukulan’ dari Sang Kakek, H Bogo, seorang penghulu distrik Tanjung Priok sekaligus pendekar silat dari Rempoa. Tinggal bersama adik kakeknya yang pegawai PTT, tiap akhir minggu ia dijemput pulang ke Tanjungpriok.
Sambil dibonceng sepeda, ayahnya kerap bertutur mengenai gubuk-gubuk di Ancol yang mereka lalui. ''Inilah pribumi yang menderita, sementara Belanda tinggal di gedung mewah,'' kata sang ayah. Bagi Eddie, inilah 'pelajaran pertama’ yang membangkitkan rasa nasionalismenya.
Ia pun tergerak hatinya untuk membantu pejuang bangsa merebut kemerdekaan. Tatkala pecah revolusi, ia dibawa mengungsi ke Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 1947. Dengan status pelajar Sekolah Menengah Pertama, di usia belasan tahun, ia bergabung dengan BKR sebagai tentara pelajar.
Ia ikut perang gerilya menghadapi Agresi Militer I di daerah Tasikmalaya bersama Datasemen Garuda Putih divisi Siliwangi dibawah pimpinan Kapten Burdah (ayahanda Rhoma Irama) Rhoma sendiri sempat sedikit menceritakan hal ini di acara tasyakuran.
“Saya dan Pak Eddie ini punya hubungan keluarga dan hubungan emosional yang sangat dalam. Pak Eddie ini anak buah ayah saya (Burdah). Saat perang dulu, Pak Eddie ini yang gendong-gendong saya sambal lari. Jadi maaf Pak Eddie kalau saya juga sempat mengencingi Bapak,” kata Rhoma sambil tersenyum.
Karir Militer
Eddie kemudian juga sempat mengeyam Pendidikan di sekolah Bintara Administrasi di Surabaya (1951), selanjutnya menempuh Sekolah Perwira di Bandung (1957), dan berkesempatan menempuh pendidikan militer di luar negeri antara lain di Securiy Course (1962) dan Command and General Staff Colege, Leavenworth (1972).
Di karir militernya, Eddie pernah terlibat dalam pengamanan para perwira tinggi TNI pasca tragedi Pemberontakan PKI pada September 1965. Tepatnya pada bulan November 1965, Eddie yang saat itu berpangkat Kapten Infantri, ditugaskan melakukan pengamanan terhadap Jenderal Soeharto beserta seluruh Perwira Tinggi Komando Tertinggi Angkatan Darat, Laut dan Udara.
Tugas ini diemban oleh Eddie hingga tahun 1967. Sampai pada Maret 1967, Eddie kemudian diangkat menjadi Komandan Kawal Pribadi Jenderal Soeharto yang saat itu diangkat menjadi Acting President. Dari tahun 1967 sampai dengan 1972, Eddie M Nalapraya bergabung ke dalam Satgas POMAD, yang salah satu tugas utamanya adalah melakukan pengawalan dan pengamanan terhadap Presiden.
Dalam masa pemberontakan PRRI, Eddie juga ditugaskan di Sumatra, juga di Sulawesi Utara untuk menghadapi kaum Permesta. Ia pun dikirim ke Kongo waktu Indonesia diminta untuk menjadi pasukan PBB ke negara itu.
Pada 1974, Eddie menjabat sebagai Waassop Kodam V/Jaya. Kemudian menjadi Asisten Pengamanan Garnizun Ibu Kota (1975), Asinten Kodam V/Jaya (1977), Kasdam V/Jaya (1979-1983), Asisten Teritorial Hankam (1983-1984) sampai Wakil Gubernur DKI Jaya (1984-1987) mendampingi Gubernur DKI Jakarta R. Soeprapto
Menikah dengan gadis indo Jerman-Jawa, Anne Marie, Eddie dikaruniai lima anak. Semasa pacaran, ia pun menambahkan namanya dengan Eddie. 'Kan nggak enak jika selalu dipanggil si Juki,'' kata Eddie berseloroh.
Pada 1963, Anne Marie wafat, Eddie kemudian menikah lagi dengan wanita Indo Prancis-Bugis, Merry, yang merubah namanya menjadi Mariam setelah berstatus hajjah pada tahun 1976. Kini total Eddie dikarunia 13 anak.

Tokoh Pencak Silat Eddie M. Nalapraya (kanan) mendaptkan gelar Docktor Martial Arts dari Malaysian Martial Arts Grand Masters Association (MAGMA) di Kuala Lumpur, Malaysia. Martialarts.com
Legenda Silat
Selain karir mileternya yang moncer, Eddie sebenarnya juga paling dikenal dengan lakonnya di dunia persilatan, bukan cuma seantero negeri, tapi juga ke mancanegara. Begitu cintaia Eddie dengan silat, ia pun mengaku rela menghabiskan hartanya demi olah raga pencak silat di dalam dan luar negeri.
Kecintaanya terhadap pencak silat telah dipupuk sejak tahun 1978, Tatkala Eddie dipercaya menjadi Ketua Pengurus Daerah (Pengda) Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) DKI Jakarta.
Sejak saat itulah ia mulai git mempromosikan pencak silat ke seluruh Indonesia dan ke luar negeri. Ia pun memprakarsasi terbentuknya Persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa (Persilat) tahun 1980. Baginya Persilat merupakan wadah untuk mengaktualisasikan diri bagi pesilat-pesilat di tingkat Internasional seperti persekutuan silat Singgapor (PERSISI), Persekutuan Silat Kebangsaan Malaysia (PESAKA) dan utusan dari Brunai Darusalam
D tahun 1980, ia pun terpilih sebagai Presiden Persilat. Kemudian di tahun 1981-2003, Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1998-2003 ini dipercaya menjadi Ketua Umum PB IPSI sebelum akhirnya digantikan oleh Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.
Waktu berlalu, buah kerjanya mengenalkan silat di senatero dunia pun menunjukan hasil. Kini berbagai perguruan pencak silat Indonesia sudah banyak membuka cabang-cabang di luar negeri. Negara anggota perguruan pencak silat pun sudah mencapai 33 negara.
Eddie dianggap mampu menyatukan para pesilat dari Malaysia dan Singapura memajukan pencak silat melalui Kejuaraan Dunia Pencak Silat pada 1982 dan 1984 di Jakarta, tahun 1986 di Winna Austria, tahun 1987 di Malaysia, tahun 1988 di Singapura, 1990 di Den Haag Belanda, dan tahun 1992 di Indonesia.
Bahkan, untuk pertama kalinya pencak silat dipertandingkan pada Sea Games 1987. Sejak tahun 2003 keberadaan pencak silat pun sudah diakui oleh Olympic Committee of Asian (OCA) Komite Olimpiade Asia dan sudah dimasukkan dalam Konstitusi.
Sebagai tindak lanjut pengakuan tersebut, pencak silat telah resmi diperlombakan pada Asia Beach Games 2008 di Bali. Juga di Asia Martial Art Games 2009 Agustus di Thailand serta Asian Indoor Games di Hanoi bulan November 2009.
Di tahun 1997 Eddie sebenarnya juga sempat diangkat sebagai pendekar besar kehormatan peguruan silat tapak suci dan tahun 2000 mendapat penghargaan sebagai pembina olahraga terbaik 1 abad dari KONI pusat. Selanjutnya di tahun 2005, ia menerima anugerah selendang kehormatan tertinggi dari pertumbuhan sebi silat lincah Malaysia.
Di tahun yang sama, Eddie diangkat sebagai dewan pendekar kehormatan keluarga pencak silat nusantara serta 2008 ditetapkan sebagai bapak pencak silat Eropa di Swiss, bersamaan dengan penyelenggaraan kejuaraan Eropa.
Sebagai bentuk pengakuan pemerintah atas komitmen dan semangat luar biasa serta kecintaan yang besar terhadap kemajuan dan prestasi pencak silat Indonesia, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Pratama dari Pemerintah Republik Indonesia.
Namun baginya, sejumlah pengakuan dan penghargaan bukan segalanya. Tujuannya yang itama adalah menciptakan prestasi dan pencitraan yang baik bagi Indonesia di mata dunia.
“Di usia saya yang ke-86 tahun ini sudah banyak yang saya capai. Tuhan sudah sangat baik kepada saya. Tapi kalau boleh saya ingin pencak silat meraih prestasi maksimal di Asian Games tahun depan yang akan diadakan di Jakarta. Selanjutnya saya juga ingin pencak silat bisa dipertandingkan di pesta olahraga dunia Olimpiade,” tutur Eddie.
Sejauh ini, ia merasa senang dengan perkembangan silat yang diterima generasi muda yang tidak lagi merasa pencak silat sebagai olahraga kampungan. “Mereka tidak lagi malu menggenakan seragam pencak silat ditempat umum. Beda dengan tahun 80-an. Saat itu seragam pencak silat hanya dikenakan ditempat latihan selebihnya dilepas,” ucapnya.
Terakhir, ia juga berharap pencak silat bisa diakui sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuwan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Perjuangan untuk mendapat pengakuan tersebut sejatinya sudah dimulai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendaftarkan pencak silat sebagai warisan budaya dunia tak benda asal Indonesia ke UNESCO.
Dalam kurun dua tahun ke depan, UNESCO akan melakukan verifikasi dengan melakukan penilaian langsung ke sejumlah daerah terutama Jawa Barat. Kata Eddie, saat ini jumlah budaya tak benda Indonesia ada sebanyak 444 budaya. Namun, yang sudah diakui UNESCO baru sebanyak tujuh budaya. Di antaranya, wayang, angklung, tari saman dan batik. “Mudah-mudahan bertambah satu yaitu pencak silat,” imbuhnya. (Faisal Rachman)