c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

30 Agustus 2025

09:43 WIB

TKD 2026 Dipangkas Rp214,1 T, FITRA: Potensi Perlebar Ketimpangan Fiskal

FITRA mengkritisi keputusan pemerintah yang memangkas TKD 2026 sekitar Rp214,1 triliun, dari Rp864,1 triliun menjadi Rp650 triliun. Upaya ini membatasi kemampuan membiayai program pembangunan daerah.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p>TKD 2026 Dipangkas Rp214,1 T, FITRA: Potensi Perlebar Ketimpangan Fiskal</p>
<p>TKD 2026 Dipangkas Rp214,1 T, FITRA: Potensi Perlebar Ketimpangan Fiskal</p>

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyampaikan postur RAPBN 2026 dan Nota Keuangan di Jakarta, Jumat (25/08). Dok KLI/Andi Al Hakim

JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA) mengkritisi keputusan pemerintah yang memangkas anggaran Transfer Ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026, dari Rp864,1 triliun pada outlook 2025 menjadi hanya Rp650 triliun untuk tahun berikutnya, atau turun sekitar Rp214,1 triliun.

Menurut Peneliti Seknas FITRA Gurnadi Ridwan, keputusan tersebut seharusnya disertai dengan alasan hukum yang kuat dan perhitungan fiskal yang adil antar pusat dan daerah. Dia menyorot, pemerintah pusat tidak bisa semena-mena memotong Dana Bagi Hasil (DBH) karena ketentuan formula pembagiannya telah diatur dalam UU HKPD.

"Sehingga UU APBN 2026 bertentangan dengan ketentuan UU HKPD tersebut, termasuk klausul pembagian DBH kepada pemerintah daerah hanya sebesar 50% dari total DBH yang dipungut pemerintah pusat," jelas Gurnadi dalam pernyataan resmi di Jakarta, dikutip Sabtu (29/8).

Baca Juga: Tito Siapkan Insentif Untuk Pemda Sukses Atasi Pengalihan TKD

Sebagai catatan, Menkeu Sri Mulyani sebelumnya menyebut, TKD mengalami pemangkasan lantaran adanya pengalihan dana untuk belanja pemerintah pusat dalam program-program yang memberikan manfaat langsung ke daerah.

"Kalau TKD mengalami penurunan, kenaikan dari belanja pemerintah pusat di daerah itu naiknya jauh lebih besar,” ujar Menkeu Sri dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat (15/8).

Spesifik, Menkeu memproyeksi, belanja pemerintah pusat dengan manfaat yang diterima langsung oleh masyarakat daerah mencapai Rp1.376,9 triliun. 

Anggaran tersebut, akan tersalurkan melalui program-program prioritas pemerintah, yang jika ditelisik seharusnya menjadi tugas dan fungsi pemerintah daerah.

Misalnya, Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda dengan anggaran Rp27,9 triliun; preservasi jalan dan jembatan Rp24,9 triliun; bendungan dan irigasi Rp12 triliun; Kopdes Merah Putih Rp83 triliun; lumbung pangan Rp22,4 triliun; hingga kampung nelayan dan pergaraman nasional Rp6,6 triliun.

“Ini semua letaknya (program) di daerah, dinikmati oleh masyarakat di daerah, sehingga memang APBN dari sisi belanja pusat cukup besar yang dilakukan oleh pemerintah pusat langsung kepada masyarakat di daerah. Belanja K/L dan transfer ke daerah ini menjadi satu kesatuan,” tambah Menkeu.

Ketimpangan Fiskal
Terlepas dari penjelasan Menkeu, Gurnadi justru menilai, keputusan pemerintah yang memangkas dana TKD justru berpotensi mengancam layanan publik dan memperlebar ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah, lewat makin terbatasnya kemampuan daerah untuk membiayai program pembangunan daerah.

Spesifik, Gurnadi mencontohkan, dalam proyeksi APBD 2026, seluruh daerah di Provinsi Riau akan mengalami penurunan pendapatan cukup signifikan, persentase penurunan bervariasi antar daerah, dengan rata-rata penurunan mencapai antara 11% hingga 22%. 

Angka tersebut, dihitung berdasarkan besaran Dana TKD yang ditetapkan dalam APBD 2025.

"Secara total pemangkasan dana TKD yang direncanakan dalam Nota Keuangan RAPBN Tahun 2026 untuk Provinsi dan 12 Kabupaten/Kota se-Riau mencapai Rp6,39 triliun, yang bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Desa dan Insentif Fiskal," urai Gurnadi.

Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Alasan Transfer Ke Daerah 2026 Menyusut

Menurutnya, penurunan pendapatan daerah dari dana transfer 2026 akan memperparah kapasitas fiskal daerah yang menyebabkan tingkat kemandirian keuangan yang cukup rendah.

Apalagi, sebagian besar pendapatan daerah bergantung dari DBH pada sektor ekstraktif seperti minyak, gas, pertambangan, hutan, dan perkebunan yang menghadapi fluktuasi harga global.

Di saat bersamaan, kondisi diperburuk dengan lambannya diversifikasi ekonomi daerah dalam mengembangkan sektor industri, pariwisata, dan UMKM untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Gurnadi kembali mengatakan, keputusan yang dibuat pemerintah pusat dapat meningkatkan risiko ketidakadilan fiskal, karena daerah dengan PAD rendah akan lebih rentan menghadapi krisis keuangan.

Karena itu, pihaknya meminta pemerintah pusat untuk menata ulang kebijakan pemangkasan TKD sebagaimana yang ditetapkan dalam Nota Keuangan RAPBN tahun 2026, dan membuka dasar perhitungan penurunan dana transfer agar tidak menimbulkan kesan resentralisasi fiskal dan berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan.

"Pemerintah pusat perlu menyiapkan safety net khusus untuk daerah dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer pusat, seperti menyiapkan insentif fiskal, relaksasi regulasi penggunaan Silpa dan akses pinjaman murah agar tidak terjebak pada krisis fiskal," pungkas Gurnadi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar