05 Desember 2023
19:06 WIB
JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) RI Ma'ruf Amin meminta peran kaum intelektual seperti akademisi dan ulama, untuk berkolaborasi melahirkan strategi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah nasional. Hal ini menurutnya diperlukan agar industri keuangan syariah semakin inovatif dan terpadu.
"Tidak dapat dipungkiri, masa depan kita akan banyak dibentuk dan ditransformasi oleh penerapan inovasi dan teknologi canggih pada nyaris setiap lini kehidupan," kata Wapres Ma'ruf Amin saat menghadiri peluncuran Indonesia Sharia Economic Ourlook (ISEO) di Kampus Universitas Indonesia, Depok, diikuti dalam jaringan di Jakarta, Selasa (5/12).
Dia mengatakan, disrupsi teknologi telah mengubah cara pandang masyarakat, termasuk pada pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Karena itu, menurut Ma'ruf, inovasi dan teknologi akan menentukan keberhasilan dalam mengoptimalkan potensi yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan investasi halal. Termasuk dalam memenuhi permintaan produk dan jasa halal yang diperkirakan menembus US$3 triliun pada 2028.
Dalam kesempatan itu, Ma'ruf mengatakan Universitas Indonesia (UI) sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia dalam melahirkan gagasan dan inovasi, serta SDM unggul dan inovatif, harus mencermati tren di tingkat global. Pasalnya hal tersebut akan mempengaruhi model bisnis dan keuangan syariah.
"Sehingga kita dapat mengantisipasi perubahan, merebut peluang, dan memenangkan persaingan," ujarnya.
Dalam konteks pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, kata Ma'ruf, kemampuan berinovasi juga harus dikuasi oleh ulama.
"Kesesuaian aktivitas ekonomi dan keuangan dengan syariat Islam sebagian besar ditentukan oleh ijtihad ulama," katanya.
Baca Juga: Bos OJK Sebut Alasan Peluncuran Roadmap Perbankan Syariah
Melalui kolaborasi itu, Ma'ruf berharap, Indonesia bisa menjadi pelopor dalam inovasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah nasional dan global.
“Saya minta kepada Universitas Indonesia dan seluruh perguruan tinggi di Tanah Air agar terus menyelenggarakan edukasi, riset, dan sosialisasi ekonomi dan keuangan syariah, serta menciptakan ahli-ahli di bidang ekonomi dan keuangan syariah yang dibutuhkan oleh negeri sendiri dan bangsa-bangsa lain di dunia," tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengharapkan, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, bisa terus menciptakan inovasi dalam berbagai hal, termasuk dari sisi keuangan syariah. "Kami harap UIN Ar-Raniry terus dan mampu menciptakan lebih banyak inovasi, baik di bidang industri halal, keuangan syariah," kata Presiden Jokowi baru-baru ini.
Selain keuangan syariah, Presiden juga berharap UIN Ar-Raniry mampu menciptakan lebih banyak inovasi bidang produk syariah, akuntansi syariah, kewirausahaan Islam, manajemen keuangan Islam, dan lainnya.
"Saya yakin seluruh sivitas akademika UIN Ar-Raniry mampu mengambil peran ini dan mampu terus berkarya menghadirkan solusi yang bermanfaat bagi umat, bangsa dan dunia," ujar Jokowi.
Rektor UIN Ar-Raniry Prof Mujiburrahman menyatakan, dalam pembangunan ekonomi syariah di Aceh selama ini, UIN Ar-Raniry telah menjadi pilar utama yang terus memberikan spirit, seperti qanun keuangan syariah Aceh.
"Qanun itu kajiannya di godok dari UIN Ar-Raniry, sehingga lahirlah qanun LKS Aceh," ujarnya pula.
Baca Juga: BI: Ada Tiga Fokus Tingkatkan Pangsa Keuangan Syariah
Literasi Keuangan Syariah
Sebelumnya, Kepala Grup Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muhammad Ismail Riyadi mengatakan, tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia masih sangat rendah.
“Kalau kita lihat survei OJK, Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLIK) yang selalu dilakukan selama 3 tahun, tahun 2022 misalnya, gap antara tingkat literasi keuangan secara keseluruhan adalah 49%, keuangan syariahnya 9,14%. Jadi masih ada gap sekitar 40%,” ujarnya.
Adanya gap tersebut menunjukkan, hanya ada 9 dari 100 orang yang benar-benar melakukan keuangan syariah. Adapun tingkat inklusi keuangan syariah baru mencapai 12,12%, tertinggal jauh dari tingkat inklusi keuangan secara umum yang mencapai 85%.
OJK pun menilai, ada sejumlah penyebab yang menyebabkan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih kecil. Pertama, pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah masih rendah kendati awareness terhadap keuangan syariah tinggi.
“Mungkin saya sering dengar kenapa istilahnya akad-akadnya (jenis akad bank syariah) masih bahasa Arab, meskipun semua industri keuangan sekarang sudah menggunakan bahasa Indonesia. Akadnya itu digunakan di belakang saat harus menjelaskan projek maupun menandatangani (perjanjian/kontrak) atau memahami (transaksi). Itu salah satu contoh,” ungkap Ismail.
Penyebab kedua, ujar dia, terkait diferensiasi proses yang terjadi di dalam masyarakat, ketika dihadapkan pada produk-produk keuangan syariah dan konvensional yang sejenis. Perbedaan tersebut muncul, katanya, karena individu memiliki reaksi berbeda terhadap produk keuangan syariah dan konvensional.
Ada yang menerima produk keuangan syariah dengan sifat yang lebih rasional (berdasarkan keyakinan agama), ada pula yang lebih setia (loyal) pada produk konvensional atau ada yang masih membandingkan produk syariah dengan produk konvensional.
Menurut dia, produk perbankan syariah memiliki banyak variasi dalam bentuk akad (perjanjian) yang digunakan, jika dibandingkan dengan produk konvensional. Namun, tantangan yang harus diatasi adalah cara menghadapi perbedaan preferensi individu dan mendidik masyarakat tentang produk keuangan syariah, untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah.
Ketiga yaitu kompetensi sumber daya insani di industri keuangan syariah yang harus ditingkatkan. Meskipun banyak perguruan tinggi dan lulusan ekonomi syariah, tetapi kebutuhan industri yang semakin tinggi menuntut pengembangan kapasitas sumber daya manusia di industri keuangan syariah.
“Kemudian (penyebab selanjutnya) dari sisi produk dan layanan, pemanfaatan teknologinya belum optimal, serta aspek regulasi dan permodalan yang belum mendukung,” ucapnya.
Catatan saja, pangsa pasar perbankan syariah Indonesia meningkat menjadi 7,3% dari total industri perbankan nasional, per Juni 2023. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh 13 bank umum syariah, 20 unit usaha syariah dan 171 bank perekonomian rakyat (BPR) syariah dengan sebaran porsi aset 65,7% bank umum syariah, 31,7% unit usaha syariah, dan BPR syariah sebesar 2,5%.
Angka tersebut menunjukkan, industri perbankan syariah nasional berhasil mencatatkan pertumbuhan yang cukup baik setelah mengalami perlambatan akibat dampak pandemi covid-19 dan kondisi global yang tidak menentu.
Dari sektor pasar modal syariah, per akhir Agustus 2023 pangsa pasar produk sukuk korporasi, sukuk negara dan reksadana syariah mencapai 12,7%. Sementara itu, pangsa pasar saham syariah telah mencapai 56% terhadap seluruh emiten saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.