24 Oktober 2025
21:00 WIB
Zahida Painting, Fesyen Lukis Menembus Ekspor Bersama Disabilitas
Berkarya melalui fesyen, seni, dan kreativitas, Zahida Painting memberdayakan kalangan perempuan rumah tangga dan disabilitas dengan jatuh bangun selama lebih dari satu dekade.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Siti Nurhidayah (kiri) mengajari teknik lukis pada pakaian, Bojonegoro, Kamis (11/9). Instagram/@sabrienalodia
JAKARTA - Siti Nurhidayah (45) bersama Zahida Painting mungkin bukan dua entitas asing di telinga publik Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dan sekitar.
Hidayah sendiri sudah jauh lebih dahulu beken ketika menjuarai ajang duta regional Yune Bojonegoro di tahun 1996. Sementara itu, Zahida Painting merupakan usaha dagang yang berfokus pada produk fesyen dengan ciri khas dilukis tangan yang Hidayah rintis setelah menikah pada 2027.
Lahirnya Zahida Painting berawal dari hobi dan kegiatan sederhana membuatkan baju untuk sang anak. Awalnya, model baju belum dilukis, melainkan sulaman flanel menjadi kaus anak yang nyaman dipakai sehari-hari. Usut punya usut, Zahida sebagai penamaan merek juga cukup 'bandel' dipakai sebagai nama anak, akronim Hidayah dan Zeki.
“Anak saya namanya Zahida, Zahida itu singkatan dari Zeki dan Hidayah. Saya Hidayah, Zeki suami saya," cerita Hidayah kepada Validnews, Jakarta, Rabu (22/10).
Baca Juga: Industri Fesyen Potensial Jadi Tulang Punggung Ekonomi, Menperin: Perkuat Kolaborasi
Tak disangka, baju buatan tangan Hidayah yang dipakai oleh sang anak ternyata menarik perhatian orang sekitar yang minta dibuatkan baju serupa. Dari yang awalnya hanya 2-3 potong baju, lama kelamaan pesanan bertambah menjadi belasan hingga puluhan.
Jeli melihat peluang, sosok yang memiliki minat di bidang kerajinan dan gemar berkreasi ini akhirnya meminta modal kepada sang suami untuk mulai menyeriusi pembuatan baju dengan produksi lebih besar.
“Saya minta suami modal awal itu Rp2 juta mau beli mesin... (Ternyata) enggak cukup Rp2 juta, jadi saya kerja sama dengan konveksi teman, saya beli bahan terus dibuatkan di sana,” katanya.
Semua cerita soal ini bermula dari rumah sendiri, kala Hidayah menyulam pakaian setiap malam ketika sang anak tertidur. Hatinya bungah, sederhana saja, merintis usaha fesyen merupakan aktivitas yang disuka.
Berdayakan Perempuan
Lantaran produk yang saat itu dibuat masih berupa baju anak, nama usaha masih 'Sulam Zahida'. Seiring waktu, usaha baju sulam berkembang pesat. Terlihat dari 1-2 orang tetangga yang sempat diajari, loncat jauh menjadi 30 orang ibu-ibu di lingkungan sekitar kampung yang memperoleh pendapatan tambahan dari produksi baju sulam.
“Ibu-ibu yang membutuhkan pekerjaan seperti istri tukang parkir, bakul pentol yang enggak punya kerjaan untuk tambahan ekonomi… Waktu itu belum punya tempat (produksi) saya ajari mereka menyulam, hasilnya kalau bagus bisa saya bawa pulang dan revisi sedikit-sedikit, terus begitu,” ucapnya.
Sadar usaha perlu berkembang dengan alat memadai di 2008, Hidayah mulai mencoba mencari modal lebih besar dengan mengajukan pinjaman ke bank untuk membeli mesin jahit. Dari pinjaman ini, Zahida mulai fokus mempekerjakan perempuan muda untuk produksi dengan mesin jahit, setelah diajari juga pastinya.
Baca Juga: Sepuluh Wirausaha Industri Fesyen dan Kriya Masuk Program CBI Kemenperin
Usahanya berhasil. Tak terasa, Zahida kemudian mempekerjakan hampir sekampung ibu-ibu sekitar,. Di tahun itu pula Zahida didiganjar sejumlah penghargaan dari tingkat kabupaten maupun provinsi se-Jawa Timur.
“Saya merekrut bukan yang punya skill, tapi mereka yang tidak mampu (ekonomi) tapi butuh. Saya ajari pasti bisa, karena kalau kita mau belajar pasti bisa. (Upah produksi) satu kaos Rp5.000, akhirnya ada yang satu bulan dapat Rp3 juta, seneng mereka,” kenangnya.
Berbekal riwayat pernah jadi Duta Yune Bojonegoro dengan sejembreng penghargaan kegiatan pemberdayaan, Hidayah tak memungkiri jadi akses pembuka Zahida diajak ke berbagai kesempatan pameran dan kegiatan pemerintah Kota Ledre.
Menyambangi pameran ke banyak kota, rupanya tak Hidayah pandang sekadar sebagai kesempatan berdagang. Di perspektifnya, pameran adalah kesempatan berjejaring dan terpenting mencari reseller yang berminat mau membantu menjual produk di kota berbeda. Hal ini strategis memperluas jangkauan pasar, lantaran kala itu saluran penjualan belum seperti sekarang yang amat mudah dengan sistem marketplace.
“Karena belum ada media sosial, akhirnya saya membuat katalog-katalog gitu, kalau lagi pameran saya sebarkan, sampai akhirnya saya punya hampir ada seratusan reseller di seluruh Indonesia, saat itu tahun 2009-2010,” tuturnya.
Masih konvensional, dia sampai serius membuat sistem dengan mempekerjakan admin yang menerima pesanan dari reseller melalui telepon rumah atau faksimile melalui kantor pos.
Salah Strategi, Tetiba Ekspansi
Bisnis yang makin berkembang memunculkan kebutuhan akan rumah produksi yang membesar. Pinjaman ke bank dengan nilai ratusan juta akhirnya kembali Hidayah andalkan, bisnis pun terus bergerak lancar jaya hingga beberapa waktu setelahnya.
Meski tak mengungkap angka pasti, Hidayah mengira-ngira omzet Sulam Zahida saat itu bisa menyentuh ratusan juta. Saking pedenya, Hidayah bersama suami yang saat itu masih berstatus sebagai ASN memutuskan untuk mencoba peruntungan membuka usaha waralaba restoran siap saji.
Pinjaman ratusan juta ke bank pun kembali berani dilakukan. Tidak santai, bisnis waralaba restoran siap saji dikatakannya langsung ekspansif dengan membuka cabang di sejumlah kota.
“Membeli franchise suatu makanan siap saji, ratusan juta jadi saya ngambil bank (pinjaman). Di beberapa tempat, dulu itu buka (usaha) di Ponorogo, Sragen sama Surabaya. Alhamdulillah-nya bangkrut, yang di Surabaya sampai tutup, di Sragen tutup, yang di Ponorogo masih rame masih bisa bertahan,” kenangnya sambil tertawa.
Baca Juga: Menakar Potensi Indonesia Kuasai Pasar Fesyen Muslim Internasional
Kadung mengambil pinjaman ratusan juta dengan bobot cicilan besar setiap bulan, secara langsung memengaruhi keuangan usaha Sulam Zahida yang akhirnya terpaksa diperbantukan untuk menutup kewajiban yang ada.
“Akhirnya keuangan Zahida saya perbantukan untuk membantu utang di bank, saya utang di bank hampir Rp1,5 miliar. Jadi dari awal (modal Zahida) Rp2 juta, hutangnya Rp1,5 miliar,” urainya.Untungnya, Hidayah mengungkap, kondisi bisnis Zahida berjalan dengan lancar, omzet yang diperoleh masih sangat mampu untuk menutupi utang yang ada sambil menjaga operasional tetap berjalan. Namun, dia buka-bukaan, mengaku sempat mental down sampai merasa sedih dan putus asa. Kondisi inilah yang membuat berpengaruh kepada operasional Zahida yang menurun dan memengaruhi omzet.
“Kepikiran utang terus akhirnya saya tidak kuat, omzet (Sulam Zahida) menurun, terus saya tutup,” jelasnya.
Bagai jatuh tertimpa tangga, saat itu bukan hanya dua usaha milik Hidayah saja yang terpaksa tutup. Berbagai aset operasional usaha, pribadi, bahkan milik keluarga ikut dikorbankan menutupi kewajiban utang yang menganga. “Rumah kejual, mobil kejual, sepeda motor kejual, tidak punya apa-apa sama sekali. Sampai yang saya masukkan sertifikat di bank itu rumah mertua sama rumah orang tua, bayangkan stresnya kaya apa itu,” urainya.
Bukan hanya kerugian materi, tutupnya Sulam Zahida jadi mimpi buruk yang tak diinginkan para karyawan. Hidayah mengingat betul momen itu, para ibu sesengukan sesaat mengumumkan penutupan usaha. Tak ingin larut, dia mengupayakan penyaluran kerja ke rekan sesama pengusaha agar tetap bisa bekerja.
Titik kebangkrutan yang berawal dari ekpansi bisnis tak terukur jadi pengalaman paling berharga semasa hidup. Hidayah mengakui kekalahan bisnis saat itu akibat pemahaman dan ilmu wirausaha yang masih dangkal.
“Saya tutup (usaha), ibu-ibu satu kampung nangis semua. Jadinya yang muda-muda saya limpahkan ke teman-teman yang punya usaha biar tetap bisa kerja. Sedangkan saya akhirnya fokus memperbaiki diri, saya fokus belajar tentang usaha, saya fokus belajar tentang bisnis saat jatuh itu,” imbuhnya.

Bangkit dan Memulai Kembali
Tidak ingin berlarut sedih, Hidayah menghabiskan waktu setahun di 2012 untuk bangkit dan belajar. Hidayah lebih dahulu aktif mengikuti kegiatan workshop menjalani dan mengelola bisnis.
Berbekal ilmu bisnis yang diperoleh dan skill kreativitas, Hidayah tak mau buru-buru nyemplung usaha lagi. Dengan aktif memilih memberikan ilmu kreasi atau kerajinan secara gratis ke desa-desa sebagai penyuluh untuk mengelola sampah. Hal ini ikhlas dijalani riang sembari menata hati dan kesiapan untuk kembali berbisnis.
“Siapa sih yang bisa menyelesaikan utang-utang saya kalau tidak Allah, jadi saya harus kerja (ikhlas) dengan Allah. Kalau saya kerja dengan manusia, utang Rp1,5 miliar itu siapa sih yang mau bayar, yang mau gaji saya segitu siapa,” kata Hidayah menyuarakan pikirannya saat itu.
Baca Juga: Menggugat Persamaan Kesempatan Kerja Untuk Penyandang Disabilitas
Usaha tidak mengkhianati hasil, perlahan tapi pasti ikhtiar Hidayah menebar ilmu kerajinan ke desa-desa satu waktu dilirik Bupati Bojonegoro. Mendapat panggilan, dirinya diminta untuk memberikan pelajaran serupa di berbagai daerah, dari tingkat desa sampai kecamatan, dengan bayaran ala kadar yang dikumpulkan dari pemerintah kabupaten.
Uang itu menjelma jadi modal yang cukup untuk kembali membeli mesin jahit sedikit demi sedikit. Namun, kembali dengan konsep yang sama bukan strategi yang potensial, lantaran pasar sudah jauh berubah ditambah produk flanel sulam yang mudah ditiru. Tak sampai situ, jaringan reseller yang tempo hari dimiliki kini sudah berjalan mandiri dengan usaha serupa.
Mengandalkan kemampuan melukis, akhirnya Hidayah mengubah haluan produk fesyen dengan daya tarik utama lukisan yang diaplikasikan ke berbagai media. Mulai dari, pakaian seperti outer, tunik, gaun, kebaya, hingga produk lain seperti tas, topi, dan sarung bantal dengan branding merek baru bernama Zahida Painting yang bertahan hingga hari ini.
Merangkul Teman Disabilitas
Meski memulai bisnis baru, niat Hidayah memberdayakan masyarakat tak pernah padam. Bedanya, kali ini Hidayah secara khusus memberikan kesempatan dari kalangan disabilitas untuk bekerja dan kehidupan yang lebih baik. Pertemuan pertama Hidayah dengan tenaga kerja disabilitas dimulai dengan menciptakan formula cat khusus untuk pakaian, lantaran material cat yang biasa digunakan untuk melukis saat itu mudah luntur.
“Saya cari formula-formula lagi akhirnya ketemu resep cat, jadi membuat sendiri. Akhirnya saya diminta untuk mengajar di Dinas Sosial dengan teman-teman disabilitas,” serunya.
Dalam kesempatan mengajar kalangan disabilitas tersebut, Hidayah mengaku tak hanya berbagi ilmu, melainkan juga menjalin ikatan hati sampai sering bertukar cerita. Dari situ, dirinya tergerak mendengar banyak pengakuan disabilitas yang kerap disisihkan lingkungan, termasuk pekerjaan. Hatinya makin tergerak, saat seorang disabilitas yang menawarkan diri bekerja di Zahida Painting dengan rela dibayar suka-suka.
“Dari situ saya berpikir, kalau bukan saya terus siapa lagi yang menerima (disabilitas). Akhirnya saya coba satu dulu. Kalau orang normal (belajar melukis) satu minggu sudah bisa, dia (disabilitas) 1-2 bulan belum bisa, ya sudah saya sabar, ajarin terus,” terangnya.
Baca Juga: Prakarsa Jitu Agar Teman Tuli Tak Merasa Sepi
Saat ini, sekitar 11 dari 28 karyawan Zahida Painting merupakan penyandang disabilitas, semuanya ditempatkan di bagian produksi untuk menghasilkan produk kain seperti tas, dompet, sampai busana lukis tangan. Sekitar 6 orang disabilitas itu, dipekerjakan dari rumah masing-masing dengan sistem mitra karena punya mesin jahit dari Dinas Sosial, sedangkan sisanya bekerja di workshop menggunakan mesin jahit yang tersedia. Hidayah berprinsip teguh hanya membuka lapangan kerja untuk disabilitas saja, karena sempat menolak banyak calon pekerja dengan kualifikasi mentereng.
“Saya selalu bilang ke mereka (pelamar) kamu punya peluang lebih besar di tempat lain, silahkan dicoba di tempat lain dulu, kamu pasti bisa. Sementara kalau ada teman disabilitas datang ke saya, pasti selalu saya terima dan tidak pernah saya tolak, selalu saya ajari,” katanya.
Harapan Ekspor dan Ekspansi
Sejak kembali memulai usaha dengan merek baru Zahida Painting, Hidayah menyebut mendapat berkah dan kesyukuran yang makin lapang. Salah satunya, produk fesyen yang banyak dipakai di berbagai agenda besar oleh tokoh besar pula. Setidaknya, produk fesyen Zahida kerap digunakan sebagai kostum panggung untuk musisi ternama tanah air, digunakan dalam ajang Putri Indonesia yang dalam proses pembuatannya bekerja sama dengan desainer ternama, hingga digunakan oleh kalangan Menteri saat melakukan kunjungan ke Bojonegoro.
Dalam prosesnya, Hidayah mengungkap pembuatan produk fesyen tersebut ada yang dibeli secara penuh oleh publik figur dan ada pula yang bersifat sponsor atau kerja sama.
Selain itu, Hidayah juga bangga menyampaikan sejumlah produk sudah berhasil menembus pasar ekspor. Entah melalui berbagai kesempatan pameran di luar negeri, pesanan langsung dari luar negeri, maupun dipasarkan langsung di sejumlah butik bekerja sama dengan pihak ketiga.
“Orang Jakarta melukis di Zahida, tapi dia memasarkannya ke butik-butik di Singapura… Kalau permintaan kita menyesuaikan, di Dubai kemarin kita abaya-abaya lukis, kalau di Thailand kemarin tas-tas dengan motif-motif khas Thailand, kalau di Singapura agak elegan karena mungkin gerainya elegan, jadi dia motif bunga-bunga elegan,” bebernya.
Baca Juga: Kemenperin Bidik Lima Negara Jadi Pasar Ekspor Fesyen Muslim RI
Sementara ini, Zahida Painting punya kapasitas produksi bulanan sebanyak 500-1.000 produk fesyen. Dari sisi omzet masih fluktuatif, namun kisi-kisinya dapat mencapai Rp100-200 juta per bulan. Hidayah juga berharap, gerai Zahida Painting juga bisa hadir di kota-kota lain, tak cuma di Bojonegoro saja ke depannya. Sehingga dapat lebih banyak mempekerjakan karyawan disabilitas di setiap daerah berbeda.
“Saya masih mempelajari tentang kerja sama bisnis, bagaimana agar Zahida gerainya bisa buka di beberapa kota, bukan hanya di Bojonegoro,” pungkasnya.