c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

25 Mei 2022

16:00 WIB

Tren Peningkatan Utang Sudah Terjadi Sebelum Covid-19

Belanja bunga utang Indonesia terus meningkat dibandingkan negara lain. Rasio pajak terus menurun menyebabkan pendapatan negara rendah.

Editor: Dian Kusumo Hapsari

Tren Peningkatan Utang Sudah Terjadi Sebelum Covid-19
Tren Peningkatan Utang Sudah Terjadi Sebelum Covid-19
Ilustrasi utang. Shutterstock/dok

JAKARTA – Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri meminta pemerintah tidak menyalahkan pandemi covid-19 atas kenaikan utang Indonesia. Menurutnya, tren peningkatan utang Indonesia telah terjadi sebelum pagebluk ada.

“Satu lagi yang ingin saya sampaikan mohon agak hati-hati, jangan kita benamkan kesalahan pada covid. Jadi sebelum covid pun utang kita itu sudah mengalami peningkatan yang pesat,” katanya dalam Webinar Menghadapi Krisis Utang Negara-Negara Berkembang di Masa Pandemi Covid-19 dan Krisis Rusia-Ukraina, Jakarta, Rabu (25/5).

Faisal mengungkapkan, utang Indonesia sudah sebesar Rp2,6 kuadriliun pada 2014 lalu meningkat Rp4,79 kuadriliun pada 2019. Ini artinya, utang Indonesia hampir dua kali lipat dalam kurun waktu lima tahun sebelum pandemi covid-19.

Meski demikian, ia mengakui peningkatan utang lebih cepat terjadi pada masa krisis kesehatan covid-19. “Tapi tren peningkatan utang itu sudah terjadi sebelum covid,” tegasnya.

Ia juga menyoroti, pertumbuhan ekonomi dalam negeri mengalami perlambatan rata-rata menjadi 5% pada masa Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada periode kedua Jokowi, Faisal bahkan memprediksi rata-rata pertumbuhan ekonomi di bawah 4%. Namun, jika masa pandemi covid-19 pada 2020 dihilangkan, pertumbuhan ekonomi rata-rata menjadi 4,5%.

Menurut Faisal, hal tersebut membuktikan peningkatan utang yang terjadi tidak dibarengi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan 20 studi yang menunjukkan utang yang meningkat tidak berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi. Hasil studi disebut malah menunjukkan semakin banyak utang, pertumbuhan ekonomi semakin menurun, sesuai yang terjadi di Indonesia.

“Jadi buat apa kita berutang, kalau ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Poin yang paling penting buat saya itu. Ke mana saja kita gunakan utang itu, bukan untuk tujuan-tujuan produktif most likely,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan memang rasio utang terhadap produk domestik bruto (debt to gdp ratio) Indonesia masih lebih rendah dari 60% dan masih jauh dibandingkan negara-negara lain seperti Jepang yang mencapai 266%, Singapura 131%, Amerika Serikat 108%. Sementara Indonesia masih di kisaran 40%.

Meski demikian, hal itu harus dilihat pula dari beban bunga utang yang ditanggung. Faisal bilang, beban bunga utang Jepang hanya 9%, dan Singapura 0,06%.

“Indonesia berapa? 14% menurut data Bank Dunia. Menurut data APBN tahun ini beban bunga sudah 21%. Jadi siapa bilang utang di Indonesia itu masih bisa kita anggap enteng. Sudah sangat membebani walaupun pengertian ambangnya kita sangat boleh jadi tidak akan seperti Srilanka. Namun nyata-nyata pengeluaran pemerintah pusat banyak terbebani oleh pembayaran bunga ini sehingga belanja-belanja lainnya tertekan ,” tuturnya.

Belanja Bunga Utang Meningkat

Deputi Bidang Ekonomi PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengakui peningkatan belanja pembayaran bunga utang dari sisi above the line menjadi tantangan pemerintah.

Beban belanja pembayaran bunga utang Indonesia juga cenderung menunjukkan peningkatan terutama dibandingkan negara peer dan berpotensi terus meningkat signifikan di masa depan seiring peningkatan utang pemerintah.

“Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain memang beban belanja bunga utang pemerintah cenderung mengalami peningkatan, terutama dibandingkan negara-negara lainnya,” ucapnya dalam kesempatan yang sama.

Pada 2019, beban belanja bunga utang mencapai 12,0%, meningkat 12,1% pada 2020, dan meningkat menjadi 12,3% pada 2021.

Sementara Filipina, pada 2019 belanja bunga utang mencapai 12,5%, menurun menjadi 9,0% pada 2020 dan 9,1% pada 2021. Korea Selatan 2019 3,8%, 2020 2,8%, dan 2021 2,8%.

Dalam kesempatan yang sama pula, Direktur Surat Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan utang indonesia relatif lebih rendah dibanding negara-negara lain. Peringkat utang juga mampu dipertahankan di tengah pandemi covid-19.

“Dibandingkan negara-negara lain, baik yang peer countries maupun yang negara maju kita lihat (utang .red) masih relatif rendah sehingga kita masih punya ruang fiskal yang cukup aman,” ucapnya.

Selain itu, rating utang Indonesia pun juga disebut masih relatif aman saat pandemi. Pasalnya, banyak negara yang peringkat utangnya diturunkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat. Bahkan, S&P menaikkan outlook Indonesia dari negatif menjadi stabil.

“Ini menjadi salah satu indikasi bahwa kita on the right track, kita dalam track yang tepat untuk bisa mendorong pemulihan ekonomi juga menjaga pandmei dengan kondisi fiskal,” ucap Deni.

Penurunan Pajak jadi Biang Kerok

Faisal mengatakan utang di Indonesia meningkat cepat karena belanja negara meningkat lebih cepat daripada pendapatan negara. Menurutnya, terjadi penurunan luar biasa sejak 10 tahun terakhir dalam rasio pajak (tax ratio).

Menurut data, rasio pajak Indonesia paling tinggi di level 13,3% pada 2018 dan terus menurun hingga saat ini yang berada di kisaran 8,3%. Selain itu, berdasarkan data Bank Dunia, Indonesia ada di urutan ke 127 negara dari 140 negara dengan besaran tax ratio tertinggi di dunia.

Menanggapi hal ini, Faisal meminta pemerintah menunjukkan kerja keras pemerintah menyehatkan ekonomi sehingga penerimaan pajak semakin sehat. “Ini penerimaan pajaknya melorot terus,” imbuhnya. 

Saat ini, ia menganggap pemerintah terlalu banyak dispensasi pajak. Ia menyebut pemerintah mestinya mengenakan pajak ekspor untuk batubara yang berpotensi menyumbang pemasukan negara minimal sebesar Rp125 triliun.

Hal tersebut dinilai berbanding terbalik dari komoditas CPO yang dikenakan pajak ekspor dan bea keluar. “Tapi batubara tidak ada sama sekali. Jadi menurut saya melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Karena di UUD dikatakan bumi, air, dan kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran rakyat bukan kemakmuran Bakrie, Luhut Panjaitan, Sinar Mas, dan Boy Thohir,” ujar Faisal.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar