c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

KULTURA

03 Oktober 2022

08:51 WIB

58 Tahun Berlalu, Tragedi Estadio Nacional Diulang Di Indonesia

Sejak Tragedi Estadio Nacional, FIFA telah lama melarang penggunaan gas air mata dan senjata api dalam mengendalikan massa. Tragedi Kanjuruhan menjadi cermin negara kita tidak banyak belajar.

Penulis: Mahareta Iqbal

Editor: Rendi Widodo

58 Tahun Berlalu, Tragedi Estadio Nacional Diulang Di Indonesia
58 Tahun Berlalu, Tragedi Estadio Nacional Diulang Di Indonesia
Tragedi sepak bola Heysel di 1985 menunjukkan seperti apa efek kepanikan massal. Dok. Footballtalk.org

JAKARTA - Langit duka sedang menyelungi dunia sepak bola Indonesia. Peristiwa kerusuhan di lapangan hijau yang menelan ratusan korban jiwa, termasuk anak-anak, tak sebanding dengan kalah menang sebuah tim sepak bola.

Tragedi kemanusiaan ini patut dikecam, ratusan nyawa yang melayang seharusnya bisa tetap hidup dengan penanganan yang benar. Segalanya mungkin bisa terkubur seiring waktu, tapi setelahnya akan banyak keluarga korban yang membenci sepak bola.

58 tahun sudah peristiwa besar serupa ini terkubur dalam sejarah sepak bola dunia. Suporter Indonesia dan aparat yang terlibat membuka kembali sejarah kelam itu hingga mencoreng dunia sepak bola Indonesia di mata dunia.

Dilansir dari berbagai sumber, tahun 1964 menjadi tahun yang kekal diingatan suporter sepak bola Peru. Tragedi Estadio Nacional mengakibatkan 328 orang tewas dan 500 orang luka-luka akibat tembakan gas air mata yang diarahkan aparat ke kerumunan penonton. Sikap demikian kemudian membuat penonton berdesak-desakan hingga kehabisan oksigen. Korban jiwa tidak dapat terelakkan.

Peristiwa itu terjadi pada gelaran pertandingan antara Peru dan Argentina dalam kualifikasi Olimpiade 1964 di Estadio Nacional. Selama pertandingan, keputusan yang diberikan oleh wasit merugikan Peru karena menganulir gol yang dicetak Peru di menit-menit yang tersisa. Hal demikian membuat suporter Peru murka dan memutuskan untuk menyerbu lapangan.

Suasana menjadi ricuh dan tidak terkendali. Polisi yang bertugas mengamankan keadaan selama pertandingan membalas dengan menembakkan gas air mata ke kerumunan stadion yang menyebabkan kepanikan massal.

Kematian utama pada peristiwa yang juga dikenal sebagai "Bencana Sepak Bola Lima" itu--pasca penembakan gas air mata--ialah terjadinya luka dalam akibat terinjak-injak hingga sesak napas. Tragedi Estadio Nacional ini menorehkan tinta hitam di awal-awal sejarah peristiwa kerusuhan suporter sepak bola di dunia.

Dengan kasus yang sama-sama terjadi akibat gas air mata, terlepas dari apakah kerusuhan itu diciptakan suporter sepak bola atau tidak, di dalam aturan yang berlaku, gas air mata sejatinya sudah tidak diperbolehkan masuk ke dalam stadion.

FIFA Stadium Safety and Security Regulation dalam Pasal 19 menyebutkan, penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Bahkan dalam aturan itu juga disebutkan bahwa kedua benda tersebut dilarang dibawa masuk dalam stadion.

Lantas dari peristiwa kerusuhan yang terjadi di Indonesia, kenapa polisi yang bertugas di Stadion Kanjuruhan dalam laga Liga 1 pertandingan antara Persebaya versus Arema FC membawa dan menggunakan gas air mata dalam pengamanan penonton? 

Dengan ditembakkannya gas air mata itu berarti persiapan telah dilakukan jikalau terjadi kerusuhan. Jika benar telah dipersiapkan, itu artinya gas air mata barangkali dianggap langkah instan dalam membubarkan massa.

Namun sayangnya, pilihan aparat dalam penggunaan gas air mata yang seakan tidak paham aturan sepak bola dunia, menunjukkan kepada dunia seperti apa level sepak bola yang dipamahi negeri ini.

Gas air mata yang menyelubung pekat dan perih di Stadion Kanjuruhan hingga memakan korban jiwa tak bersalah, berhasil mengubah wajah sepak bola Indonesia di tahun 2022 menyerupai sepak bola Peru di tahun 1964. 

Mari akui dan berkaca, 58 tahun sepertinya waktu yang lama sekali "hanya" untuk memahami makna kata 'dilarang' di tubuh kepolisian Indonesia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar