c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

17 April 2021

12:42 WIB

Dua Desa "Pengimpor" Pengusaha Warteg di Kota

Dulu sejarahnya sebagai juru masak bagi prajurit Mataram

Dua Desa "Pengimpor" Pengusaha Warteg di Kota
Dua Desa "Pengimpor" Pengusaha Warteg di Kota
Warga bersiap makan di Warteg Subsidi Bahari kawasan Jalan Fatmawati, Jakarta, Sabtu (28/3/2020). Program Operasi Makan Gratis bersama sejumlah Warung Tegal (Warteg) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi diharapkan bisa membantu persoalan pendapatan para pemilik warteg dan pekerja harian yang terdampak wabah Virus Corona (COVID-19). ANTARAFOTO/Reno Esnir

JAKARTA - Kesuksesan warteg di Ibu Kota memang sudah tidak perlu diperdebatkan. Warteg-warteg telah menjejali setiap sudut dan jengkal jalanan di Jakarta. Penjualnya, sudah pasti berasal dari Kota Tegal dan sekitarnya. 

Ada dua desa di Tegal sebagai penyumbang pengusaha warteg terbanyak, yakni Desa Adiwarna dan Desa Sidakaton Dukuh Turi. Hal itu sejalan dengan sejarah masa lampau. Dua daerah tersebutlah yang dipercaya sebagai sentra juru masak logistik dan prajurit Mataram dalam invasi ke Batavia.

Melihat sejarahnya, Tegal sendiri adalah lokasi lumbung pangan Kerajaan Mataram. Nama Tegal berasal dari kata tegalan, yang memiliki arti lahan persawahan. 

"Jadi berarti dikenal dengan padi-padian. umbi-umbian. Daratan yang melebar dan ketinggiannya sama atau menghampar," cerita Koordinator Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni kepada Validnews, beberapa waktu lalu.

Adapun menu yang kala itu disuguhkan adalah telur asin dan juga orek tempe. Kini, seiring berjalannya waktu, menu di warteg sudah jauh lebih berkembang seperti laiknya makanan rumahan. Misalnya, berbagai masakan sayur, mi goreng, aneka ikan, ayam, telur balado dan lainnya.

"Masalahnya mungkin dulu menunya kan ini yang buat prajurit-prajurit ya jadi orang biasa. Menunya pun disesuaikan menjadi makanan rumahan," ujar Mukroni.

Terkait dengan harganya yang selalu terjangkau, Mukroni menjelaskan, hal itu juga sejalan dengan filosofi seorang prajurit yang memiliki jiwa mengabdi dan melayani. Sebagaimana diketahui, pada saat menjalankan misi invasi ke Batavia, prajurit Mataram harus ikhlas dalam setiap pengorbanan.

"Artinya mereka itu nggak butuh harga. Basicnya dari bukan mencari untung tapi untuk membantu perjalanan kerajaan itu. Semakin bergeser kesini tidak melompat ke dasarnya tadi," ujarnya.

Terpenting, menurut Mukroni, pedagang warteg harus senantiasa tidak melupakan sejarah bahwa warteg ada karena memberikan pelayanan kepada pelanggan. Mencari keuntungan tentu sah-sah saja, akan tetapi jiwa melayani laiknya seorang prajurit tentu tidak boleh dilupakan begitu saja. (Dwi Herlambang)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar