c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

18 Agustus 2023

20:35 WIB

Usainya Tren Harga Tinggi Komoditas Hantui Penerimaan Pajak 2024

Penerimaan pajak dua tahun terakhir dinilai mengalami anomali. Salah satu faktornya adalah tren harga komoditas.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Usainya Tren Harga Tinggi Komoditas Hantui Penerimaan Pajak 2024
Usainya Tren Harga Tinggi Komoditas Hantui Penerimaan Pajak 2024
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (27/ 7/2023). Antara Foto/Nova Wahyudi

JAKARTA - Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengingatkan, selesainya tren booming harga komoditas Indonesia di tingkat dunia berpeluang menekan penerimaan perpajakan tahun depan.

Idealnya, penerimaan via pajak bisa meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negara. Karena itu, ia menilai, capaian pertumbuhan ekonomi dan pajak dalam dua tahun terakhir tergolong anomali.

Rendy mengungkapkan, ketika pemerintah Indonesia kesulitan mencapai target pertumbuhan ekonomi, namun penerimaan negara bisa tetap tumbuh. Jika ditilik, kondisi tersebut bisa terjadi tak lepas dari booming harga komoditas domestik di dunia.

“Artinya, ada peluang ketika harga komoditas mengalami perlambatan, maka penerimaan negara juga akan ikut melambat,” terangnya kepada Validnews, Jakarta, Jumat (18/8).  

Sebagai konteks, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2022 berhasil tumbuh sebesar 5,31% (cumulative-to-cumulative/ctc). Pertumbuhan ini berhasil lebih tinggi dibanding capaian tahun 2021 yang mengalami pertumbuhan sebesar 3,7% (ctc). 

Adapun, penerimaan perpajakan selama 2022 terealisasi sebanyak Rp2.034,5 triliun atau 114% dari target Perpres 98/2022 sebesar Rp1.784 triliun. Bahkan, penerimaan di 2022 tumbuh 31,4% dari realisasi tahun 2021 sebesar Rp1.547,8 triliun.

Baca Juga: Respons APBN 2024, Legislator: Ekonomi Indonesia Masih Punya Banyak PR

Kemenkeu mengidentifikasi, realisasi penerimaan perpajakan sepanjang 2022 didukung oleh tren harga komoditas yang melonjak.

Secara umum, Rendy lanjutkan, faktor global memang akan ikut memengaruhi penerimaan negara ke depannya. Namun begitu, semua pihak juga mesti ingat bahwa faktor domestik memegang peranan kunci karena memiliki bobot terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Dirinya meyakini, penguatan ekonomi domestik akan selaras dalam upaya mengejar target penerimaan pajak di tahun depan. Karena bagaimanapun, penerimaan negara mesti tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi domestik, tanpa harus menggantung pada kondisi harga komoditas yang sifatnya dinamis.

“Kalau kondisi global katakanlah mengurangi kinerja ekspor, maka sekali lagi sebagai penegasan, ini perlu dikompensasi dengan mendorong perekonomian domestik yang lebih baik,” ujarnya.

Kuncinya ada di penguatan konsumsi rumah tangga dan sektor investasi. Penguatannya dapat ditopang pemerintah dengan mengeksekusi belanja APBN secara baik nantinya.   

“(Karena) konsumsi rumah tangga dan investasi juga akan ikut menentukan seberapa besar atau mampu pemerintah untuk menjaga target penerimaan pajak di tahun 2024,” paparnya.

Selanjutnya, kemampuan pemerintah untuk melanjutkan reformasi perpajakan juga akan ikut menentukan tidak atau tercapainya target penerimaan pajak 2024. Seperti rencana dan upaya pemerintah untuk lanjut menaikkan tarif pajak PPN di tahun depan.

“Jika ini dijalankan dan respon industri juga positif, maka saya kira ini juga akan berpotensi membantu pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak,” katanya. 

Belum lagi, jika ditambah dari sisi cukai dengan menyasar objek cukai baru oleh pemerintah. Meski sebenarnya tujuan utama cukai bukan untuk membantu penerimaan negara, Rendy akui, secara tidak langsung tentu kebijakan ini juga bakal ikut membantu penerimaan negara ke depan.

Dia meningatkan, di luar instrumen penarik uang masyarakat, pajak juga mesti dilihat dalam dimensi atau instrumen stimulus dalam membantu perekonomian masyarakat. Yang nantinya juga akan berfungsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Selama insentif pajak itu bisa betul-betul terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi, maka kehilangan potensi penerimaan dari pos pajak tertentu saya kira masih bisa ditoleransi,” tegasnya.

Baca Juga: Hingga Juli 2023, 139 Pengusaha PMSE Setor PPN Rp13,87 T

Target Perpajakan 2024
 
Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani menjabarkan, penerimaan perpajakan sepanjang 2024 ditarget mencapai Rp2.307,9 triliun. Pemerintah berkomitmen akan terus melakukan berbagai kebijakan di bidang perpajakan untuk mencapai target tersebut. 

Antara lain implementasi Core Tax System, peningkatan kepatuhan dengan menggunakan integrasi teknologi dan sinergi joint program, hingga peningkatan efektivitas implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

"Kita targetkan penerimaan perpajakan tumbuh 8,9%. Ini lebih tinggi dari asumsi pertumbuhan ekonomi yang 5,2%. Artinya tax ratio-nya diharapkan akan terus meningkat,” ujar Menkeu pada Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2024, Rabu (16/8).

Jika dirinci, penerimaan pajak dalam RAPBN 2024 dipatok sebesar Rp1.986,9 triliun, terhitung tumbuh 9,3% daripada outlook penerimaan pajak 2023 sebesar Rp1.818,2 triliun. Terdiri dari penerimaan PPh sebesar Rp1.139,8 triliun; PPN dan PPnBM Rp810,4 triliun; serta PBB dan Pajak Lainnya Rp36,7 triliun. 

Dalam mencapainya, Kemenkeu berjanji akan melakukan serangkaian reformasi pajak, meliputi implementasi NIK sebagai NPWP; ekstensifikasi Wajib Pajak High Wealth Individual (HWI); implementasi core tax system; serta pemanfaatan digital forensics.

Kemudian, pemerintah juga mematok pemasukan via kepabeanan dan cukai bisa mencapai Rp321 triliun. Terdiri dari penerimaan cukai sebesar Rp246,1 triliun atau tumbuh 8,3% daripada outlook penerimaan cukai 2023.

Disusul penerimaan dari Bea Masuk sebesar Rp53,1 triliun atau tumbuh 8,1% dari outlook 2023. Terakhir, penerimaan dari Bea Keluar sebesar Rp17,5 triliun yang terbilang tumbuh paling kecil sebesar -11,5% dari outlook 2023.

“Bea Keluar diperkirakan akan turun, karena memang kita melakukan konsekuensi dari hilirisasi. Memang Bea Keluar tidak menjadi andalan lebih, karena kita ingin terjadi nilai tambah lebih dalam negeri,” jelasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar