11 Juli 2023
16:17 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menekankan, Indonesia mesti mewaspadai pelemahan ekonomi riil akibat rupiah yang diproyeksi melemah pada paruh kedua tahun ini. Hal ini bisa terjadi karena inflasi nasional yang berpotensi naik akibat importasi beragam produk yang mengalami kenaikan harga di dunia.
“(Pelemahan rupiah) bisa berdampak ke sektor riil, ada risiko imported inflation karena harga barang impor terutama pangan lebih mahal,” katanya kepada Validnews, Jakarta, Selasa (11/7).
Kondisi ini pun, menurut Bhima, dapat memengaruhi daya beli masyarakat yang akan kembali tertekan di waktu yang sama.
Sejauh ini, terangnya, tren pelemahan nilai tukar rupiah terjadi karena tekanan eksternal yang cukup serius. Terutama, yang berasal dari pelemahan harga komoditas yang cukup dalam, yang berdampak pada pendapatan ekspor Indonesia.
Dia menjabarkan, harga batu bara di pasar spot turun 68% secara tahunan; disusul harga minyak sawit atau CPO yang turun 4,3% secara tahunan; harga timah juga turun 11,7% secara tahunan; begitu pula harga komoditas nikel yang turun 4,4% secara tahunan.
Kurang-lebih, Bhima melanjutkan, penurunan harga komoditas di atas dapat terjadi karena sudah mulai terpengaruh oleh krisis yang terjadi di wilayah Eropa dan pelemahan industri manufaktur yang ada di Tiongkok.
“Pasti efeknya nanti kepada nilai tukar rupiahnya masih tertekan,” sebutnya.
Baca Juga: 70 Tahun, BI Perkuat Transformasi Dengan Sinergi Dan Inovasi
Belum usai, Indonesia juga mesti mewaspadai adanya pembalikan dana asing yang keluar (outflow) dari dalam negeri juga berpotensi menekan nilai tukar rupiah cukup dalam. Bahkan, Bhima meyakini masih ada sederet tantangan lain yang bakal memperberat laju penguatan nilai tukar di semester kedua.
“Jadi dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang belum maksimal, kemudian dari portofolio investasi ada guncangan terutama akibat masih tingginya inflasi global, sentimen kenaikan suku bunga dan berlanjutnya perang Rusia-Ukraina,” paparnya.
Dalam waktu mendatang, dirinya menyarankan agar Bank Indonesia bersama pemerintah dapat mempercepat masuknya DHE, terutama di sektor sumber daya alam, dan segera mengkonversinya ke nilai tukar rupiah.
Selanjutnya, pemangku kebijakan juga mesti bekerja keras memperkuat pasar dan produksi di dalam negeri. Strategi dipercaya cukup efektif menekan ketergantungan impor Indonesia dari laju impor bahan baku, barang setengah jadi, maupun barang jadi.
“Juga perlu mendorong pelaku UMKM agar bisa masuk ke dalam rantai pasok industri. Tujuannya, untuk menekan ketergantungan pada impor,” jelasnya.
Menurutnya, strategi ini juga dapat paralel dengan rencana pemerintah yang hendak mendorong penyelesaian banyak proyek infrastruktur sebelum Pemilu 2024 terlaksana.
Patut diketahui, proyek-proyek tersebut mengandung konten impor besi-baja, teknologi, hingga mesin yang cukup tinggi.
“Nah, itu harapannya jadi perhatian pemerintah, agar kandungan dalam negeri (TKDN) di dalam proyek infrastruktur bisa ditingkatkan, sehingga pelemahan nilai tukar rupiah bisa ditekan,” tegasnya.
Rupiah Melemah Lampaui Asumsi Makro
Dalam Laporan Prognosis Semester II Pelaksanaan APBN 2023, Menkeu Sri Mulyani memproyeksi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat melemah pada semester II/2023. Di semester kedua, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpotensi tembus di kisaran Rp14.950 hingga Rp15.400.
Adapun, proyeksi nilai tukar rupiah tersebut lebih tinggi dari asumsi yang ditetapkan dalam asumsi makro di APBN 2023 yang berkisar Rp14.300-14.800 per dolar AS.
"Nilai tukar ada di kisaran Rp15.000-15.250 (per dolar AS), agak melemah dibandingkan asumsi," ujar Menkeu Sri dalam Raker dengan Banggar DPR RI, Senin (10/7).
Secara umum, Sri menerangkan, nilai tukar rupiah mengalami tekanan di tengah pengetatan kebijakan moneter global. Sementara itu, realisasi nilai tukar rupiah di semester I/2023 mencapai Rp15.071 per dolar AS, atau mengalami apresiasi sebesar 5,17% dibandingkan level di awal tahun 2023.
Pada kesempatan sama, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan, tekanan nilai tukar rupiah didorong oleh meningkatnya pelemahan ekonomi ekonomi global khususnya di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China.
Baca Juga: BI: Pekan Ini, Aliran Modal Keluar Sentuh Rp2,38 T
Pelemahan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi 2023 yang diperkirakan hanya sebesar 2,7%, atau relatif lebih rendah dibandingkan dengan capaian tahun 2022 di 3,4%. Karenanya, situasi ini akan berdampak signifikan terhadap nilai tukar mata uang di sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia.
"Kondisi ekonomi global dan ketidakpastian masih tinggi (di 2023). Perlambatan di AS, Eropa dan Tiongkok masih diimbangin tekanan inflasi yang masih tinggi dan adanya keketatan di pasar tenaga kerja… Tentunya (semua ini) akan memberikan dampak yang cukup signifikan kepada sistem keuangan, khususnya yang terkait dengan nilai tukar," ujar Destry.
BI pun menggarisbawahi, kondisi ini perlu direspons dengan penguatan kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan ekonomi dunia terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Secara eksplisit, dalam RDG BI seri Juni 2023, pemangku moneter terus fokus mengarahkan kebijakan pada penguatan stabilisasi nilai rupiah untuk dapat mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.